Harmonisasi
KPK dan Polri
Jamal Wiwoho ; Guru Besar
Fak Hukum UNS
|
SUARA
MERDEKA, 10 Desember 2012
Pertemuan anggota
Komisi III DPR dengan 14 mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
dari Polri selama sekitar tiga jam, baru-baru ini tetap menyisakan sebuah
tanda tanya besar dalam pemahaman publik. Ini cukup beralasan jika pertemuan
itu dikaitkan dengan kurang harmonisnya hubungan KPK dengan DPR serta
hubungan KPK-kepolisian.
Hubungan KPK-DPR
sempat merenggang, beberapa waktu lalu, menyusul bocornya ide dari DPR untuk
merevisi UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang
diduga akan mengamputasi kewenangan KPK, terutama dalam melakukan penyadapan
dan penuntutan.
Skenario penggembosan
KPK itu mendapatkan penolakan publik secara luar biasa. Hampir semua komponen
masyarakat, mulai dari mahasiswa, pelajar, akademisi, artis, tokoh agama,
tokoh lintas agama, dan pegiat antikorupsi beramai-ramai mendatangi KPK untuk
memberi dukungan moral kepada pimpinan KPK. Mereka berdemonstasi mendukung
KPK dan menentang keras rencana revisi UU KPK.
Kuatnya penolakan itu
dapat dimaknai bahwa masyarakat tidak setuju dengan ide DPR melucuti
kewenangan KPK, karena disinyalir akan memperlemah kedudukan lembaga
penegakan hukum bidang korupsi itu. Dalam perspektif sosiologi, kepercayaan
publik terhadap kredibilitas KPK makin besar.
Sementara itu,
hubungan kurang harmonis antara KPK dan kepolisian sebenarnya sudah
berlangsung sejak lama. Dimulai dari pertarungan cicak vs buaya I, seperti
dilontarkan Kabareskim waktu itu, Komjen Pol Susno Duaji. Kemudian terjadi
perebutan penanganan perkara dugaan korupsi kasus pengadaan simulator SIM di
Korlantas Mabes Polri.
Dilanjutkan dengan
mengungkap kembali kasus penyergapan di kantor KPK oleh Polri untuk menangkap
Novel Baswedan (salah seorang penyidik KPK) yang diduga melakukan tindak
pidana penganiayaan saat bertugas di Polda Bengkulu.
Melihat betapa
gentingnya hubungan KPK-kepolisian, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
terpaksa turun tangan dan memberikan otoritas kepada KPK untuk menangani
kasus simulator SIM Korlantas dan mengesampingkan sementara penanganan
perkara Novel Baswedan.
Namun,
ketidakharmonisan hubungan KPK-kepolisian berlanjut dengan tidak
diperpanjangnya masa tugas 20 penyidik KPK dengan alasan pembinaan karier
sebagai anggota korps polisi, dilanjutkan dengan mundurnya 6 penyidik dari
KPK untuk kembali ke korps Bhayangkara, di samping ditariknya 13 penyidik
karena habis masa tugasnya di KPK.
Melihat rentetan
peristiwa itu, maka pertemuan tertutup antara Komisi III DPR dan mantan
penyidik KPK dapat dipandang dari dua segi. Pertama, secara positive
thinking, seperti disampaikan oleh Ketua Komisi III I Gede Pasek Suandika dan
Kabareskrim Komjen Pol Sutarman, pertemuan itu untuk meningkatkan sinergitas
hubungan KPK-DPR dan KPK-kepolisian ke depan.
Kedua, patut
dipertimbangkan pernyataan anggota Komisi III Ruhut Sitompul yang tidak hadir
dalam rapat tertutup itu dan menengarai ada udang di balik batu pada
pertemuan tersebut. Artinya, diduga ada hidden mission pada pertemuan itu,
khususnya yang berkaitan dengan masalah penyadapan dan kepemimpinan KPK serta
dugaan adanya upaya-upaya pelemahan KPK oleh Tim Mawar, sebagaimana pernah
disinyalir oleh anggota Komisi III DPR Bambang Soesetyo. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar