Pesan Lewat
Demo
Toeti Prahas Adhitama ; Anggota Dewan Redaksi Media Group
|
MEDIA
INDONESIA, 14 Desember 2012
MINGGU ini di Metro TV ada percakapan singkat tentang demo
anak-anak muda di Makassar, Sulawesi Selatan, yang sering berakhir dengan
kekerasan. Seorang mahasiswa Makassar dimintai pendapat, apakah demo memang
sejak awal direncanakan agar berakhir dengan kekerasan? Jawabnya, tentu saja
tidak. Namun, dia menjelaskan demo ujung-ujungnya hampir selalu disusupi
anak-anak muda dari unsur-unsur lain.
Budaya demo bukan monopoli kita saja. Di banyak masyarakat
demokratis, demonstrasi yang diakhiri dengan bentrokan keras bukan hal baru. Rupanya
demo telah menjadi parlemen jalanan dan ajang protes yang populer di kalangan
kaum muda. Konflik dan ketegangan dalam diri anakanak muda terutama timbul
karena mereka tidak mendapat hak, wewenang, dan tanggung jawab yang, menurut
mereka, seharusnya mereka miliki sesuai dengan keberangkatan dan kedatangan
mereka di dunia orang dewasa, baik secara fisiologi maupun intelektual. Mereka
sering merasa dituntut lebih bertanggung jawab dan mengabdi ketika mereka
mendambakan otonomi. Pada saat yang sama, mereka tidak berkesempatan
berpartisipasi dalam lembaga-lembaga sosial penting.
Padahal, perhatian mereka secara sosial-politik sedang
bangkit. Dalam hal anak-anak muda di Makassar, kebangkitan perhatian itu
terjadi secara dramatis sehingga sikap dan perilaku itu mungkin mengagetkan.
Meski demikian, bagaimanapun kacaunya--di mata orang dewasa--proses serupa
itu tidak berlangsung lama, 2-3 tahun, sebelum datang kelompok muda baru
dengan ciri-ciri yang bisa berbeda.
Masyarakat Indonesia diwarnai dengan kebangkitan
orang-orang muda yang memiliki rasa tanggung jawab dan pengabdian tinggi
terhadap masyarakat. Namun, ada pula kelompok-kelompok anak muda yang pasif,
yang tidak terjangkau oleh pengaruh situasi sosial-politik. Semua bergantung
pada rangsangan yang ada, apa pun bentuknya.
Peran Pendidikan Moral
Perubahan zaman selalu menuntut perubahan sikap dan
perilaku kita semua, dari sang pemimpin sampai tingkat terbawah yang
dipimpin. Namun kenyataannya, perilaku kita sering tidak mencerminkan apa
yang kita harapkan. Sekalipun kita bicara gegap-gempita soal Pancasila,
misalnya, falsafah itu tidak tecermin dalam perilaku kita.
Kenyataan itu membuat para ahli psikologi sosial meneliti
dan meneliti, mengapa kita sering berbuat lain dari yang kita katakan?
Situasi sosial-politik yang amburadul sekarang ini menggambarkannya. Karena
itu, kita sebenarnya jangan kaget kalau anak-anak muda yang relatif masih
berjiwa dan berpikiran murni berdemonstrasi memprotesnya.
Kesenjangan antara kata dan perbuatan kaum dewasa,
khususnya mereka yang disebut dan menyebut diri pemimpin, sungguh meremehkan
integritas moral dan intelektual mereka. Sampai kapan kebohongan itu
dibiarkan berlarut?
Satu pelajaran penting yang diberikan psikologi sosial:
bukan hanya sikap yang memengaruhi perilaku; sebaliknya, perilaku pun bisa
memengaruhi sikap. Perilaku kita kemudian memengaruhi sikap moral kita.
Misalnya, kita biasa mencari alasan untuk membenarkan apa (yang salah) yang
telah kita lakukan. Dengan diangkat ke tingkat nasional, perilaku politik
kita membantu membentuk sikap kita.
Banyak cara psikoterapi yang memanfaatkan tesis tersebut
untuk berperilaku lain supaya sikap kita menjadi lain. Antara lain, misalnya,
dengan menciptakan sistem pendidikan moral menuju ke sana dengan
mengikutsertakan peran orangtua dan menciptakan sistem sosial-politik
mengarah ke sana. Organisasi-organisasi kemasyarakatan bisa banyak membantu
dalam proses tersebut. Yang tidak kalah penting, jangan ragu mengenakan
sanksi-sanksi hukum terhadap unsur-unsur--apa pun dan siapa pun dia--yang
merugikan gerakan menuju ke sana.
Yang Menambah Keresahan
Dewasa ini, maraknya korupsi dan kongkalikong memperburuk
keresahan yang ada pada kaum muda. Secara langsung atau tidak langsung,
kongkalikong berawal dari hasrat membangun kerja sama melakukan korupsi,
melakukan kejahatan bersama. Gejala itu secara populer disebut ‘mafia’.
Majalah Time pernah mewawancarai seorang mantan anggota
mafia Philadelphia yang kemudian menyeberang ke pihak yang berwajib. Kisah
itu memesona karena, antara lain, bercerita tentang betapa bangganya orang
tersebut ketika masih menjadi anggota mafi a. Persekongkolannya membuat
masyarakat takut akan mereka. Di kelompok itu, sang bos yang memiliki
kekuasaan mutlak bak seorang raja, tidak rela melihat orang lain
menyainginya. Dia tega menyingkirkan pesaing-pesaingnya.
Wawancara itu menarik karena situasinya terjadi di
masyarakat yang menyatakan diri sebagai pelopor demokrasi. Ironis dan tragis
bahwa ada kelompok dalam masyarakat demokrasi yang bisa bertindak
sewenang-wenang dan merajalela; mau menang sendiri, untuk kepentingan sendiri
dan kelompoknya. Sikap kejinya untuk menyingkirkan lawanlawannya membuat
orang dicekam kecemasan sehingga mematikan kinerja kreatif dan produktif.
Terjadilah demotivasi.
Ada yang berkata, gejala itu ada di mana-mana, dalam
organisasi pemerintah maupun swasta; di organisasi ibu-ibu, mahasiswa,
politik, maupun bisnis dan sosial. Menggejalanya gaya Machiavelli memang
banyak ditulis, tetapi tidak tentang bagaimana cara mencegahnya.
Argumen lain, di dunia modern yang
kompleks ini tidak ada hitam putih. Siapa bilang yang salah pasti tidak
benar? Atau sebaliknya? Para pembantu rumah tangga yang seumur hidup merasa
tertindas, dan bos-bos mereka yang seumur hidup ditakdirkan menindas,
sama-sama menangis ketika menonton wayang tentang tokoh baik yang kena
cobaan. Sebab, sang bos dan pembantu ternyata sama-sama merasa sebagai orang
baik.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar