Sabtu, 15 Desember 2012

Pengembangan Literasi di Daerah


Pengembangan Literasi di Daerah
Gol A Gong ;  Ketua Umum Pengurus Pusat Forum Taman Bacaan Masyarakat (Forum TBM)
KORAN TEMPO, 15 Desember 2012


Sekitar Oktober 2010, saya diundang ke Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, oleh Fokusmaker (Forum Diskusi Mahasiswa Kekaryaan) Natuna untuk memberi pelatihan menulis novel kepada pelajar SMA. Pulau Natuna berada di perbatasan luar, Laut Cina Selatan. Untuk sampai ke sana, saya harus naik pesawat ke Batam pada Senin dan Rabu. Dari Batam, naik pesawat jenis kecil. Tarifnya tentu mahal dan dibumbui ketakutan pesawat akan crash. Jadi, terkesan hendak mendarat di medan perang.
Di Natuna, saya merasakan betapa penduduknya lebih dekat ke Malaysia. Gaya hidup mereka juga. Hasil bumi mereka juga lebih mudah diangkut dengan kapal-kapal dari Malaysia, Hong Kong, Jepang, dan Cina. Hal lainnya adalah tidak adanya toko buku, apalagi perpustakaan umum, yang representatif. Jumlah toko buku di Indonesia hanya sekitar 5.000. Itu pun kebanyakan terdapat di Pulau Jawa. 
Meskipun berada dalam kondisi penuh keterbatasan, bukan berarti hidup harus diserahkan begitu saja kepada nasib. Keterbatasan tersebut justru menjadi pemicu dan pemacu masyarakat untuk terlibat membangun budaya membaca di Pulau Natuna. Salah satunya adalah Komunitas Fokusmaker, melalui pembangunan dan penyelenggaraan Taman Bacaan Masyarakat (TBM). 
Saya dibawa masuk hutan menggunakan mobil Kijang. Melintasi jalanan tanah berdebu, menembus hutan kelapa sawit yang terbengkalai. Sudah sampaikah saya pada lokasi TBM yang akan dituju? Belum. Saya harus turun dari mobil, melanjutkan perjalanan dengan meniti jembatan kayu, lengkap dengan ancaman buaya yang kapan pun bisa iseng melintas. 
Setelah tiga jam perjalanan, sampailah kami di kawasan transmigrasi. Di sanalah saya menemukan "oasis", yaitu Taman Bacaan Masyarakat Jabal Uqhud (TBM JU), yang didampingi oleh Fokusmaker. Saya dikenalkan kepada pengelolanya yang sungguh luar biasa, yaitu sosok kurus bertinggi tubuh sedang, Abdul Manaf dan istrinya.
Beruntung sekali saya, begitulah suara batin berbisik. Saya tidak pernah merasakan tinggal di daerah terpencil seperti Abdul Manaf, jauh dari kota, apalagi Jakarta. TBM JU berlokasi di Desa Sedarat Baru, Kecamatan Bunguran, Kabupaten Natuna, Trans Batubi, di mana TBM JU berada. Sebuah nama desa yang jika amati, seteliti apa pun tidak akan ditemukan namanya di peta. Lokasinya sulit sekali diakses masyarakat. Saya bisa datang ke TBM JU memerlukan waktu dan biaya di atas Rp 10 juta. Akibatnya, akses warga seperti Abdul Manaf terhadap melimpahnya informasi seperti yang saya nikmati juga sangat sulit didapat. Termasuk informasi dalam bentuk media cetak: buku, koran dan majalah. 
Maka, langkah pembinaan dan pendampingan yang dilakukan Komunitas Fokusmaker kepada TBM JU ini sangat luar biasa dan tepat sasaran. Mereka tidak hanya membantu mendirikan bangunan fisik TBM lengkap dengan papan namanya, tapi juga membantu menambah koleksi buku yang semula hanya "bermodal" 50 judul. Buku yang dibawa Abdul Manaf saat hijrah dari Pulau Jawa ke Natuna. Termasuk model pengelolaan (sederhana) dan tip-tip sederhana memperkenalkan keberadaan TBM kepada masyarakat sekitar (warga desa). 
Melalui apa yang telah dilakukan Komunitas Fokusmaker Natuna yang dipandegani seorang pemuda bernama Muhammad Faisal, 30 tahun, secara tidak langsung ia telah memberikan kabar dan pemahaman kepada publik luas, khususnya kita, bahwa keterbatasan, keterpencilan, bukan lagi sebuah alasan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dalam konteks budaya baca adalah bisa dengan mendirikan TBM. Semula Faisal, selaku ketua, bersama teman-temannya menggalang dana pribadi dulu. Setelah itu, mulai memanfaatkan batuan dari pemerintah (Bansos-APBD).
Kiprah Faisal dan kawan-kawannya serta Abdul Manaf dengan TBM Jabal Uqhud-nya di Natuna ini sekaligus menjadi "kabar baik" untuk daerah-daerah terpencil lainnya. Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal Helmy Faishal Zaini mengatakan, saat ini daerah tertinggal di Indonesia terbanyak berada di kawasan timur Indonesia. Jumlah daerah tertinggal yang mencapai 70 persen itu sebanyak 128 kabupaten. Selain itu, terdapat pula daerah tertinggal lainnya di kawasan perbatasan. Jumlah daerah tertinggal di kawasan itu sekitar 27 kabupaten. Dan beberapa lainnya yang masuk kategori daerah tertinggal masuk dalam kawasan pemekaran baru.
Lantas, bagaimana seyogianya model pengelolaan dan strategi pemasaran pengembangan minat baca di daerah terpencil-terutama yang harus dilakukan TBM? 
Jemput Bola
Dalam sebuah diskusi yang saya lakukan dengan Agus M. Irkham, Kepala Departemen Penelitian dan Pengembangan Pengurus Pusat Forum Taman Bacaan Masyarakat, untuk mengembangkan TBM di daerah terpencil haruslah memakai sistem jemput bola. Bukulah yang harus datang menyapa (calon) pembacanya. Masyarakat harus lebih dulu "disuapi". 
Berarti harus ada sarana yang dapat mengantarkan buku kepada masyarakat. Ia mesti lincah bergerak, mudah berpindah-pindah tempat (mobile), serta dapat menembus rute atau medan perjalanan yang sulit. Sarana tersebut misalnya berupa sepeda motor, mobil, sepeda, perahu, dan lain sebagainya. Prinsipnya, mudah dioperasikan dan sesuai dengan kondisi geografis lokasi TBM berada. 
Selain dengan metode jemput bola, pembinaan pengembangan minat baca dan ikhtiar mempermudah akses masyarakat terhadap buku adalah dengan menciptakan titik-titik gerai baca--untuk sementara sebut saja satelit baca. Satelit-satelit ini menjadi semacam kelompok-kelompok baca kecil. Seiring berjalannya waktu dengan sistem multilevel reading (komunikasi dari mulut ke mulut atawa gethok tular--bahasa Jawa), jumlah satelit-satelit baca ini akan bertambah. 
Saya, sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat Forum TBM, bekerja sama dengan D.C. Aryadi, Ketua Forum TBM Banten, bersama relawan TBM Rumah Dunia di Serang dan relawan TBM Kedai Proses di Rangkasbitung, telah melakukannya. Di setiap akhir bulan dengan kegiatan "Perpustakaan Keliling" berupa Bajay Library sumbangan XL Care dan Yayasan Nurani Dunia, kami sambangi masyarakat di kampung-kampung terpencil di Banten selatan yang lokasinya di gunung, seperti Baduy atau perkampungan di sepanjang pantai selatan. Kami galang buku (hibah buku) dan mendirikan TBM di sana.
Lantas, apakah pendirian TBM (di daerah terpencil) harus selalu dengan mendirikan bangunan baru yang memang dikhususkan untuk TBM?
Saya kira tidak. Pembangunan TBM dalam sebuah komunitas masyarakat atau desa/kampung bisa dengan memanfaatkan bangunan infrastruktur yang sebelumnya telah ada atau tersedia dan dimiliki masyarakat. Misalnya balai warga/kampung yang biasa digunakan untuk berkumpul. 
Drs Ngasmawi, Kepala Sub-Direktorat Sarana dan Prasarana Direktorat Dikmas Dirjen PAUD NI, menginformasikan kepada saya bahwa pemerintah mendukung setiap warga yang mendirikan TBM di daerah terpencil. "Silakan mengakses dana stimulan lewat TBM rintisan dan penguatan, serta TBM berbasis elektronik." Dengan bantuan sosial berupa uang itu, pemerintah berharap TBM-TBM di daerah terpencil bisa berkembang dan jadi "rumah perubahan" bagi masyarakat di sekitarnya.? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar