Jangan
Mengabaikan Urusan Pangan
Ali Khomsan ; Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat
Fema IPB
|
MEDIA
INDONESIA, 14 Desember 2012
KRISIS kedelai, daging sapi, impor beras, dan impor pangan
lainnya sebenarnya mengindikasikan apa? Jangan-jangan kita mengabaikan urusan
pangan.
Indonesia mengimpor lima komoditas pangan utama, yaitu
gandum senilai US$2,4 miliar (sekitar Rp23,1 triliun), kedelai US$732 juta
(sekitar Rp7,045 triliun), gula US$860 juta (sekitar Rp8,2 triliun), susu
US$755 juta (sekitar Rp7,2 triliun), dan daging sapi US$480 juta (sekitar
Rp4,6 triliun). Tentu masih ada pangan lain yang juga kita impor, termasuk
garam, sehingga kita saat ini benar-benar terjebak dalam arus impor pangan. Lebih
dari Rp50 triliun devisa setiap tahun terkuras untuk mengimpor pangan dan
angka itu sekitar 5% dari APBN.
Sebagai negara agraris yang serbagemah ripah loh jinawi,
negara kita sesungguhnya menjanjikan surplus produksi pangan yang dapat
dinikmati seluruh penduduk Indonesia. Nenek moyang kita telah mengenal budi
daya padi sejak ratusan tahun yang lalu. Lumbung padi kini tidak hanya ada di
Jawa, di luar Jawa pun dapat dijumpai kabupaten lumbung padi.
Padi sebagai pangan pokok tetap dikonsumsi rakyat kita
dalam jumlah banyak. Namun, gandum sebagai pangan subtropis kini semakin
menjadi tren konsumsi bangsa Indonesia. Ironisnya, pangan umbi-umbian nyaris
tidak dikembangkan secara optimal baik dari segi budi dayanya maupun
pemasaran sosial untuk peningkatan konsumsinya. Pembudidayaan beberapa
komoditas pangan saat ini memang seperti dianaktirikan. Kini saatnya momentum
untuk kembali memperhatikan pangan-pangan potensial sehingga kita bisa lebih
berdaulat di bidang pangan.
Dalam laporan MDGs Indonesia (Bappenas, 2011) diungkapkan,
14,5% rumah tangga di Indonesia tergolong sangat rawan pangan dengan konsumsi
energi <70 21="21" 32="32" 37="37" angka="angka" banyaknya="banyaknya" barat="barat" berkorelasi="berkorelasi" dan="dan" dengan="dengan" di="di" dianjurkan.="dianjurkan." gizi="gizi" indonesia="indonesia" itu="itu" jauh="jauh" jumlah="jumlah" karena="karena" kecukupan="kecukupan" kondisi="kondisi" maluku="maluku" melebihi="melebihi" mengalami="mengalami" miskin="miskin" nasional="nasional" ntt="ntt" o:p="o:p" pangan="pangan" papua="papua" persentase="persentase" positif="positif" rata-rata="rata-rata" rawan="rawan" rumah="rumah" sangat="sangat" tangga="tangga" ternyata="ternyata" terparah="terparah" tersebut.="tersebut." timur="timur" utara="utara" wilayah="wilayah" yaitu="yaitu" yang="yang">70>
|
Jauh Dari Harapan
Tidak hanya dari segi
kuantitas, kenyataannya kualitas konsumsi pangan rakyat juga masih belum
memuaskan. Data Susenas yang diolah BKP Kementan (2010) menunjukkan kualitas
konsumsi pangan yang dicerminkan Pola Pangan Harapan selama lima tahun
terakhir bertengger pada skor <85 90-100.="90-100." belum="belum" dari="dari" harapan="harapan" ideal="ideal" itu="itu" keragaman="keragaman" konsumsi="konsumsi" menunjukkan="menunjukkan" o:p="o:p" optimalnya="optimalnya" pangan="pangan" skor="skor">85>
masyarakat kita.
Kalau sebagian pakar
menyebutkan produksi pangan terabaikan, pemerintah seharusnya lebih wawas
diri. Peran Kementan dalam memacu petani-petani Indonesia untuk memproduksi
pangan dan mendorong PPL (penyuluh pertanian lapangan) agar mendampingi para
petani berproduksi memang tidak bisa dinafikan. Akan tetapi, usaha-usaha
pemerintah tersebut sepertinya dianggap belum cukup karena ternyata urusan pangan yang mahapenting
itu masih kalah jauh dengan urusan bahan bakar minyak. Buktinya, pada 2011,
subsidi pemerintah untuk pembangunan pangan hanya Rp38,2 triliun, sedangkan
subsidi bahan bakar minyak mencapai Rp129,7 triliun.
Kebijakan pangan haruslah mempunyai tujuan atau target
yang terukur. Pemerintah bisa menetapkan pangan apa saja yang harus disediakan
secara mandiri penuh, pangan apa yang harus diimpor, dan seberapa banyak
boleh diimpor. Dengan memperhatikan kekayaan sumber daya alam Indonesia,
kesuburan lahan yang dimiliki, dan potensi tenaga kerja pertanian, sungguh
naif kalau kita hanya fokus pada persoalan penyediaan beras sementara produk
pangan lain terabaikan.
Di dalam buku Merevolusi Revolusi Hijau (2012) karya
Pemikiran Guru Besar IPB di ungkapkan, pembangunan pangan penting karena
pangan merupakan kebutuhan dasar utama dan bagian dari hak asasi manusia.
Pangan ialah kunci kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan. Pangan sebagai
komoditas dagang memerlukan sistem distribusi yang baik agar terjangkau oleh
daya beli masyarakat.
Bila pangan yang tersedia belum bisa me menuhi hajat hidup
masyara kat secara mera ta, kasus-kasus gizi kurang yang bak fenomena gunung
es akan senantiasa bermunculan. Hasil riset South East Asian Nutrition Surveys atau Seanuts (2012) semakin mengonfirmasikan temuan Riset Kesehatan Dasar (2011) bahwa
persoalan gizi kurang di Indonesia bersifat kronis. Artinya, masalah itu
telah berlangsung lama dan menimpa the
most vulnerable group yaitu anak balita.
Jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya yang
dicakup dalam survei Seanuts, profil anak Indonesia ternyata yang paling
parah, yaitu lebih banyak anak kurus dan lebih banyak anak pendek. Hal itu
seharusnya semakin menyadarkan jajaran kesehatan untuk segera membenahi
persoalan gizi kurang tersebut dengan program gizi yang lebih fokus dan
berkualitas.
Tugas Berat
Hingga kini sektor yang diberi
tanggung jawab besar untuk mengatasi masalah gizi adalah kesehatan. Disadari,
tugas-tugas bidang kesehatan sangatlah luas, terkait dengan pencegahan dan
penanggulangan berbagai penyakit, wabah, promosi kesehatan, dll. Penderita
gizi kurang memang tepat kalau menjadi urusan kesehatan.
Namun, pencegahan
munculnya masalah gizi seharusnya ditangani sektor yang mengurusi produksi pangan,
yaitu pertanian. Munculnya kurang kalori-protein, anemia gizi besi, kurang vitamin A, dan kurang
gizi mikro lainnya disebabkan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan yang
buruk.
Rendahnya konsumsi pangan hewani, kacang-kacangan, sayuran, dan buah
berkorelasi dengan penyediaan pangan yang menjadi tugas sektor pertanian.
Kementerian Pertanian mempunyai tugas berat untuk
merealisasikan tercukupinya ketersediaan pangan nasional, regional, dan di
tingkat rumah tangga. Di Amerika, peran USDA (United State Department of America) sangatlah besar dalam
penanggulangan masalah gizi. Sebagai contoh, USDA membantu penyelenggaraan
program susu sekolah di berbagai negara berkembang dan ilmuwan USDA berperan
aktif dalam perumusan dietary guidelines.
Oleh sebab itu, persoalan gizi kini jangan hanya dipikul
Kementerian Kesehatan, tetapi juga oleh Kementerian Pertanian. Kalau di
jajaran kesehatan terdapat Direktorat Promosi Kesehatan, saya tidak tahu
apakah di bidang pertanian sudah ada Direktorat Promosi Pangan dan Gizi. Di
kalangan masyarakat, pemahaman gizi diartikan secara sempit, yakni hanya
seputar empat sehat lima sempurna. Padahal, berbagai penyakit yang kini
muncul dan menjadi penyebab kematian utama tidak terlepas dari ketidakseimbangan
konsumsi pangan dan gizi.
Gizi menentukan daya saing SDM.
Bangsa yang lemah karena penyakitan dan kurang gizi tidak akan mampu bersaing
dengan bangsa-bangsa yang penduduknya lebih sehat, cerdas, dan produktif.
Bila kurang gizi dibiarkan tanpa penanganan, tenaga kerja Indonesia akan
kehilangan daya saing dan ketika 2015 nanti kita memasuki pasar bebas ASEAN
dan enam negara sekitar ASEAN, bangsa ini hanya bisa berpuas diri menjadi
penonton. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar