Sabtu, 15 Desember 2012

Pesan Lewat Demo


Pesan Lewat Demo
Toeti Prahas Adhitama ;  Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 14 Desember 2012


MINGGU ini di Metro TV ada percakapan singkat tentang demo anak-anak muda di Makassar, Sulawesi Selatan, yang sering berakhir dengan kekerasan. Seorang mahasiswa Makassar dimintai pendapat, apakah demo memang sejak awal direncanakan agar berakhir dengan kekerasan? Jawabnya, tentu saja tidak. Namun, dia menjelaskan demo ujung-ujungnya hampir selalu disusupi anak-anak muda dari unsur-unsur lain.

Budaya demo bukan monopoli kita saja. Di banyak masyarakat demokratis, demonstrasi yang diakhiri dengan bentrokan keras bukan hal baru. Rupanya demo telah menjadi parlemen jalanan dan ajang protes yang populer di kalangan kaum muda. Konflik dan ketegangan dalam diri anakanak muda terutama timbul karena mereka tidak mendapat hak, wewenang, dan tanggung jawab yang, menurut mereka, seharusnya mereka miliki sesuai dengan keberangkatan dan kedatangan mereka di dunia orang dewasa, baik secara fisiologi maupun intelektual. Mereka sering merasa dituntut lebih bertanggung jawab dan mengabdi ketika mereka mendambakan otonomi. Pada saat yang sama, mereka tidak berkesempatan berpartisipasi dalam lembaga-lembaga sosial penting.

Padahal, perhatian mereka secara sosial-politik sedang bangkit. Dalam hal anak-anak muda di Makassar, kebangkitan perhatian itu terjadi secara dramatis sehingga sikap dan perilaku itu mungkin mengagetkan. Meski demikian, bagaimanapun kacaunya--di mata orang dewasa--proses serupa itu tidak berlangsung lama, 2-3 tahun, sebelum datang kelompok muda baru dengan ciri-ciri yang bisa berbeda.

Masyarakat Indonesia diwarnai dengan kebangkitan orang-orang muda yang memiliki rasa tanggung jawab dan pengabdian tinggi terhadap masyarakat. Namun, ada pula kelompok-kelompok anak muda yang pasif, yang tidak terjangkau oleh pengaruh situasi sosial-politik. Semua bergantung pada rangsangan yang ada, apa pun bentuknya.

Peran Pendidikan Moral

Perubahan zaman selalu menuntut perubahan sikap dan perilaku kita semua, dari sang pemimpin sampai tingkat terbawah yang dipimpin. Namun kenyataannya, perilaku kita sering tidak mencerminkan apa yang kita harapkan. Sekalipun kita bicara gegap-gempita soal Pancasila, misalnya, falsafah itu tidak tecermin dalam perilaku kita.

Kenyataan itu membuat para ahli psikologi sosial meneliti dan meneliti, mengapa kita sering berbuat lain dari yang kita katakan? Situasi sosial-politik yang amburadul sekarang ini menggambarkannya. Karena itu, kita sebenarnya jangan kaget kalau anak-anak muda yang relatif masih berjiwa dan berpikiran murni berdemonstrasi memprotesnya.

Kesenjangan antara kata dan perbuatan kaum dewasa, khususnya mereka yang disebut dan menyebut diri pemimpin, sungguh meremehkan integritas moral dan intelektual mereka. Sampai kapan kebohongan itu dibiarkan berlarut?

Satu pelajaran penting yang diberikan psikologi sosial: bukan hanya sikap yang memengaruhi perilaku; sebaliknya, perilaku pun bisa memengaruhi sikap. Perilaku kita kemudian memengaruhi sikap moral kita. Misalnya, kita biasa mencari alasan untuk membenarkan apa (yang salah) yang telah kita lakukan. Dengan diangkat ke tingkat nasional, perilaku politik kita membantu membentuk sikap kita.

Banyak cara psikoterapi yang memanfaatkan tesis tersebut untuk berperilaku lain supaya sikap kita menjadi lain. Antara lain, misalnya, dengan menciptakan sistem pendidikan moral menuju ke sana dengan mengikutsertakan peran orangtua dan menciptakan sistem sosial-politik mengarah ke sana. Organisasi-organisasi kemasyarakatan bisa banyak membantu dalam proses tersebut. Yang tidak kalah penting, jangan ragu mengenakan sanksi-sanksi hukum terhadap unsur-unsur--apa pun dan siapa pun dia--yang merugikan gerakan menuju ke sana.

Yang Menambah Keresahan

Dewasa ini, maraknya korupsi dan kongkalikong memperburuk keresahan yang ada pada kaum muda. Secara langsung atau tidak langsung, kongkalikong berawal dari hasrat membangun kerja sama melakukan korupsi, melakukan kejahatan bersama. Gejala itu secara populer disebut ‘mafia’.

Majalah Time pernah mewawancarai seorang mantan anggota mafia Philadelphia yang kemudian menyeberang ke pihak yang berwajib. Kisah itu memesona karena, antara lain, bercerita tentang betapa bangganya orang tersebut ketika masih menjadi anggota mafi a. Persekongkolannya membuat masyarakat takut akan mereka. Di kelompok itu, sang bos yang memiliki kekuasaan mutlak bak seorang raja, tidak rela melihat orang lain menyainginya. Dia tega menyingkirkan pesaing-pesaingnya.

Wawancara itu menarik karena situasinya terjadi di masyarakat yang menyatakan diri sebagai pelopor demokrasi. Ironis dan tragis bahwa ada kelompok dalam masyarakat demokrasi yang bisa bertindak sewenang-wenang dan merajalela; mau menang sendiri, untuk kepentingan sendiri dan kelompoknya. Sikap kejinya untuk menyingkirkan lawanlawannya membuat orang dicekam kecemasan sehingga mematikan kinerja kreatif dan produktif. Terjadilah demotivasi.

Ada yang berkata, gejala itu ada di mana-mana, dalam organisasi pemerintah maupun swasta; di organisasi ibu-ibu, mahasiswa, politik, maupun bisnis dan sosial. Menggejalanya gaya Machiavelli memang banyak ditulis, tetapi tidak tentang bagaimana cara mencegahnya.
Argumen lain, di dunia modern yang kompleks ini tidak ada hitam putih. Siapa bilang yang salah pasti tidak benar? Atau sebaliknya? Para pembantu rumah tangga yang seumur hidup merasa tertindas, dan bos-bos mereka yang seumur hidup ditakdirkan menindas, sama-sama menangis ketika menonton wayang tentang tokoh baik yang kena cobaan. Sebab, sang bos dan pembantu ternyata sama-sama merasa sebagai orang baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar