Pola Korupsi
Era Otonomi Daerah
Syarif Maulana ; Dosen Ilmu Budaya, Filsafat
dan Komunikasi, Universitas Padjajaran |
SUARA
MERDEKA, 10 Desember 2012
Sejak era reformasi,
korupsi menjadi salah satu isu besar yang terus-menerus dikampanyekan untuk
dilawan. Meski kampanye berlangsung di berbagai tingkat mulai dari pusat
hingga daerah, namun sepertinya tidak ada perbaikan yang signifikan. Korupsi
seolah tetap bertahan dan bahkan terus membiakkan diri. Baik Indonesia
Corruption Watch (ICW) maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kedua
lembaga pengawas tersebut mencatat fenomena menjamurnya korupsi di tingkat
daerah. Ada sejumlah data terbaru yang mendukung argumen ini. ICW, misalnya,
telah mempublikasikan bahwa 285 kasus korupsi terjadi di tingkat pusat maupun
daerah pada periode 1 Januari hingga 31 Juli 2012. Terdapat 597 orang
dijadikan tersangka oleh penegak hukum. Selain itu, dari laporan tahunan KPK
tahun 2011, tercatat ada 29 kasus yang melibatkan kepala daerah dan 8
gubernur. Statistik ini juga didukung oleh data yang dipublikasikan Mendagri
pada Mei 2012: terdapat sekitar 173 kepala daerah yang tersangkut kasus
hukum. Dengan kata lain, sepertiga kepala daerah di Indonesia bermasalah.
Korupsi di daerah
tidak bisa terlepas dari cacatnya perangkat hukum yang ada. Undang Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah tidak mengatur hierarki jelas
antara pemerintah pusat dan daerah. Gubernur adalah wakil pemerintah karena
bertanggung jawab kepada menteri dalam negeri, namun tidak memiliki kuasa
untuk memberhentikan kepala daerah yang bermasalah.
Kebanyakan pola
korupsi di daerah pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan pola yang terjadi
di pemerintah pusat, yakni kongkalikong hingga mengarah ke pemerasan. Di
pusat, praktik kongkalikong hingga pemerasan terjadi saat terjadi permintaan
suntikan modal. Di pusat, dalam hal ini DPR memiliki peranan kunci karena
memiliki otoritas dalam mengucurkan dana.
Korupsi di daerah
memiliki ciri serupa, namun terpusat di kepala daerah. Karena minimnya check
and balance, kepala daerah bersikap seperti raja kecil. Pola korupsi yang
umumnya dilakukan adalah mengorupsi APBD ataupun melakukan kongkalikong atau
'pemerasan' kepada pihak swasta. Salah satu contoh kasus yang bisa disorot
adalah kontroversi kasus Buol yang melibatkan Bupati Amran Batalipu dan
pengusaha Siti Hartati Murdaya.
Kasus kepala daerah
korup juga tidak terlepas dari lenggangnya pengawasan di daerah hingga membuat
orang berlomba-lomba menjadi kepala daerah. Hal ini diperparah dengan
mahalnya biaya pilkada. Kepala daerah terpilih menjadi tidak berkualitas,
karena terdapat potensi korupsi, kepala daerah ini akan menggunakan posisi
mereka untuk mengembalikan modal yang dikeluarkan saat kampanye. Imbas dari
pola korupsi ini adalah pertumbuhan ekonomi dan risiko berbisnis. Korupsi
membuat anggaran pembangunan infrastruktur berkurang sehingga merugikan
masyarakat daerah karena praktik pungli membuat ekonomi berbiaya tinggi.
Praktik kongkalikon
dan pemerasan harus menjadi sorotan khusus. Kecurigaan kemungkinan adanya
kongkalikong dan atau pemerasan BUMN yang diduga dilakukan oleh oknum anggota
DPR harus diseriusi, karena hal tersebut juga terindikasi terjadi di daerah-daerah.
Hal ini akan bermasalah karena praktik pemberian uang atau imbalan dapat
diartikan sebagai penyuapan. Pebisnis di daerah memiliki risiko ganda. Jika
tidak membayar pungli, bisnis tidak akan jalan. Jika membayar, ada risiko
dianggap sebagai penyuap.
Pola korupsi di pusat
dan daerah sebetulnya berakar dari permasalahan yang sama, yakni lemahnya
pengawasan. Saat ini, tidak ada mekanisme yang memberikan efek jera. Ada
sejumlah langkah yang bisa diambil untuk mengatasi hal ini.
Pertama, meningkatkan
fungsi pengawasan KPK pada tataran nasional dan regional. Saat ini KPK adalah
satu-satunya penegak hukum yang dapat diandalkan dan memberi efek takut pada
koruptor. Revisi Undang Undang KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) perlu
dipertimbangkan, karena fakta di lapangan memperlihatkan adanya
ketidaharmonisan antara KPK, Polri dan Kejaksaan agung. Revisi diperlukan
untuk mencegah overlapping di antara penegak hukum.
Kedua, memberikan
jaminan keamanan kepada swasta. Praktik kongkalikong hingga pemerasan
merupakan momok tersendiri bagi swasta karena menambah biaya investasi.
Banyak kasus tidak dilaporkan karena adanya kekhawatiran akan diartikan
sebagai upaya penyuapan. Adanya perbedaan persepsi ini membuat pihak swasta
menjadi pihak yang paling dirugikan. Perlu diberikan adanya jaminan hukum
bagi para whistle blower sehingga pihak pebisnis tidak akan takut melaporkan
adanya praktik kongkalikong yang bisa menjurus ke praktik pemerasan dari
pemerintah daerah. Ketiga, merevisi UU Otonomi Daerah. Saat ini pemerintah tidak
memiliki kekuasaan untuk mengontrol kepala daerahnya. Gubernur hanya terbatas
memberikan pembinaan. Revisi UU Otonomi Daerah terbaru haruslah memberikan
kekuasaan kepada gubernur untuk memberhentikan kepala daerah, sehingga dapat
meredam gejala 'raja kecil' di daerah. Keempat, menghentikan pemekaran
daerah.
Tiadanya perangkat hukum dan fungsi pengawasan membuat otonomi daerah
menjadi tambang emas baru bagi koruptor. Tanpa adanya perangkat hukum jelas
yang dapat mengontrol perilaku kepala daerah, otonomi daerah justru akan
menjadi sumber korupsi baru. Tidak perlu ada pemekaran daerah baru sampai
revisi UU Otonomi Daerah diterbitkan. Langkah-langkah di atas tentu saja
tidak akan berjalan efektif jika masyarakat di daerah tidak kompak
berpartisipasi dalam pengawasan. Kesadaran untuk mengawasi ini datang tidak
hanya dari kampanye yang masif dan kontinyu, tapi juga melalui edukasi secara
perlahan tapi mantap tertanam dalam kesadaran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar