Sabtu, 15 Desember 2012

Jangan Mengabaikan Urusan Pangan


Jangan Mengabaikan Urusan Pangan
Ali Khomsan ;  Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat Fema IPB
MEDIA INDONESIA, 14 Desember 2012


KRISIS kedelai, daging sapi, impor beras, dan impor pangan lainnya sebenarnya mengindikasikan apa? Jangan-jangan kita mengabaikan urusan pangan.
Indonesia mengimpor lima komoditas pangan utama, yaitu gandum senilai US$2,4 miliar (sekitar Rp23,1 triliun), kedelai US$732 juta (sekitar Rp7,045 triliun), gula US$860 juta (sekitar Rp8,2 triliun), susu US$755 juta (sekitar Rp7,2 triliun), dan daging sapi US$480 juta (sekitar Rp4,6 triliun). Tentu masih ada pangan lain yang juga kita impor, termasuk garam, sehingga kita saat ini benar-benar terjebak dalam arus impor pangan. Lebih dari Rp50 triliun devisa setiap tahun terkuras untuk mengimpor pangan dan angka itu sekitar 5% dari APBN.

Sebagai negara agraris yang serbagemah ripah loh jinawi, negara kita sesungguhnya menjanjikan surplus produksi pangan yang dapat dinikmati seluruh penduduk Indonesia. Nenek moyang kita telah mengenal budi daya padi sejak ratusan tahun yang lalu. Lumbung padi kini tidak hanya ada di Jawa, di luar Jawa pun dapat dijumpai kabupaten lumbung padi.

Padi sebagai pangan pokok tetap dikonsumsi rakyat kita dalam jumlah banyak. Namun, gandum sebagai pangan subtropis kini semakin menjadi tren konsumsi bangsa Indonesia. Ironisnya, pangan umbi-umbian nyaris tidak dikembangkan secara optimal baik dari segi budi dayanya maupun pemasaran sosial untuk peningkatan konsumsinya. Pembudidayaan beberapa komoditas pangan saat ini memang seperti dianaktirikan. Kini saatnya momentum untuk kembali memperhatikan pangan-pangan potensial sehingga kita bisa lebih berdaulat di bidang pangan.

Dalam laporan MDGs Indonesia (Bappenas, 2011) diungkapkan, 14,5% rumah tangga di Indonesia tergolong sangat rawan pangan dengan konsumsi energi <70 21="21" 32="32" 37="37" angka="angka" banyaknya="banyaknya" barat="barat" berkorelasi="berkorelasi" dan="dan" dengan="dengan" di="di" dianjurkan.="dianjurkan." gizi="gizi" indonesia="indonesia" itu="itu" jauh="jauh" jumlah="jumlah" karena="karena" kecukupan="kecukupan" kondisi="kondisi" maluku="maluku" melebihi="melebihi" mengalami="mengalami" miskin="miskin" nasional="nasional" ntt="ntt" o:p="o:p" pangan="pangan" papua="papua" persentase="persentase" positif="positif" rata-rata="rata-rata" rawan="rawan" rumah="rumah" sangat="sangat" tangga="tangga" ternyata="ternyata" terparah="terparah" tersebut.="tersebut." timur="timur" utara="utara" wilayah="wilayah" yaitu="yaitu" yang="yang">

Jauh Dari Harapan

Tidak hanya dari segi kuantitas, kenyataannya kualitas konsumsi pangan rakyat juga masih belum memuaskan. Data Susenas yang diolah BKP Kementan (2010) menunjukkan kualitas konsumsi pangan yang dicerminkan Pola Pangan Harapan selama lima tahun terakhir bertengger pada skor <85 90-100.="90-100." belum="belum" dari="dari" harapan="harapan" ideal="ideal" itu="itu" keragaman="keragaman" konsumsi="konsumsi" menunjukkan="menunjukkan" o:p="o:p" optimalnya="optimalnya" pangan="pangan" skor="skor">
masyarakat kita.

Kalau sebagian pakar menyebutkan produksi pangan terabaikan, pemerintah seharusnya lebih wawas diri. Peran Kementan dalam memacu petani-petani Indonesia untuk memproduksi pangan dan mendorong PPL (penyuluh pertanian lapangan) agar mendampingi para petani berproduksi memang tidak bisa dinafikan. Akan tetapi, usaha-usaha pemerintah tersebut sepertinya dianggap belum cukup karena ternyata urusan pangan yang mahapenting itu masih kalah jauh dengan urusan bahan bakar minyak. Buktinya, pada 2011, subsidi pemerintah untuk pembangunan pangan hanya Rp38,2 triliun, sedangkan subsidi bahan bakar minyak mencapai Rp129,7 triliun.

Kebijakan pangan haruslah mempunyai tujuan atau target yang terukur. Pemerintah bisa menetapkan pangan apa saja yang harus disediakan secara mandiri penuh, pangan apa yang harus diimpor, dan seberapa banyak boleh diimpor. Dengan memperhatikan kekayaan sumber daya alam Indonesia, kesuburan lahan yang dimiliki, dan potensi tenaga kerja pertanian, sungguh naif kalau kita hanya fokus pada persoalan penyediaan beras sementara produk pangan lain terabaikan.

Di dalam buku Merevolusi Revolusi Hijau (2012) karya Pemikiran Guru Besar IPB di ungkapkan, pembangunan pangan penting karena pangan merupakan kebutuhan dasar utama dan bagian dari hak asasi manusia. Pangan ialah kunci kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan. Pangan sebagai komoditas dagang memerlukan sistem distribusi yang baik agar terjangkau oleh daya beli masyarakat.

Bila pangan yang tersedia belum bisa me menuhi hajat hidup masyara kat secara mera ta, kasus-kasus gizi kurang yang bak fenomena gunung es akan senantiasa bermunculan. Hasil riset South East Asian Nutrition Surveys atau Seanuts (2012) semakin mengonfirmasikan temuan Riset Kesehatan Dasar (2011) bahwa persoalan gizi kurang di Indonesia bersifat kronis. Artinya, masalah itu telah berlangsung lama dan menimpa the most vulnerable group yaitu anak balita.

Jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya yang dicakup dalam survei Seanuts, profil anak Indonesia ternyata yang paling parah, yaitu lebih banyak anak kurus dan lebih banyak anak pendek. Hal itu seharusnya semakin menyadarkan jajaran kesehatan untuk segera membenahi persoalan gizi kurang tersebut dengan program gizi yang lebih fokus dan berkualitas.

Tugas Berat

Hingga kini sektor yang diberi tanggung jawab besar untuk mengatasi masalah gizi adalah kesehatan. Disadari, tugas-tugas bidang kesehatan sangatlah luas, terkait dengan pencegahan dan penanggulangan berbagai penyakit, wabah, promosi kesehatan, dll. Penderita gizi kurang memang tepat kalau menjadi urusan kesehatan. 
Namun, pencegahan munculnya masalah gizi seharusnya ditangani sektor yang mengurusi produksi pangan, yaitu pertanian. Munculnya kurang kalori-protein, anemia gizi besi, kurang vitamin A, dan kurang gizi mikro lainnya disebabkan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan yang buruk.

Rendahnya konsumsi pangan hewani, kacang-kacangan, sayuran, dan buah berkorelasi dengan penyediaan pangan yang menjadi tugas sektor pertanian.
Kementerian Pertanian mempunyai tugas berat untuk merealisasikan tercukupinya ketersediaan pangan nasional, regional, dan di tingkat rumah tangga. Di Amerika, peran USDA (United State Department of America) sangatlah besar dalam penanggulangan masalah gizi. Sebagai contoh, USDA membantu penyelenggaraan program susu sekolah di berbagai negara berkembang dan ilmuwan USDA berperan aktif dalam perumusan dietary guidelines.

Oleh sebab itu, persoalan gizi kini jangan hanya dipikul Kementerian Kesehatan, tetapi juga oleh Kementerian Pertanian. Kalau di jajaran kesehatan terdapat Direktorat Promosi Kesehatan, saya tidak tahu apakah di bidang pertanian sudah ada Direktorat Promosi Pangan dan Gizi. Di kalangan masyarakat, pemahaman gizi diartikan secara sempit, yakni hanya seputar empat sehat lima sempurna. Padahal, berbagai penyakit yang kini muncul dan menjadi penyebab kematian utama tidak terlepas dari ketidakseimbangan konsumsi pangan dan gizi.
Gizi menentukan daya saing SDM. Bangsa yang lemah karena penyakitan dan kurang gizi tidak akan mampu bersaing dengan bangsa-bangsa yang penduduknya lebih sehat, cerdas, dan produktif. Bila kurang gizi dibiarkan tanpa penanganan, tenaga kerja Indonesia akan kehilangan daya saing dan ketika 2015 nanti kita memasuki pasar bebas ASEAN dan enam negara sekitar ASEAN, bangsa ini hanya bisa berpuas diri menjadi penonton.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar