Kritik
Absolutisme HAM
Saharuddin Daming ; Mantan Komisioner Komnas HAM
|
REPUBLIKA,
10 Desember 2012
Setelah perang dunia kedua
berakhir dengan meninggalkan setumpuk artefak pelanggaran hak asasi manusia
(HAM) serius, masyarakat internasional memasuki tatanan dunia baru yang lebih
damai dan sejahtera. Ide tentang perlunya standar umum yang menjamin
penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak manusia secara universal telah
melembaga melalui The Universal
Declaration of Human Rights 10/12/1948. Sejak itu, dunia terus
mengembangkan konsep tentang HAM melalui instrumentasi lembaga internasional
yang kemudian mengerucut menjadi sebuah nilai kemapanan, bahkan nyaris
dipandang sebagai tatanan absolut.
Pendewaan yang
menempatkan HAM sebagai tatanan absolut sebetulnya merupakan reinkarnasi dari
tradisi pemikiran kuno yang menempatkan para kaisar atau raja sebagai
penguasa absolut. Semua ucapan, pikiran, dan apa pun yang berasal dari
penguasa merupakan hukum yang berlaku absolut.
Dalam peradaban modern
yang berlangsung dewasa ini, masyarakat dunia menikmati secara relatif nilai
perdamaian dan kestabilan yang berpangkal dari komitmen negara beradab untuk
menghormati dan menjunjung tinggi serta memberikan perlindungan HAM bagi
warga negaranya. Untuk mencegah terulangnya penyelenggaraan negara secara
absolut, muncullah HAM sebagai tatanan dunia baru.
Begitu absolutnya
keberlakuan HAM secara universal, maka semua nilai-nilai sosial budaya,
termasuk agama, ternyata harus tunduk sepenuhnya pada dewa global, yaitu HAM.
Jika ada nilai dan pranata sosial, budaya, bahkan agama tidak sesuai dengan
prinsip dan standar HAM maka ajaran agama, seperti Islam yang diyakini
pemeluknya sebagai kebenaran hakiki walaa
yu'la Alaihi, harus disingkirkan.
Supremasi HAM atas agama,
khususnya Islam, tidak lain merupakan
bagian dari serangan penyakit nifaq kalau bukan syirik. Betapa tidak, karena
HAM yang diletakkan sebagai prinsip serta standar universal itu pada hakikatnya
hanyalah cetusan hati dan pikiran anak cucu Adam yang tidak mungkin lebih
tinggi dari kebenaran Ilahiyah.
Sudah merupakan dogma
absolut dan universal bahwa setiap hasil karya insaniyah yang dipuja bahkan
sempat didewakan pada zaman kejayaannya pastilah tunduk pada hukum keterbatasan
ruang dan waktu. Hanya Allah dan segala yang diwahyukan bebas dari keterikatan
itu. Sebenarnya, penempatan HAM sebagai prinsip dan standar universal secara
historis dipahami dari komposisi tim perumus naskah Deklarasi Universal HAM.
Tim perumus tersebut
memang sengaja direkrut dari sejumlah tokoh berpengaruh yang sedapat mungkin
mencerminkan representasi semua bangsa di muka bumi ini. Namun, keberadaan
tokoh dalam tim perumus dimaksud, bukan dan tidak boleh diartikan sebagai
mandataris penuh dari bangsa atau masyarakat yang kebetulan menjadi asal
muasal mereka.
Pandangan yang
menempatkan HAM sebagai tatanan absolut dan universal sebenarnya telah lama
ditentang dan dikritik tidak hanya oleh penguasa negara di Cina, Rusia, serta
negara-negara di Timur Tengah dan lain-lain, tetapi juga datang dari sederet
pakar HAM sendiri yang melahirkan aliran relativisme dan partikularistis HAM.
Mereka menilai bahwa penerapan HAM secara absolut dan universal sangat berat
sebelah dan kebablasan.
Herannya, pluralisme
sebagai pilar penting HAM dirasakan sangat bias dan paradoks dengan
pelembagaan absolutisme dan universalitas HAM. Penganut absolutisme dan
universalitas HAM mencita-citakan terbentuknya peradaban tunggal, yaitu
peradaban HAM. Semua peradaban termasuk pemikiran dari tokoh yang tidak
sejalan dengan standar dan prinsip HAM sering dijadikan sebagai target
pengucilan dan kebencian.
Sikap dan perilaku
antagonis kaum pendewa universal dan absolutisme HAM seperti itu mengingkari
agama sebagai varian dari keberagaman. Tengoklah tren pemikiran para
penganut liberalisme dan sekularisme, yang sangat membenci dan mengucilkan konsepsi syariat
Islam. Kebencian itu
bertumpu pada tuduhan bahwa Islam melarang dan mengganggu ritus pendewaan
mereka terhadap praktik sekularisme dan liberalisme sebagai berhala baru.
Seorang Muslim yang
ingin ber-Islam secara kaffah dan konsisten dapat terancam sebagai pihak yang
dibenci dan dikucilkan oleh kaum sekuler dan liberal. Tengok saja upaya umat Islam
yang gigih mempertahankan
ajaran agamanya dengan memberlakukan syariah sebagai hukum positif di
Indonesia,
terus mendapat tantangan keras dari kaum sekuler dan liberal yang menilai
bahwa syariah bertentangan dengan HAM.
Sejumlah perda syariah
yang dilegitimasi oleh dukungan mayoritas anggota DPRD masing-masing daerah
tetap dipersoalkan dengan berbagai tuduhan miring yang merefleksikan
Islamofobia. Kaum sekuler dan liberal menggunakan segala cara untuk
mendistorsi kesucian syariah dengan menciptakan kesan yang menakutkan.
Parahnya
lagi karena dekonstruksi syariah dengan berpegang pada tuduhan bahwa syariah
melembagakan ajaran sadisme justru sering bersumber dari tokoh yang tidak
memahami Islam secara betul. Syariah lalu dibentur-benturkan dengan HAM demi
memperoleh legitimasi bahwa syariah harus dilarang karena bertentangan dengan
HAM. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar