Sabtu, 15 Desember 2012

Politik Rasis Malaysia


Politik Rasis Malaysia
Ismatillah A Nu’ad ;  Peneliti dari Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Uni­versitas Paramadina Jakarta
SUARA MERDEKA, 15 Desember 2012


MALAYSIA kembali membuat persoalan. Kali ini melalui editorial di Harian Utusan, surat kabar negeri jiran itu, yang ditulis Zainudin Maidin. Mantan menteri pene­rangan itu menyebut BJ Habibie sebagai pengkhianat bangsa dan the dog of imperialism. DPR sudah mengirim nota protes melalui PM Malaysia NajibTun Abdul Razak, supaya menegur dan memberi sanksi atas pernyataan Maidin, yang juga petinggi Partai UMNO.

Habibie dihinakan terkait kedatangannya berceramah di Universitas Selangor atas undangan Anwar Ibrahim, pemimpin oposisi, Partai Keadilan Rakyat Malaysia (PKR). Tentu kedatangan mantan presiden kita itu tak ''disukai'' elite UMNO, meski Habibie tak memiliki agenda politik. Namun karena yang mengundang Anwar, kehadirannya itu tetap dianggap berbau politik, ditafsirkan mendelegitimasi UMNO.

Pernyataan Zainudin Maidin sebetulnya mencerminkan bahwa politik pribumi atau dikenal Bumiputera masih berlaku. Malaysia memang sangat protektif dalam rangka membentengi kepentingan nasional dari ras mana pun, termasuk India, China, dan negeri tetangga, Indonesia.

Ras Tionghoa di Malaysia misalnya, pernah merasakan pahit getir rasisme elite politik. Dalam kebijakan ekonomi, keturunan Tionghoa pernah menuding pemerintahan koalisi Barisan Nasional UMNO yang dipim­pin PM Najib Razak lebih mengutamakan et­nis Melayu (Bumiputera). Karena itu, pe­mimpin politik keturunan Tionghoa menuntut Najib menghapus kebijakan target modal bagi Bumiputera 30 persen.

Warga etnis minoritas meminta kebijakan ekonomi berdasarkan kebutuhan. Tentu saja permintaan itu menimbulkan protes dari politikus UMNO yang berkuasa sejak negara jiran itu merdeka.

Secara politik, etnis Melayu merajai sistem politik di Malaysia. Persoalan ras pula yang membuat perolehan suara Barisan Nasional UMNO menurun pada pemilu dua tahun lalu. Akibat sakit hati keturunan Tionghoa pada Barisan Nasional, suara keturunan Tionghoa berpindah ke PKR pimpinan Anwar Ibrahim ataupun ke partai lain. Koalisi Barisan hanya meraup 140 dari 222 kursi di parlemen, sisanya menjadi milik oposisi PKR.

Karena ketidakpuasan politik pula, kelompok minoritas India pernah berunjuk rasa secara besar-besaran.Lima pemimpin mereka dipenjara dengan dasar Akta Keamanan Dalam Negeri (ISA). Sebuah UU di Malaysia yang bertujuan sebagai pre-emptive decision, membentengi politik dalam negeri dari ancaman asing.

Politik rasis Malaysia sebetulnya bisa ditelusuri setelah Jepang angkat kaki dari negeri itu dan warga Melayu mendapat hadiah kemerdekaan dari Inggris pada Agustus 1957. Sejak itu praktik rasialisme dan diskriminasi menghebat. Tokoh seperti Datuk Onn bin Jaafar, pendiri Organisasi Nasional Persatuan Malaysia (UMNO) ingin bangsa Melayu mendominasi. Sementara kalangan Tionghoa juga berharap hidup setara, seperti dikutip dari Buku History of Malaya karangan Leonard Y Andaya dan Barbara Watson Andaya.

Malaysia lebih ketat mempraktikkan rasialisme dan diskriminasi, semisal lewat Pasal 153 UU  Malaysia. Transkrip pasal yang terdiri dari 10 ayat itu antara lain, "Yang di-Pertuan Agong (Raja Malaysia) bertanggung jawab menjaga posisi penting bangsa Melayu dan pribumi dari salah satu Negara Bagian Sabah dan Sarawak. dan kepentingan sah dari masyarakat lainnya sesuai dengan ketentuan pasal ini."

Dukungan Pemilu

Pasal 153 itu telah dikritik sejak lama dan dianggap menjadi landasan hukum agar orang Melayu bisa berlaku rasis dan diskriminatif terhadap etnis lain. Lebih mengerikan lagi adalah sikap pembedaan itu tidak kenal batas dan waktu. Bentuk nyata dari pemberlakuan pasal itu terlihat di bidang ekonomi. Bumiputera bisa mendapat potongan harga dalam membeli rumah, mobil, dan benda lain, sementara etnis lain tidak.

Atas dasar Pasal 153 pemerintah Malaysia tak sembarangan memberi kewarganegaraan terhadap etnis China dan India. Mereka diberi kartu penduduk jika tunduk terhadap peraturan dan menerima semua persyaratan. Yang paling gigih mengkritik Malaysia adalah politikus Singapura Lee Kuan Yew. Anwar Ibrahim pun secara tegas tidak setuju dengan pasal itu dan meminta semua produk turunannya dihapus.

Pada Maret 2009 misalnya, Datuk Nik Aziz Nik Mat, pemimpin spiritual Partai Islam Pan-Malaya, mengatakan istilah Bumiputera dipakai selama ini mencerminkan sikap rasis pemerintah dan menjadi pembenaran untuk mencegah etnis lain ikut serta dalam pemerintahan.

Lebih tegas lagi pernyataan politikus Partai Aksi Demokrasi Dr Boo Cheng Hau, yakni menyejajarkan praktik Bumiputera dengan politik apartheid. Meski akhir-akhir ini pemerintah Malaysia dalam beberapa sektor menyerap tenaga kerja non-Bumiputera, kebijakan itu dianggap hanya mencari dukungan tiap menjelang pemilu.

Pertanyaan, sampai kapan Bumi­putera bisa hidup nyaman di negeri Melayu, sementara yang lain tertindas? Sebetulnya itu juga menyinggung pertanyaan lain, seperti kapan iklim reformasi di Malaysia bisa terjadi secara mengakar? Pasalnya. sampai saat ini, tokoh oposisi Anwar Ibrahim, terus memperjuangkan iklim keterbukaan dan reformasi, namun dianggap benalu oleh elite UMNO dan pemerintahan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar