Sabtu, 15 Desember 2012

Etika Politik dan Andi Mallarangeng


Etika Politik dan Andi Mallarangeng
Banu Prasetyo ;  Alumnus Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM)
SUARA MERDEKA, 14 Desember 2012


KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) membuat sejarah baru, menetapkan Andi Alifian Mallarangeng sebagai menteri aktif pertama yang menjadi tersangka atas dugaan korupsi kasus Hambalang. Komisi antikorupsi itu juga menetapkan Andi Zulkarnain Mallarangeng (Choel), adik sang menteri, dan M Arif Taufiqurrahman (PT Adhi Karya) dalam daftar cekal, namun keduanya berstatus sebagai saksi. 
Kita patut mengapresiasi progresivitas pemberantasan korupsi KPK di bawah kepemimpinan Abraham Samad. Apresisasi tinggi pantas juga kita berikan kepada Andi Mallarangeng. 

Secara gentlemen ia langsung mengumumkan pengunduran diri, baik sebagai Menpora maupun Sekretaris Dewan Pembina Partai Demokrat, sehari setelah pengumuman penetapan itu, meskipun mengaku belum mendapat surat resmi. 

Pilihan Andi merupakan cerminan sikap kesatria yang seharusnya dimiliki oleh pejabat pemerintahan. Hal ini membuktikan bahwa kepandaian saja tidak cukup untuk menjadi pejabat namun juga butuh kematangan pemahaman etika politik.

Selama ini orang beranggapan politik adalah kejam, tidak mengenal kawan dan lawan, yang ada hanya kepentingan. Pandangan itu menutup rapat-rapat moralitas dalam dunia politik. Pandangan itu sangat mungkin diinspirasi tesis Machiavelli (dalam buku Il Principe) yang dianggap sebagai pendorong kediktatoran pemerintahan.

Machiavelli tak dapat disalahkan. Justru banyak orang keliru menerjemahkan pemikiran filsuf Italia itu. Jika memahami, pandangannya itu tidak keliru meskipun condong ke arah pragmatis. Artinya, pandangan tentang politik berdasar atas kenyataan. Sebagian besar pandangannya memang menihilkan moral dalam sebuah pemerintahan. Namun pandangan itu bukan tanpa alasan mengingat manusia memang tidak pernah puas akan kekuasan, sebagaimana pandangan Sir Francis Bacon. Karena itu, Machiavelli mengatakan pemimpin harus mampu mengendalikan tingkah laku warganya. 

Dalam rangka itulah, seorang penguasa tidak perlu menghiraukan pertimbangan-pertimbangan moral. Penguasa bisa saja bertindak sangat moralistis tetapi hal itu berfungsi untuk maksud-maksud tertentu (F Budi Hardiman dalam Filsafat Modern dari Machiavelli sampai Nietzshce, 2004).
Pemikiran Machiavelli merupakan tesis politik klasik. Sekarang, politik tidak lagi bebas nilai, ia berhubungan erat dengan etika. Memang, sedikit utopis pada era sekarang ini mengatakan etika politik di tengah kehidupan politik Indonesia yang karut-marut. 

Dr Haryatmoko (dalam esai ’’Etika Politik, Bukan Hanya Moralitas Politikus’’) menyatakan, ’’Berbicara etika politik itu seperti berteriak di padang gurun. Realitas politik adalah pertarungan kekuatan dan kepentingan. Politik dibangun bukan dari yang ideal, tidak tunduk kepada apa yang seharusnya. Dalam politik, kecenderungan umum adalah tujuan menghalalkan segala cara.’’

Bukan Politikus

Etika politik dalam hal ini tidak hanya menyoal tata krama atau aturan moral dalam perilaku penguasa. Tujuan etika politik adalah mengarahkan ke hidup baik, bersama, dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil (Paul Ricoeur, 1990).
Jadi, seorang penguasa setidaknya harus memiliki tiga kemampuan. Pertama; ia harus mengarahkan warganya ke hidup yang baik, tanpa mementingkan golongan. Kedua; ia juga senantiasa harus menjamin kebebasan berpikir dalam masyarakat. Ketiga; seorang pemimpin harus membangun institusi secara adil demi keterciptaan keadilan di tengah masyarakat.

Celakanya, tiga kemampuan tersebut sangat jarang kita temui, atau bahkan tidak ada dalam sosok pejabat di negeri ini. Idealisme etika politik kemudian harus berbenturan dengan realitas politik yang seolah menjadi antitesis. Di sinilah peran pandangan Machiavelli dibutuhkan, dengan menggunakan kekuasan maka tiga tujuan etika politik, yakni adalah mengarahkan ke hidup baik, bersama, dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil dapat diupayakan.

Memiliki kemampuan menjalankan tujuan etika politik bukanlah persoalan mudah. Untuk menjalankan tujuan tersebut diperlukan pendewasaan. Hal itu dapat dimulai dari pemahaman mengenai etika. Dalam hal ini, etika deontologis Immanuel Kant menjadi contoh. Ia menggambarkan tindakan seseorang dalam menjalankan kehendak haruslah berdasarkan atas norma moral, tidak cukup patuh semata. Implementasinya, jika seseorang membayar pajak, hal itu tidak hanya sekadar patuh pada hukum tapi karena hormat pada hukum moral, yang berarti kewajiban moral.

Lebih mudahnya, ketika kita berbuat baik haruslah tanpa motif. Dengan kata lain, jika kita menolong seseorang, bukan karena mengharapkan sesuatu atau imbalan. Bagi Kant, berbuat baik harus didasari karena ada kewajiban moral bukan  tujuan tertentu. Inilah yang menurutnya sebagai imperatif kategoris dalam etika deontologi. Dalam perspektif etika, pengunduran diri Andi Mallarangeng merupakan sebuah cerminan tanggung jawab seorang pejabat. Terlepas benar salahnya dia dalam permasalahan hukum, karena dalam etika tidak soal mengenai baik atau buruk, yang terpenting adalah tanggung jawab. 

Hal inilah yang seharusnya dicontoh pejabat lain. Jika sudah ditetapkan sebagai tersangka  sebaiknya mengundurkan diri dan melakukan pembelaan di persidangan, bukan di media massa. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar