Mengejar
Pertumbuhan 7 Persen
Sunarsip ; Ekonom The Indonesia Economic Intelligence (IEI)
|
REPUBLIKA,
10 Desember 2012
Sepertinya, angka
tujuh merupakan angka yang memiliki arti spesial bagi Indonesia. Betapa
tidak, karena angka tujuh inilah, Indonesia bahkan menjadi "perbincangan"
di tingkat internasional.
Indonesia, dengan
Borobudurnya, masuk sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Di bidang
ekonomi, McKinsey belum lama ini memproyeksikan bahwa Indonesia pada 2030
berpeluang menjadi negara terbesar ketujuh di dunia setelah Cina, Amerika Serikat,
India, Jepang, Brasil, Rusia, dan mengambil alih posisi Jerman serta Inggris. Nah,
sekarang, saya terpaksa mengingatkan lagi agar angka tujuh tidak menjadi
angka "keramat" karena selalu diharapkan terjadi, tapi hingga kini
belum tercapai. Yaitu, target pertumbuhan ekonomi sebesar tujuh persen.
Sejak Kabinet Indonesia Bersatu terbentuk pada 2004, target pertumbuhan ekonomi sebesar tujuh persen dan selalu menjadi angka yang diharapkan. Setidaknya, hal ini dapat ditemukan dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009 dan RPJM 2010-2014.
Harapan untuk meraih
pertumbuhan tujuh persen ini adalah hal yang wajar. Ini mengingat, sejak
krisis 1997/1998, pertumbuhan ekonomi kita memang belum pernah tembus tujuh
persen. Padahal, sebelum krisis 1997/1998, ekonomi kita rata-rata tumbuh sekitar tujuh
persen. Selalu saja terdapat suatu kejadian yang menjadi "alasan"
tidak tercapainya pertumbuhan ekonomi tujuh persen tersebut. Dan, pada umum
nya, faktor yang menjadi "alasan" tidak tercapainya target
pertumbuhan ekonomi tujuh persen tersebut adalah faktor eksternal, yaitu
krisis ekonomi global.
Menjelang berakhirnya
2012 ini, dapat dipastikan bahwa pertumbuhan ekonomi kita tidak akan mencapai
tujuh persen, bahkan diperkirakan berada di bawah target APBN-P 2012 sebesar
6,5 persen. Proyeksi ekonomi 2013 yang dikeluarkan berbagai lembaga juga
tidak mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi kita bisa mencapai tujuh
persen. Bahkan, APBN 2013 juga memasang target pertumbuhan ekonomi "maksimal"
sebesar 6,8 persen. Sementara itu, pada Oktober 2012, IMF memproyeksikan
pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2013 sebesar 6,3 persen.
Pertanyaannya, apakah
memang target pertumbuhan ekonomi sebesar tujuh persen ini akan tetap menjadi
angka "keramat" (karena tidak tercapai)? Kalau ya, lalu sampai
kapan?
Secara teknis,
Indonesia memiliki potensi untuk dapat tumbuh sebesar pertumbuhan potensialnya,
yaitu tujuh persen per tahun. Pertumbuhan potensial yang dimaksud di sini
adalah tingkat pertumbuhan ekonomi yang konsisten dengan laju inflasi yang
tidak terlalu tinggi, sustainable, dan penyerapan tenaga kerja yang mendekati
natural full employment.
Sehubungan dengan ini,
saya melalui The Indonesia Economic
Intelligence (IEI)
setidaknya telah mengidentifikasi empat faktor yang perlu didorong kinerjanya untuk merealisasikan pertumbuhan ekonomi sebesar tujuh persen. Pertama, berdasarkan estimasi Bank Indonesia (2011), pertumbuhan potensial perekonomian Indonesia berada pada tingkat tujuh persen apabila ditopang pertumbuhan investasi minimal 12 persen setiap tahun. Sayangnya, dalam kurun 2001-2011, rata-rata pertumbuhan investasi hanya mencapai 7,4 persen.
Untuk mencapai pertumbuhan investasi sebesar 12 persen tersebut, diperlukan
alokasi belanja modal pemerintah serta peran investasi swasta yang lebih
besar.
Kedua, dibutuhkan pertumbuhan
produktivitas tenaga kerja sebesar 60 persen dari tingkat produktivitas
tenaga kerja saat ini. McKinsey (2012) menyebutkan bahwa perekonomian
Indonesia telah mencapai kinerja yang cukup baik dalam hal produktivitas tenaga
kerja, yang menyumbang lebih dari 60 persen terhadap pertumbuhan ekonomi
selama dua dasawarsa terakhir.
Faktor produktivitas tenaga kerja selama 2000-2010 menghasilkan pertumbuhan
ekonomi rata-rata 2,9 persen per tahun. Namun, Indonesia perlu meningkatkan
pertumbuhan produktivitasnya sebesar 60 persen dari angka yang dicapai saat
ini agar kita dapat mencapai target pertumbuhan sebesar tujuh persen.
Ketiga, dibutuhkan pertumbuhan
sektor manufaktur di atas tujuh persen atau selevel dengan pertumbuhannya
sebelum terjadi krisis ekonomi 1997/1998. Perlu diketahui, sejak krisis
1997/1998, laju pertumbuhan sektor manufaktur melemah dan berada di bawah
laju pertumbuhan ekonomi nasional. Padahal, sebelum krisis 1997/1998, kinerja
sektor manufaktur mencapai pertumbuhan di atas tujuh persen per tahun. Lambatnya
pertumbuhan sektor manufaktur saat ini menyebabkan penyerapan tenaga kerja di
sektor ini relatif kecil. Akibatnya, pengurangan jumlah orang miskin menjadi
lebih lambat dibandingkan dengan periode sebelum krisis.
Di samping itu,
Indonesia perlu memacu kinerja sektor pertanian dan pertambangannya yang
hingga saat ini pertumbuhannya masih di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi
secara nasional. Rata-rata pertumbuhan sektor pertanian, pertambangan, dan
manufaktur selama 2001-2011 masing-masing sebesar 3,42 persen, 1,11 persen,
dan 4,60 persen. Sedangkan, rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional
selama 2001-2011 sebesar 5,33 persen.
Keempat, mendorong
pertumbuhan ekonomi daerah lebih agresif melalui percepatan realisasi APBD
dan investasi. Perlu diketahui bahwa kini telah muncul sentra-sentra
pertumbuhan ekonomi baru, khususnya di luar Jawa, yang kini menjadi salah
satu penopang utama tetap tercapainya pertumbuhan ekonomi Indonesia yang
tinggi. Bahkan, beberapa daerah memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih
tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi nasional. Sayangnya, sentra-sentra
pertumbuhan "baru" tersebut masih memiliki problem dengan rendahnya
realisasi APBD. Di sisi lain, sentra-sentra pertumbuhan "baru" tersebut
belum menjadi tujuan investasi utama di Indonesia.
Berdasarkan data UKP4,
hingga triwulan III 2012, realisasi APBD baru mencapai 41,30 persen.
Sementara itu, pada 2011, sebesar 60,20 persen investasi masih terkonsentrasi
di Jawa atau sebesar 83,90 persen terkonsentrasi di Jawa dan Sumatra.
Untuk mendorong
kinerja dari keempat faktor yang selama ini menjadi kendala internal tidak
tercapainya pertumbuhan sebesar tujuh persen, memang dibutuhkan usaha
(effort) yang luar biasa. Misalnya, untuk meningkatkan pertumbuhan investasi
di atas 12 persen, tentunya dibutuhkan dana yang besar, baik dari pemerintah
maupun swasta.
Dari sisi pemerintah,
dibutuhkan "keberanian" tersendiri untuk merealokasi anggaran dari
nonproduktif (misalnya, subsidi BBM) ke anggaran yang lebih produktif
(misalnya, belanja modal). "Keberanian" yang sama juga dibutuhkan
ketika otoritas ekonomi dituntut untuk meningkatkan produktivitas, kinerja
sektor manufaktur, pertanian, pertambangan, dan perekonomian daerah.
Tetapi, itulah harga
yang harus dibayar untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar tujuh persen.
Sebab, tanpa ada upaya yang luar biasa, dengan struktur ekonomi seperti saat
ini, sulit bagi Indonesia untuk dapat mengejar pertumbuhan ekonomi sebesar tujuh
persen. Padahal, pertumbuhan ekonomi sebesar tujuh persen sudah menjadi
kebutuhan agar perekonomian bisa menyerap tenaga kerja yang telah memasuki
usia kerja, menciptakan lapangan kerja baru, menurunkan kemiskinan, sekaligus
menciptakan kondisi sosial yang kondusif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar