Selasa, 18 Desember 2012

Badai Demokrat yang Tidak Kunjung Berlalu


Badai Demokrat yang Tidak Kunjung Berlalu
Burhanuddin Muhtadi ;  Pengajar Mata Kuliah Partai Politik
pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 17 Desember 2012


BADAI ternyata tak kunjung berlalu di Partai Demokrat. Prahara terakhir yang menghantam partai pemenang Pemilu 2009 itu ialah kabar pemecatan Ruhut Sitompul dari posisi Ketua Departemen Komunikasi dan Informatika DPP Partai Demokrat. Kabar lain juga berhembus. Ignatius Mulyono yang kerap menuduh Anas Urbaningrum dalam kaitan pengurusan izin sertifi kat Hambalang juga tergeser dari posisi sebelumnya sebagai ketua divisi pembinaan organisasi. Selain itu, mutasi kepengurusan juga ditandai pertukaran posisi penting. Di antaranya, jabatan Andi Nurpati sebagai ketua divisi komunikasi publik beralih menjadi ketua divisi hubungan eksternal dan Gede Pasek yang dikenal dekat dengan Anas mengisi pos strategis yang ditinggalkan Andi Nurpati.
Mutasi atau rotasi kepengurusan dalam struktur organisasi partai sebenarnya persoalan yang biasa terjadi asalkan dilakukan dengan prosedur yang benar sesuai dengan kewenangan DPP sebagaimana diatur dalam AD/ART partai. Mutasi atau rotasi justru bisa digunakan untuk konsolidasi internal dan penyegaran organisasi. Dalam kasus mutasi di Partai Demokrat itu, hilangnya nama Ruhut sebagai ketua departemen menarik disimak karena sering dikaitkan dengan tingkah polah dia yang sering menyerang Anas. Secara terbuka ia bahkan menuntut Anas mundur dari posisi ketua umum. Belum lagi prosedur pemecatan yang dilakukan tiga bulan lalu masih dipenuhi selimut misteri. Ruhut mengaku belum menerima SK pemberhentian, sedangkan Nurul Komar yang menggantikan posisinya baru mengetahui kabar tersebut beberapa hari lalu.
Respons internal dalam menanggapi isu tersebut juga tidak seragam.
Wakil Ketua Umum Max Sopacua yang dikenal dekat dengan Marzuki Alie mengaku tidak tahu-menahu soal perubahan komposisi kepengurusan.
Syarif Hasan meminta Anas jangan memecat Ruhut karena loyalitasnya yang tinggi kepada SBY. Perbedaan tajam antarelite itu jelas menjadi makanan empuk media massa. Jika keputusan sudah diambil, bahasa semua kader di depan publik seharusnya sama.
Faksionalisasi Akut
Kehebohan mutasi dan rotasi kepeng urusan itu membuktikan secara telanjang bahwa proses institusionalisasi Partai Demokrat masih jauh panggang dari api. Salah satu pilar institusionalisasi partai mencakup hasil persilangan antara aspek internal dan struktural yang disebut derajat kesisteman. Derajat kesisteman diukur melalui sejauh mana fungsi-fungsi partai berjalan, mekanisme transparansi dalam pengambilan keputusan, dan penyelesaian konflik internal sesuai dengan AD/ART. Derajat kesisteman juga mengatur kepatuhan dan disiplin organisasi terhadap keputusan yang sudah diambil secara kolektif sesuai dengan konstitusi partai sebagai aturan mainnya (Randall dan Svasand, 2002).
Mengapa kabar pemecatan Ruhut Sitompul memiliki tingkat kehebohan tinggi? Mengapa muncul resistensi kuat dari sebagian internal PD dalam menanggapi isu itu? Pertanyaan tersebut menarik diulas karena kasus Ruhut itu hanyalah pernak-pernik. Ruhut sekadar figuran dalam `sinetron politik' Demokrat yang berepisode panjang, terutama sejak meledaknya kasus yang melibatkan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin. Secara kasatmata terjadi tarik-menarik kepentingan antarelite Partai Demokrat terkait dengan kasus Nazaruddin yang mengonfirmasi perang urat saraf antarfaksi.
Secara teoretis, studi Bima Arya bertajuk Beyond Formal Politics: Party Factionalism and Leadership in Postauthoritarian Indonesia merupakan referensi menarik untuk memotret faksionalisasi dalam partai-partai politik kita. Sayangnya, Bima hanya memfokuskan faksi-faksi di Golkar, PDI Perjuangan, dan PAN. Sejauh ini belum ada studi sistematis mengenai faksionalisasi di Partai Demokrat.
Jika kita memakai kerangka analisis Belloni (1978), faksionalisasi PD mendekati pola faksi yang terbentuk atas dasar kesamaan cara pandang dalam merespons isu politik. Faksionalisasi Demokrat tak bisa dilepaskan dari pertarungan sengit saat kongres terakhir di Bandung. Perebutan kursi ketua umum yang sengit membuat elite partai mengerucut ke dalam tiga kubu, yaitu Anas Urbaningrum, Andi Alifian Mallarangeng, dan Marzuki Alie. Faksi yang terbentuk juga disumbang patronasi politik. Faksionalisasi yang terjadi tidak dilandasi perbedaan ideologi, tapi lebih didorong patron klien dan kesamaan dukungan selama kongres.
Ketika kasus Nazaruddin meledak, ibarat api dalam sekam, faksionalisasi memicu konflik internal yang parah. Ada faksi yang gencar memanfaatkan isu Nazaruddin untuk mendelegitimasi kepemimpinan Anas yang dinilai dekat dengan Nazaruddin. Akibatnya terjadi ketidakseragaman suara dalam merespons kasus Nazaruddin. Manajemen kontrol bencana begitu lemah karena antarkubu saling serang. Kubu anti-Anas secara terbuka menggulirkan tuntutan kongres luar biasa (KLB). Faksionalisasi negatif itu justru dipertontonkan elite Demokrat sendiri. Mereka lebih suka mempertontonkan noise ketimbang voice dan makin menghancurkan citra partai di mata publik.
Jalan Buntu
Karena menyadari kekuatan pendukung Anas di DPP ataupun di kepengurusan tingkat provinsi dan kabupaten/ kota begitu besar, kubu anti-Anas merapat ke Ketua Dewan Pembina Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sebagai patron utama, baik dari segi kesejarahan maupun peran elektoral yang membesarkan Demokrat, SBY diharapkan tampil sebagai veto-player yang mampu menyelesaikan karut marut masalah internal partai. Terlebih, SBY memiliki riwayat yang kurang harmonis dengan Anas.
Namun, SBY juga bukan figur yang gampang dimanfaatkan pihak lain agar menggunakan kewenangan besar sebagai ketua majelis tinggi, dewan pembina, sekaligus dewan kehormatan untuk menggusur Anas tanpa pemikiran yang matang. Jika melalui prosedur formal, KLB via usulan dari bawah tak ubahnya membentur tembok tebal karena pascakongres, kekuatan pendukung Anas di daerah makin membesar. Karena itu, jika pintu darurat KLB dipaksakan melalui atas, SBY khawatir terjadi `perang saudara' yang makin merontokkan citra Demokrat. Dengan meminjam bahasa yang dipakai SBY sebagaimana dikutip media, dia menggunakan pendekatan `menarik benang dalam tepung, tapi benang tak boleh putus dan tepung tak boleh berantakan'.
Karena itu, kubu Cikeas terlihat memakai pendekatan opini publik dan elektabilitas agar Anas sukarela mengundurkan diri sebagai ketua umum.
Argumen utamanya, Anas ikhlas mundur agar dia berkonsentrasi menyelesaikan tudingan Nazaruddin dan tidak menempatkan Demokrat sebagai pihak yang tersandera. Terlebih, Anas selama setahun lebih ini telah menjadi bulan-bulanan opini publik yang langsung memvonisnya bersalah karena tuduhan Nazaruddin. Melalui bahasa implisit dan eksplisit, Anas dinilai sebagai penyebab utama merosotnya elektabilitas Demokrat hingga menyentuh di bawah 10%. Ruhut Sitompul ialah pion politik yang meme rankan diri sebagai aktor yang membahasakan pesan kubu Cikeas secara terang-benderang.
Di sisi lain, kubu Anas memakai pen dekatan bersanda argumen hukum da konstitusi partai. Sejauh ini Anas belum menjadi tersangka. Tidak ada pintu masuk pemakzulan Anas sebelum berstatus tersangka jika merujuk pada AD/ART dan kode etik partai. Nasib hukum dan politik Anas sebagai ketua umum sangat bergantung pada KPK, tapi vonis sosial sudah telanjur disematkan publik terhadap Anas. Bagaimanapun juga, opini publik memiliki logika dan premis sendiri yang sering kali ber gerak lebih cepat ketimbang proses hukum.
Dua argumen itu sama-sama memiliki justifikasi. Terjadi kebuntuan internal dalam menyikapi posisi Anas sebagai ketua umum.
Kubu Anas juga pintar memainkan politik dua muka. Di satu sisi, Anas mengirim sinyal perlawanan dengan mencopot Ruhut yang dikenal sebagai buldosernya TB Silalahi yang aktif berperan sebagai arsena politik menuntut Anas mundur. Da lam sambutan Silaturahim Nasiona (Silatnas) Partai Demokrat di Sentul Bogor, akhir pekan lalu, Anas juga menyelipkan sentilan halus bahwa penurunan popularitas partai bukan hanya terkait dengan Anas, melainkan juga memiliki korelasi signifikan dengan kinerja pemerintahan SBY.
Kinerja pemerintah merupakan variabel penting naik-turunnya suara partai karena SBY merupakan figur Demokrat. Dengan kata lain, pesan yang ingin disampaikan yaitu apakah ada jaminan jika Anas mundur, elektabilitas Demokrat pasti naik?
Namun, di sisi lain, Anas juga tak henti-hentinya mengirim pesan `kepatuhan' kepada SBY. Salah satunya dengan memberikan anugerah Lifetime Achievement Award kepada SBY. Perang urat saraf di internal partai harus segera dituntaskan jika tak ingin kapal Demokrat karam di 2014 nanti. Terlebih, badai Demokrat juga makin kencang menghantam prospek elektoral partai seiring dengan penetapan Andi Mallarangeng sebagai tersangka dalam kasus Hambalang. Jika badai itu tak kunjung berlalu, Partai Demokrat harus siap-siap mengubur mimpi sebagai jawara Pemilu 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar