Badai Demokrat
yang Tidak Kunjung Berlalu
Burhanuddin Muhtadi ; Pengajar Mata Kuliah Partai Politik
pada FISIP UIN
Syarif Hidayatullah, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 17 Desember 2012
BADAI ternyata tak kunjung berlalu
di Partai Demokrat. Prahara terakhir yang menghantam partai pemenang Pemilu
2009 itu ialah kabar pemecatan Ruhut Sitompul dari posisi Ketua Departemen
Komunikasi dan Informatika DPP Partai Demokrat. Kabar lain juga berhembus.
Ignatius Mulyono yang kerap menuduh Anas Urbaningrum dalam kaitan pengurusan
izin sertifi kat Hambalang juga tergeser dari posisi sebelumnya sebagai ketua
divisi pembinaan organisasi. Selain itu, mutasi kepengurusan juga ditandai
pertukaran posisi penting. Di antaranya, jabatan Andi Nurpati sebagai ketua
divisi komunikasi publik beralih menjadi ketua divisi hubungan eksternal dan
Gede Pasek yang dikenal dekat dengan Anas mengisi pos strategis yang
ditinggalkan Andi Nurpati.
Mutasi atau rotasi kepengurusan
dalam struktur organisasi partai sebenarnya persoalan yang biasa terjadi
asalkan dilakukan dengan prosedur yang benar sesuai dengan kewenangan DPP
sebagaimana diatur dalam AD/ART partai. Mutasi atau rotasi justru bisa
digunakan untuk konsolidasi internal dan penyegaran organisasi. Dalam kasus
mutasi di Partai Demokrat itu, hilangnya nama Ruhut sebagai ketua departemen
menarik disimak karena sering dikaitkan dengan tingkah polah dia yang sering
menyerang Anas. Secara terbuka ia bahkan menuntut Anas mundur dari posisi
ketua umum. Belum lagi prosedur pemecatan yang dilakukan tiga bulan lalu
masih dipenuhi selimut misteri. Ruhut mengaku belum menerima SK
pemberhentian, sedangkan Nurul Komar yang menggantikan posisinya baru
mengetahui kabar tersebut beberapa hari lalu.
Respons internal dalam menanggapi
isu tersebut juga tidak seragam.
Wakil Ketua Umum Max Sopacua yang dikenal dekat dengan Marzuki Alie mengaku tidak tahu-menahu soal perubahan komposisi kepengurusan. Syarif Hasan meminta Anas jangan memecat Ruhut karena loyalitasnya yang tinggi kepada SBY. Perbedaan tajam antarelite itu jelas menjadi makanan empuk media massa. Jika keputusan sudah diambil, bahasa semua kader di depan publik seharusnya sama.
Faksionalisasi
Akut
Kehebohan mutasi dan rotasi kepeng
urusan itu membuktikan secara telanjang bahwa proses institusionalisasi
Partai Demokrat masih jauh panggang dari api. Salah satu pilar
institusionalisasi partai mencakup hasil persilangan antara aspek internal
dan struktural yang disebut derajat kesisteman. Derajat kesisteman diukur
melalui sejauh mana fungsi-fungsi partai berjalan, mekanisme transparansi
dalam pengambilan keputusan, dan penyelesaian konflik internal sesuai dengan
AD/ART. Derajat kesisteman juga mengatur kepatuhan dan disiplin organisasi
terhadap keputusan yang sudah diambil secara kolektif sesuai dengan
konstitusi partai sebagai aturan mainnya (Randall dan Svasand, 2002).
Mengapa kabar pemecatan Ruhut
Sitompul memiliki tingkat kehebohan tinggi? Mengapa muncul resistensi kuat
dari sebagian internal PD dalam menanggapi isu itu? Pertanyaan tersebut
menarik diulas karena kasus Ruhut itu hanyalah pernak-pernik. Ruhut sekadar
figuran dalam `sinetron politik' Demokrat yang berepisode panjang, terutama
sejak meledaknya kasus yang melibatkan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat
M Nazaruddin. Secara kasatmata terjadi tarik-menarik kepentingan antarelite
Partai Demokrat terkait dengan kasus Nazaruddin yang mengonfirmasi perang
urat saraf antarfaksi.
Secara teoretis, studi Bima Arya
bertajuk Beyond Formal Politics: Party
Factionalism and Leadership in Postauthoritarian Indonesia merupakan
referensi menarik untuk memotret faksionalisasi dalam partai-partai politik
kita. Sayangnya, Bima hanya memfokuskan faksi-faksi di Golkar, PDI
Perjuangan, dan PAN. Sejauh ini belum ada studi sistematis mengenai
faksionalisasi di Partai Demokrat.
Jika kita memakai kerangka
analisis Belloni (1978), faksionalisasi PD mendekati pola faksi yang
terbentuk atas dasar kesamaan cara pandang dalam merespons isu politik.
Faksionalisasi Demokrat tak bisa dilepaskan dari pertarungan sengit saat
kongres terakhir di Bandung. Perebutan kursi ketua umum yang sengit membuat
elite partai mengerucut ke dalam tiga kubu, yaitu Anas Urbaningrum, Andi
Alifian Mallarangeng, dan Marzuki Alie. Faksi yang terbentuk juga disumbang
patronasi politik. Faksionalisasi yang terjadi tidak dilandasi perbedaan
ideologi, tapi lebih didorong patron klien dan kesamaan dukungan selama
kongres.
Ketika kasus Nazaruddin meledak,
ibarat api dalam sekam, faksionalisasi memicu konflik internal yang parah. Ada
faksi yang gencar memanfaatkan isu Nazaruddin untuk mendelegitimasi
kepemimpinan Anas yang dinilai dekat dengan Nazaruddin. Akibatnya terjadi
ketidakseragaman suara dalam merespons kasus Nazaruddin. Manajemen kontrol
bencana begitu lemah karena antarkubu saling serang. Kubu anti-Anas secara
terbuka menggulirkan tuntutan kongres luar biasa (KLB). Faksionalisasi
negatif itu justru dipertontonkan elite Demokrat sendiri. Mereka lebih suka
mempertontonkan noise ketimbang voice dan makin menghancurkan citra partai di
mata publik.
Jalan
Buntu
Karena menyadari kekuatan
pendukung Anas di DPP ataupun di kepengurusan tingkat provinsi dan kabupaten/
kota begitu besar, kubu anti-Anas merapat ke Ketua Dewan Pembina Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY). Sebagai patron utama, baik dari segi kesejarahan
maupun peran elektoral yang membesarkan Demokrat, SBY diharapkan tampil
sebagai veto-player yang mampu menyelesaikan karut marut masalah internal
partai. Terlebih, SBY memiliki riwayat yang kurang harmonis dengan Anas.
Namun, SBY juga bukan figur yang
gampang dimanfaatkan pihak lain agar menggunakan kewenangan besar sebagai
ketua majelis tinggi, dewan pembina, sekaligus dewan kehormatan untuk
menggusur Anas tanpa pemikiran yang matang. Jika melalui prosedur formal, KLB
via usulan dari bawah tak ubahnya membentur tembok tebal karena pascakongres,
kekuatan pendukung Anas di daerah makin membesar. Karena itu, jika pintu
darurat KLB dipaksakan melalui atas, SBY khawatir terjadi `perang saudara'
yang makin merontokkan citra Demokrat. Dengan meminjam bahasa yang dipakai
SBY sebagaimana dikutip media, dia menggunakan pendekatan `menarik benang
dalam tepung, tapi benang tak boleh putus dan tepung tak boleh berantakan'.
Karena itu, kubu Cikeas terlihat
memakai pendekatan opini publik dan elektabilitas agar Anas sukarela
mengundurkan diri sebagai ketua umum.
Argumen utamanya, Anas ikhlas mundur agar dia berkonsentrasi menyelesaikan tudingan Nazaruddin dan tidak menempatkan Demokrat sebagai pihak yang tersandera. Terlebih, Anas selama setahun lebih ini telah menjadi bulan-bulanan opini publik yang langsung memvonisnya bersalah karena tuduhan Nazaruddin. Melalui bahasa implisit dan eksplisit, Anas dinilai sebagai penyebab utama merosotnya elektabilitas Demokrat hingga menyentuh di bawah 10%. Ruhut Sitompul ialah pion politik yang meme rankan diri sebagai aktor yang membahasakan pesan kubu Cikeas secara terang-benderang.
Di sisi lain, kubu Anas memakai
pen dekatan bersanda argumen hukum da konstitusi partai. Sejauh ini Anas
belum menjadi tersangka. Tidak ada pintu masuk pemakzulan Anas sebelum
berstatus tersangka jika merujuk pada AD/ART dan kode etik partai. Nasib
hukum dan politik Anas sebagai ketua umum sangat bergantung pada KPK, tapi
vonis sosial sudah telanjur disematkan publik terhadap Anas. Bagaimanapun
juga, opini publik memiliki logika dan premis sendiri yang sering kali ber
gerak lebih cepat ketimbang proses hukum.
Dua argumen itu sama-sama memiliki justifikasi. Terjadi kebuntuan internal dalam menyikapi posisi Anas sebagai ketua umum.
Kubu Anas juga pintar memainkan
politik dua muka. Di satu sisi, Anas mengirim sinyal perlawanan dengan
mencopot Ruhut yang dikenal sebagai buldosernya TB Silalahi yang aktif
berperan sebagai arsena politik menuntut Anas mundur. Da lam sambutan
Silaturahim Nasiona (Silatnas) Partai Demokrat di Sentul Bogor, akhir pekan
lalu, Anas juga menyelipkan sentilan halus bahwa penurunan popularitas partai
bukan hanya terkait dengan Anas, melainkan juga memiliki korelasi signifikan
dengan kinerja pemerintahan SBY.
Kinerja pemerintah merupakan
variabel penting naik-turunnya suara partai karena SBY merupakan figur
Demokrat. Dengan kata lain, pesan yang ingin disampaikan yaitu apakah ada
jaminan jika Anas mundur, elektabilitas Demokrat pasti naik?
Namun, di sisi lain, Anas juga tak
henti-hentinya mengirim pesan `kepatuhan' kepada SBY. Salah satunya dengan
memberikan anugerah Lifetime
Achievement Award kepada SBY. Perang urat saraf di internal partai harus
segera dituntaskan jika tak ingin kapal Demokrat karam di 2014 nanti.
Terlebih, badai Demokrat juga makin kencang menghantam prospek elektoral
partai seiring dengan penetapan Andi Mallarangeng sebagai tersangka dalam
kasus Hambalang. Jika badai itu tak kunjung berlalu, Partai Demokrat harus
siap-siap mengubur mimpi sebagai jawara Pemilu 2014. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar