Selasa, 18 Desember 2012

Protokol Kyoto 2020


Protokol Kyoto 2020
Ari Susanto ;  Peneliti dan Relawan untuk Sustainable Low-Carbon Society Project
REPUBLIKA, 17 Desember 2012


Konferensi perubahan iklim PBB 2012 di Doha yang berakhir pada Sabtu (8/12) pekan lalu hanya menghasilkan kesepakatan moderat tentang masa depan rezim pemanasan global. Perundingan panjang selama dua pekan yang melibatkan 200 pihak itu berhasil menyepakati perpanjangan Protokol Kyoto hingga 2020, tapi gagal menetapkan target baru pengurangan emisi gas rumah kaca. 
Selain itu, perundingan juga belum menyepakati langkah lanjutan untuk merealisasikan bantuan finansial sebesar 100 miliar dolar AS per tahun dari negara maju untuk negara miskin dan berkembang yang terkena dampak perubahan iklim. Topik ini akan tetap menjadi pekerjaan rumah bagi perundingan iklim berikutnya, tahun depan, meski kesepakatan tentang bantuan dana itu sudah diteken sejak dua tahun lalu di Cancun.
Protokol Kyoto adalah tema perundingan yang paling alot sejak tiga tahun terakhir. Ini terkait dengan habisnya masa berlaku rezim pemanasan global itu pada 31 Desember 2012, sementara kerangka kerja sama multilateral baru yang direncanakan sejak perundingan iklim 2009 di Copenhagen sebagai pengganti Protokol Kyoto tak kunjung di sepakati. 
Protokol Kyoto adalah satu-satunya rezim pemanasan global yang mengatur negara maju dan negara industri -kecuali Amerika Serikat yang tidak pernah meratifikasi- untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar rata-rata lima persen di bawah emisi pada 1990 dalam periode 2008-2012.
Meskipun Protokol Kyoto secara umum mampu menekan emisi di negara-negara yang terikat regulasi, di saat yang sama emisi karbon global justru meningkat dibanding pada 1990. Emisi karbon ini berasal dari penggunaan bahan bakar fosil di negara-negara berkembang utama, seperti Cina, India, Brasil, Afrika Selatan yang tidak dikenai kewajiban pengurangan emisi. Beberapa negara maju, seperti Jepang dan Rusia, menilai, Protokol Kyoto tidak adil karena tidak menekankan kewajiban pengurangan emisi bagi negara berkembang utama dan AS. 
Dalam perundingan iklim 2011 di Durban, Jepang, Rusia, dan Selandia Baru memutuskan tidak akan ikut serta dalam perpanjangan komitmen kedua Protokol Kyoto 2013-2020, mereka menginginkan skema kerja sama multi lateral pengganti yang mencakup semua negara untuk berkomitmen mengurangi emisi karbon. Sedangkan, Kanada secara mengejutkan menarik diri dari Protokol Kyoto karena menilai re zim itu sudah usang dan tidak efektif menang ani pemanasan global. Para ak tivis lingkungan mengecam negara-negara itu dengan sebutan kelompok "Kill Kyoto".
Sementara itu, negara berkembang utama dan Indonesia adalah pendukung perpanjangan Protokol Kyoto karena melalui kerja sama ini. Selain mendapat- kan bantuan dari negara-negara maju lewat proyek Clean Development Mechanism (CDM) dan dana mitigasi dampak perubahan iklim, mereka juga memiliki kesempatan mengejar ketertinggalan dari negara maju lewat industrialisasi tanpa aturan pembatasan emisi karbon. 
Bagaimanapun juga, pemasanan global yang disebabkan oleh penumpukan emisi karbon di atmosfer bumi adalah buah dari industrialisasi besar-besaran di semua negara maju yang menggunakan energi fosil sejak dua abad terakhir.
Tidak efektif Sebelumnya, Protokol Kyoto mengatur hanya sekitar 27 persen dari emisi karbon global karena tidak memasukkan emisi dari negara berkembang, serta dua negara penghasil CO2 terbesar di dunia, AS dan Cina. Sekarang, tanpa Jepang, Rusia, Kanada, dan Selandia Baru, Protokol Kyoto pada periode komitmen kedua hingga 2020 hanya mengatur sekitar 15 persen dari emisi karbon global yang terdiri atas negara-negara Uni Eropa dan Australia.
Angka 15 persen hampir jelas mengindikasikan tidak efektifnya Protokol Kyoto dalam mengendalikan emisi karbon global. Dan, jika hal ini berlanjut hingga 2020 estimasi emisi karbon global akan meningkat terus setiap tahunnya.
Sebagai perbandingan, pada 2011 total emisi global CO2 dari pembakaran energi berbahan fosil menembus angka 31,6 gigaton, naik 3,2 persen atau sekitar satu gigaton dari emisi pada 2010. Penggunaan batu bara menyumbang 45 persen dari total emisi, minyak bumi 35 persen, dan gas alam 20 persen.
Perpanjangan
Protokol Kyoto dinilai beberapa pengamat lingkungan sebagai kegagalan perundingan multilateral atas konsep pengurangan emisi karbon yang lebih komprehensif dan mengikutkan lebih banyak kekuatan ekonomi baru. Regulasi yang baru paling cepat baru akan disepakati pada 2015 dan berlaku efektif pada 2020. 
Dua kepentingan yang tidak bisa disatukan, yaitu keadilan dan efektivitas, akan tetap menjadi sandungan bagi perundingan lanjutan tahun depan. Negara berkembang tetap menilai Protokol Kyoto sebagai regulasi yang adil dan menjadi batu pijakan untuk berbagai perundingan iklim. Sebaliknya, beberapa negara maju ingin menyusun rezim pengganti yang efektif membatasi emisi karbon global. 
Perundingan iklim beberapa tahun ke depan menuju regulasi 2015 tampaknya akan semakin berat karena perkembangan ekonomi negara-negara berkembang. Karenanya, tidak mungkin lagi mengelompokkan negara berdasar dua katagori negara maju (industri) dan negara berkembang. 
Kemunculan Cina dan India dengan pertumbuhan industrinya yang pesat akan menempatkan negara dengan ranking teratas penghasil emisi karbon bukan sebagai negara berkembang, melainkan juga bukan negara industri maju. Indonesia sebagai negara berkembang dengan emisi karbon nomor empat di dunia ingin mendorong kelanjutan Protokol Kyoto, sekaligus mendesak negara maju untuk tetap mematuhi target pengurangan emisi seperti yang diatur. 
Meskipun Indonesia tidak terikat oleh target pengurangan emisi Protokol Kyoto, tetap diperlukan langkah tepat untuk berpatisipasi terutama dalam hal mitigasi dampak perubahan iklim. Salah satu kebijakan rendah karbon yang semestinya segera dipikirkan oleh pemerintah adalah sektor energi. Indonesia tentunya tidak bisa terus menggantungkan pada bahan bakar fosil untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional. Di bawah Protokol Kyoto, Indonesia seharusnya bisa memanfaatkan proyek CDM dari negara maju untuk mengembangkan energi terbarukan.
Dampak perubahan iklim yang nyata sudah demikian berat menghantam Indonesia, mulai dari pergesaran musim yang tidak lagi bisa diprediksi, banjir di sebagian wilayah, dan di saat yang sama kekeringan di wilayah lainnya. Lebih jauh lagi, dampak perubahan iklim adalah ancaman terhadap ketahanan pangan nasional. Karenanya, selain diperlukan kebijakan nasional rendah karbon, jauh lebih penting adalah menanamkan kesadaran masyarakat tentang perubahan iklim. Terlepas dari menyalahkan negara maju yang lebih dulu melakukan industrialisasi dengan energi fosil, lebih penting memulai tindakan untuk mengurangi dampak pemanasan global.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar