Kurikulum Baru
Kulitnya
Cyprianus Aoer ; Mantan Anggota Komisi X DPR,
Bekerja di Lembaga
Sertifikasi Profesi Hotel dan Restoran
|
SINAR
HARAPAN, 15 Desember 2012
SELAMA
beberapa hari ini, media massa nasional terus-menerus memberitakan variasi
tanggapan tentang rencana penerapan Kurikulum 2013.
Dari rekaman media, kita bisa ungkapkan bahwa Kurikulum
2013 tersebut diterapkan, karena tuntutan adanya perubahan yang fundamental
terhadap perilaku dan pengetahuan peserta didik secara mandiri, cerdas,
kritis, rasional, dan kreatif. Namun, masyarakat masih bingung dan belum
memahami sepenuhnya apa isi Kurikulum 2013 itu.
Hal ini karena kurangnya sosialisasi ke masyarakat,
apalagi persepsi terhadap perubahan kurikulum, yang dinilai hanya kulitnya
saja, sedangkan intinya tetap tidak berubah. Kalaupun ada kegiatan
sosialisasi, itu hanya akal-akalan saja.
Memori masyarakat masih terekam kuat sehubungan pameo
selama ini bahwa "ganti menteri, ganti kurikulum” atau “kulitnya
diganti, isinya tetap sama” atau “perubahan kurikulum hanya menghamburkan
uang".
Orang masih melihat dengan sinis dan pesimistis karena
setiap ada kurikulum baru, ternyata setelah diterapkan juga tidak membawa
perubahan dalam sikap, keterampilan, dan pengetahuan anak didik.
Mari kita menengok perubahan kurikulum di era Orde
Baru. Kita pernah mengenal Kurikulum 1975, kemudian Kurikulum 1984, Kurikulum
1994, dan Kurikulum 2004 yang dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK).
Melihat rentang waktu tersebut, dapat disimpulkan
pergantian suatu kurikulum terjadi dalam kurun waktu yang cukup panjang,
yakni 10 tahun. Namun, pergantian KBK (2004) menjadi Kurikulum 2006 atau
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) hanya dalam waktu dua tahun.
Kurikulum 2006 belum berjalan efektif, muncul lagi ide
Kurikulum 2013. Benar juga pameo yang berbunyi "ganti menteri, ganti
kurikulum", ternyata masih relevan hingga saat ini.
Dari tinjauan historis gonta-ganti kurikulum tersebut,
ternyata kemerosotan mutu pendidikan kita sudah terasakan selama
bertahun-tahun, namun anehnya selalu saja kurikulum dituding sebagai
penyebabnya.
Kalau begitu di mana letak kesalahannya? Kita melihat
fakta, sekolah-sekolah yang
bermutu dari masa ke masa tetap saja
mempertahankan mutu pendidikannya, karena para gurunya memiliki kemampuan
profesional dan para siswanya serius belajar, ditambah dengan manajemen
sekolah yang efektif.
Karena itu, kemerosotan pendidikan lebih disebabkan
oleh kurang profesional guru dalam belajar-mengajar. Buktinya, sejak beberapa
tahun lalu mulai dilakukan perbaikan kinerja guru melalui uji kompetensi
guru, dan berbagai pelatihan, hasilnya banyak guru tidak lulus dan hasil uji
kompetensi terasa tidak efektif.
Dalam konteks inilah faktor utama yang memengaruhi
efektivitas belajar-mengajar, yaitu guru dan kurikulum. Karena itu,
pembenahan dan perbaikan kurikulum seharusnya dimulai dari para guru. Gurulah
yang akan "menghidupkan" kurikulum itu sejalan dengan memperhatikan
kesejahteraan guru.
Bila perubahan itu dilakukan tanpa pengkajian
berdasarkan pengalaman guru selama ini di lapangan, dan tanpa melibatkan
banyak pihak seperti orang tua dan murid, maka tidak akan ada hasilnya.
Artinya, apa pun bentuk penyempurnaannya tanpa
melibatkan banyak pihak, tidak akan membawa hasil. Justru yang terjadi adalah
kulitnya saja yang berubah, namun isinya tetap sama, tidak membawa perubahan.
Jiwa Nasionalisme
Konon Kurikulum 2013 diarahkan untuk memperkuat jiwa nasionalisme
para peserta didik. Ada beberapa pertimbangan di mana kurikulum pendidikan
diserahkan ke sekolah dengan nama KTSP ternyata tidak efektif. Buktinya,
setelah dilakukan evaluasi ada beberapa hal yang dinilai tidak tepat,
terutama terkait kurikulum penguatan nasionalisme.
Oleh karena itu, Kemendikbud berencana memperkuat
nasionalisme dan tidak mengabaikan aspek kebersamaan secara nasional sehingga
metodologi dan materi empat mata pelajaran, yakni Agama, Pendidikan
Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, dan Matematika, harus ditata ulang.
Konon ada alasannya. Selama ini anak-anak kita dinilai
tidak memiliki waktu untuk membangun karakter dirinya. Pendidikan yang
diberikan oleh sekolah hanya menekankan pembelajaran yang bersifat akademik,
sementara yang bersifat perilaku diabaikan.
Artinya, konsep pendidikan nasional yang saat ini
diterapkan telah mengabaikan pendidikan watak/karakter dan kemampuan
bernalar. Akibatnya, terjadi krisis moral di mana-mana, seperti perkelahian
pelajar, menyontek, banyak siswa terlibat masalah seksual, dan lain-lain, dan
kasus-kasus tersebut kurang memenuhi harapan masyarakat.
Dalam konteks inilah pendidikan nasional perlu
diarahkan. Tidak saja pendidikan itu bertujuan mencerdaskan bangsa, membentuk
watak bangsa, tetapi juga menjadi bagian dari upaya mampu bertarung di era
globalisasi.
Ini karena tujuan akhir pendidikan adalah membangun
kesadaran kritis anak didik akan berbagai macam soal, termasuk nilai moral,
hak asasi manusia, kebenaran, keadilan, dan kejujuran. Perlu penekanan yang
lebih besar pada pendidikan nilai dan pembentukan watak/karakter bangsa,
sejalan dengan peningkatan kemampuan penguasaan iptek modern.
Moral Pancasila, pendidikan etika, dan kewarganegaraan
dijadikan dasar pijakan perilaku, keterampilan, dan pengetahuan anak didik
untuk mengembangkan dirinya. Terlepas dari itu, sebelum kurikulum baru itu
diterapkan, faktor utama yang harus dilakukan adalah mengubah mental, cara,
dan metode belajar-mengajar dalam diri guru sendiri.
Perlu dipahami, penyempurnaan kurikulum harus dilakukan
secara menyeluruh, konseptual, gradual, dan konstitusional. Maksudnya, apa
pun bentuk penyempurnaannya, semua tergantung pada bagaimana terwujudnya
praktik pendidikan yang lebih bermutu untuk menghasilkan sumber daya manusia
yang bermutu, yang berlaku secara nasional, sampai di pelosok Nusantara.
Pendidikan yang baik akhirnya tetap tergantung pada
mutu guru, di mana guru harus memberi teladan yang kreatif, aktif, dan selalu
mengikuti perkembangan zaman.
Kita sangat mendukung dan berharap tidak hanya slogan
murahan bahwa pembenahan kurikulum akan melibatkan guru, mulai dari konsep
pemikiran sampai dengan tahap pelatihan pada guru.
Rencana ini sangat baik kalau serius dilakukan karena
kurikulum itu sendiri berarti seperangkat program belajar-mengajar yang
berfungsi sebagai pedoman untuk mencapai tujuan pendidikan, yaitu memberikan
bekal kemampuan intelektual dan spiritual yang diperlukan bagi siswa yang
akan dikembangkannya di dalam hidupnya.
Keterlibatan guru dalam pembentukan menjadi sesuatu
yang sangat bermanfaat untuk menghasilkan kurikulum yang bermutu tentu saja
tidak boleh diabaikan kebutuhan siswa itu sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar