Protokol Kyoto
2020
Ari Susanto ; Peneliti dan Relawan untuk Sustainable Low-Carbon Society
Project
|
REPUBLIKA,
17 Desember 2012
Konferensi perubahan
iklim PBB 2012 di Doha yang berakhir pada Sabtu (8/12) pekan lalu hanya
menghasilkan kesepakatan moderat tentang masa depan rezim pemanasan global.
Perundingan panjang selama dua pekan yang melibatkan 200 pihak itu berhasil
menyepakati perpanjangan Protokol Kyoto hingga 2020, tapi gagal menetapkan
target baru pengurangan emisi gas rumah kaca.
Selain itu, perundingan
juga belum menyepakati langkah lanjutan untuk merealisasikan bantuan finansial
sebesar 100 miliar dolar AS per tahun dari negara maju untuk negara miskin
dan berkembang yang terkena dampak perubahan iklim. Topik ini akan tetap
menjadi pekerjaan rumah bagi perundingan iklim berikutnya, tahun depan, meski
kesepakatan tentang bantuan dana itu sudah diteken sejak dua tahun lalu di
Cancun.
Protokol Kyoto adalah
tema perundingan yang paling alot sejak tiga tahun terakhir. Ini terkait
dengan habisnya masa berlaku rezim pemanasan global itu pada 31 Desember
2012, sementara kerangka kerja sama multilateral baru yang direncanakan sejak
perundingan iklim 2009 di Copenhagen sebagai pengganti Protokol Kyoto tak
kunjung di sepakati.
Protokol Kyoto adalah
satu-satunya rezim pemanasan global yang mengatur negara maju dan negara
industri -kecuali Amerika Serikat yang tidak pernah meratifikasi- untuk
mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar rata-rata lima persen di bawah emisi
pada 1990 dalam periode 2008-2012.
Meskipun Protokol
Kyoto secara umum mampu menekan emisi di negara-negara yang terikat regulasi,
di saat yang sama emisi karbon global justru meningkat dibanding pada 1990.
Emisi karbon ini berasal dari penggunaan bahan bakar fosil di negara-negara
berkembang utama, seperti Cina, India, Brasil, Afrika Selatan yang tidak
dikenai kewajiban pengurangan emisi. Beberapa negara maju, seperti Jepang dan
Rusia, menilai, Protokol Kyoto tidak adil karena tidak menekankan kewajiban
pengurangan emisi bagi negara berkembang utama dan AS.
Dalam perundingan
iklim 2011 di Durban, Jepang, Rusia, dan Selandia Baru memutuskan tidak akan
ikut serta dalam perpanjangan komitmen kedua Protokol Kyoto 2013-2020, mereka
menginginkan skema kerja sama multi lateral pengganti yang mencakup semua negara
untuk berkomitmen mengurangi emisi karbon. Sedangkan, Kanada secara
mengejutkan menarik diri dari Protokol Kyoto karena menilai re zim itu sudah
usang dan tidak efektif menang ani pemanasan global. Para ak tivis lingkungan
mengecam negara-negara itu dengan sebutan kelompok "Kill Kyoto".
Sementara itu, negara
berkembang utama dan Indonesia adalah pendukung perpanjangan Protokol Kyoto
karena melalui kerja sama ini. Selain mendapat- kan bantuan dari
negara-negara maju lewat proyek Clean
Development Mechanism (CDM) dan dana mitigasi dampak perubahan iklim,
mereka juga memiliki kesempatan mengejar ketertinggalan dari negara maju
lewat industrialisasi tanpa aturan pembatasan emisi karbon.
Bagaimanapun juga,
pemasanan global yang disebabkan oleh penumpukan emisi karbon di atmosfer
bumi adalah buah dari industrialisasi besar-besaran di semua negara maju yang
menggunakan energi fosil sejak dua abad terakhir.
Tidak efektif Sebelumnya, Protokol Kyoto mengatur hanya sekitar 27 persen dari emisi karbon global karena tidak memasukkan emisi dari negara berkembang, serta dua negara penghasil CO2 terbesar di dunia, AS dan Cina. Sekarang, tanpa Jepang, Rusia, Kanada, dan Selandia Baru, Protokol Kyoto pada periode komitmen kedua hingga 2020 hanya mengatur sekitar 15 persen dari emisi karbon global yang terdiri atas negara-negara Uni Eropa dan Australia.
Angka 15 persen hampir
jelas mengindikasikan tidak efektifnya Protokol Kyoto dalam mengendalikan
emisi karbon global. Dan, jika hal ini berlanjut hingga 2020 estimasi emisi
karbon global akan meningkat terus setiap tahunnya.
Sebagai perbandingan, pada 2011 total emisi global CO2 dari pembakaran energi berbahan fosil menembus angka 31,6 gigaton, naik 3,2 persen atau sekitar satu gigaton dari emisi pada 2010. Penggunaan batu bara menyumbang 45 persen dari total emisi, minyak bumi 35 persen, dan gas alam 20 persen.
Perpanjangan
Protokol Kyoto dinilai
beberapa pengamat lingkungan sebagai kegagalan perundingan multilateral atas
konsep pengurangan emisi karbon yang lebih komprehensif dan mengikutkan lebih
banyak kekuatan ekonomi baru. Regulasi yang baru paling cepat baru akan
disepakati pada 2015 dan berlaku efektif pada 2020.
Dua kepentingan yang
tidak bisa disatukan, yaitu keadilan dan efektivitas, akan tetap menjadi
sandungan bagi perundingan lanjutan tahun depan. Negara berkembang tetap
menilai Protokol Kyoto sebagai regulasi yang adil dan menjadi batu pijakan
untuk berbagai perundingan iklim. Sebaliknya, beberapa negara maju ingin
menyusun rezim pengganti yang efektif membatasi emisi karbon global.
Perundingan iklim
beberapa tahun ke depan menuju regulasi 2015 tampaknya akan semakin berat
karena perkembangan ekonomi negara-negara berkembang. Karenanya, tidak
mungkin lagi mengelompokkan negara berdasar dua katagori negara maju
(industri) dan negara berkembang.
Kemunculan Cina dan
India dengan pertumbuhan industrinya yang pesat akan menempatkan negara
dengan ranking teratas penghasil emisi karbon bukan sebagai negara berkembang,
melainkan juga bukan negara industri maju. Indonesia sebagai negara berkembang
dengan emisi karbon nomor empat di dunia ingin mendorong kelanjutan Protokol
Kyoto, sekaligus mendesak negara maju untuk tetap mematuhi target pengurangan
emisi seperti yang diatur.
Meskipun Indonesia
tidak terikat oleh target pengurangan emisi Protokol Kyoto, tetap diperlukan
langkah tepat untuk berpatisipasi terutama dalam hal mitigasi dampak
perubahan iklim. Salah satu kebijakan rendah karbon yang semestinya segera
dipikirkan oleh pemerintah adalah sektor energi. Indonesia tentunya tidak
bisa terus menggantungkan pada bahan bakar fosil untuk memenuhi kebutuhan
listrik nasional. Di bawah Protokol Kyoto, Indonesia seharusnya bisa
memanfaatkan proyek CDM dari negara maju untuk mengembangkan energi
terbarukan.
Dampak perubahan iklim
yang nyata sudah demikian berat menghantam Indonesia, mulai dari pergesaran
musim yang tidak lagi bisa diprediksi, banjir di sebagian wilayah, dan di
saat yang sama kekeringan di wilayah lainnya. Lebih jauh lagi, dampak
perubahan iklim adalah ancaman terhadap ketahanan pangan nasional. Karenanya,
selain diperlukan kebijakan nasional rendah karbon, jauh lebih penting adalah
menanamkan kesadaran masyarakat tentang perubahan iklim. Terlepas dari
menyalahkan negara maju yang lebih dulu melakukan industrialisasi dengan
energi fosil, lebih penting memulai tindakan untuk mengurangi dampak
pemanasan global. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar