Rabu, 12 Desember 2012

Refleksi Hari HAM


Refleksi Hari HAM
Masduri ;  Peneliti di Jurusan Teologi dan Filsafat
Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya
REPUBLIKA, 10 Desember 2012


Filsuf eksistensialisme, Jean Paul Sartre, pernah berkata, human is condemned to be free, manusia dikutuk untuk bebas. Bagi Sartre, kebebasan itulah yang menggerakkan manusia dalam bertindak. Manusia bebas melakukan apa saja sesuai kehendak dirinya. Namun, bukan berarti manusia tidak memperhatikan etika kemanusiaan.

Bagi eksistensialis, ketika kebebasan adalah satu-satunya universalitas manusia maka batasan dari kebebasan dari setiap individu adalah kebebasan individu lain. Dengan demikian, kebebasan bagi eksistensialis bukan kebebasan membabi buta tanpa memperhatikan hak-hak orang lain. Kebebasan pada prinsipnya adalah upaya memanusiakan manusia, seperti bahasa pengarang radikal Belanda, Multatuli, bahwa "tugas manusia adalah menjadi manusia".

Menjadi manusia, sudah pasti kita harus memanusiakan manusia.
Kedua pernyataan di atas kiranya penting untuk kita renungkan kembali pada peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional yang diperingati setiap 10 Desember. Kini, sudah 64 tahun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sejak dikumadangkan untuk pertama kalinya di Jenawa pada 10 Desember 1948. Waktu yang sudah cukup lama tersebut mestinya semakin menyadarkan kita, bangsa Indonesia, sebagai bagian dari masyarakat dunia, yang harus menghargai kebebasan sebagai hak setiap individu masyarakat.

Bahkan, tiga tahun sebelum Deklarasi Hak Asasi Manusia Internasional, bangsa Indonesia melalui Pembukaan UUD 1945 telah menegaskan "bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan". Pernyataan ini bahkan lebih universal dari Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB tersebut sebab konteksnya bukan hanya pada individu seperti dalam enam hak yang di deklarasikan waktu itu, hak sosial, ekonomi, politik, sosial budaya, hak untuk mendapat perlakuan yang sama dalam tata cara peradilan dan hak untuk mendapat persamaan dalam hukum dan pemerintahan. 

Konteks Pembukaan UUD 1945 tersebut lebih luas menyangkut kepentingan bangsa-bangsa dunia, di mana ketika hak asasi bangsa-bangsa dunia terwujud, sudah pasti hak-hak individu seperti dalam deklarasi PBB tersebut akan terwujud. Namun sayangnya, bangsa Indonesia belum mampu menerjemahkan pembukaan UUD 1945 dan Deklarasi HAM Internasional tersebut dalam tindakan nyata. 

Terbukti banyak pelanggaran HAM terjadi, pembunuhan, pemerkosaan, penganiayaan, penculikan, hilangnya rasa aman, perdagangan wanita, diskriminasi terhadap perempuan dalam pekerjaan dan politik, serta pengekangan kebebasan berkeyakinan yang akhir-akhir ini kasusnya semakin marak. Fakta ini menjadi bukti konkret jika sampai saat ini bangsa Indonesia masih buta akan HAM. Semua wacana tentang HAM hanya hambar dalam diskusi, seminar, ataupun workshop. Sementara, realiasinya sangat sulit kita temukan.

Renungan Kemanusiaan

Menegaskan bahasa Jean Paul Sartre bahwa manusia dikutuk untuk bebas, berarti pula bahwa hal mendasar dalam diri manusia adalah ingin bebas menentukan pilihan hidupnya. Kebebasan itulah yang membuat manusia benar-benar hidup. Kebebasan menjadi simbol bahwa manusia ingin berkembang dan maju. Tidak dapat dibayangkan rasa sakitnya, seandainya manusia dikekang dalam menentukan pilihan hidup. 

Misalnya, pilihan berkeyakinan sebagai sesuatu yang urgen dalam hidup manusia. 
Sudah pasti, manusia yang dikekang dalam berkeyakinan akan merasakan tekanan psikologis yang sangat berat sekali. Batin mereka merasa sakit dan tidak bisa hidup tenang sebab mereka harus mengingkari nilai-nilai yang mereka yakini. Pada akhirnya, akibat ketidaktenangan hidup tersebut, semua aktivitas sosial, ekonomi, pendidikan, dan politik mereka juga terganggu.

Begitupun dengan kasus-kasus pelanggaran HAM yang lain, seperti penganiayaan, pemerkosaan, dan pembunuhan, sudah pasti rasa sakit dalam hal ini dirasakan secara fisik dan psikologis. Oleh karena itu, kita penting untuk selalu merenungkan hakikat kemanusiaan. Kita sering alpa bahwa apa yang dirasakan sakit oleh manusia lain dalam konteks HAM pasti juga dirasakan sakit oleh kita. 

Nilai HAM adalah nilai universal yang menyentuh aspek kemanusiaan semua orang tanpa melihat perbedaan jenis kelamin, suku bangsa, dan kelas sosial. Sesuatu yang dirasakan sakit oleh kita, pasti dirasakan sakit oleh semua manusia di berbagai belahan dunia. Sebab, pada prinsipnya nilai HAM merupakan bentuk kesadaran pada diri manusia bahwa setiap manusia berhak mendapatkan rasa aman, hidup nyaman, keadilan, dan kehidupan yang sejahtera. 

Tidak ada manusia yang tidak menginginkan yang terbaik bagi dirinya.
Maka, ketika kita merasa sakit dikekang oleh orang lain, mestinya kita tidak mengekang orang lain memilih jalan hidupnya. Pembunuhan, diskriminasi, pemerkosaan, dan seterusnya secara jelas sangat menyakitkan jika hal itu terjadi pada diri kita. Maka, mestinya kita sadar jangan sesekali melakukan hal itu sebab mereka pasti merasakan sakit. Rasa sakit itu juga akan dirasakan kita, jika diganggu orang lain. 

Sering kali manusia hanya menuntut hak, tetapi mereka lupa jika punya kewajiban yang mesti dilaksanakan. Antara hak dan kewajiban mestinya harus ada sinergi. Ketika kita menuntut bebas menentukan pilihan, berati kita juga wajib membiarkan manusia lain bebas menentukan jalan hidupnya. Ketika kita menuntut keamanan, berarti kita juga wajib memberikan keamanan bagi orang lain. Ketika kita menuntut hidup nyaman, berati kita wajib memberikan kenyamanan hidup bagi orang lain, begitu seterusnya. 

HAM adalah upaya memanusiakan manusia sebagai makhluk bebas yang harus menjadikan manusia sebagai bagian dari dirinya. Seperti bahasa Aristoteles bahwa manusia adalah makhluk zoon politicon yang tidak bisa hidup sendiri. Kadang manusia alpa, seandainya ia hanya hidup sendiri, tanpa manusia yang lain tidak akan berarti apa-apa. Kealpaan akan hal itu yang membuat manusia angkuh dan melanggar HAM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar