Jumat, 07 Desember 2012

Pemimpin Populis, Bukan Populer


Pemimpin Populis, Bukan Populer
Teuku Kemal Fasya ;  Dosen antropologi Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe
SINAR HARAPAN, 04 Desember 2012


Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis hasil survei kandidat presiden 2014 potensial versi opinion leader. Opinion leader yang dimaksud di sini adalah para pemimpin redaksi media, pengusaha, pemimpin LSM, jenderal, dan sarjana doktoral.
Survei mengambil sampel 223 responden dari seluruh Indonesia. Mereka akhirnya memunculkan nama berdasarkan kriteria memuaskan pada aspek integritas, bebaspersangkaan KKN, kepemimpinan, dan moderat berdiri di atas semua golongan. Dari 24 nama, muncullah 18 nama yang dianggap layak sebagai presiden, dengan tiga suara terbanyak yaitu Mahfud MD, Jusuf Kalla, dan Dahlan Iskan.
Dari 18 besar pilihan opinion leader tersebut hanya ada empat nama pemimpin partai politik terjaring, yaitu Megawati Sukarnoputri (urutan 7), Hatta Rajasa (12), Surya Paloh (13), dan Prabowo Subianto (16). Nama Aburizal Bakri dan Anas Urbaningrum tidak masuk.

Mungkin para responden menganggap mereka otomatis terdiskualifikasi terkait kinerjanya sebagai pemimpin partai. Partai mereka masih sulit keluar dari citra korupsi yang banyak menjerat kadernya. Belum lagi keterkaitan kasus personal, seperti Lapindo, pengemplangan pajak, Wisma Atlet, dan Hambalang. Pemimpin partai lain tidak masuk karena memang masih jauh dari ekspektasi sebagai pemimpin bangsa.

Tiga Terbaik

Tiga terbaik tersebut tidaklah mengejutkan. Secara ideal itulah pemimpin terbaik bangsa saat ini. Para responden bukanlah pencinta telenovela yang melihat figur berdasarkan iklan dan besarnya massa partai yang mereka punya. Mereka adalah kelas menengah yang tak silau popularitas tokoh yang digelembungkan melalui iklan politik. Kelompok oponion leader ini sesungguhnya pemilih rasional yang lebih otonom dalam bersikap, tidak mudah disuap, dan mendambakan pemimpin yang jujur, visioner, dan bisa melakukan perubahan bagi bangsa ini.

Pilihan pada Mahfud MD sangatlah tepat. Sebagai politikus yang berangkat dari dunia kampus (Universitas Islam Indonesia Yogyakarta), Mahfud telah cukup dikenal luas. Ia semakin bersinar sebagai tokoh politik sejak bergabung dengan PKB di masa kepemimpinan Abdurrahman Wahid dan menjadi menteri pertahanan.

Meskipun kini elektabilitas PKB merosot pasca-konflik internal, kiprahnya sebagai seorang politikus tidak ikut luntur. Ia semakin diperhitungkan sebagai negarawan ketika menjadi ketua Mahkamah Konstitusi.

Beberapa keputusan penting sempat diambilnya, seperti mencabut Pasal 256 dalam UU Pemerintahan Aceh (UU No 11/2006) yang dianggap bertentangan dengan hak konstitusional sipil masyarakat dalam Pilkada Aceh. Pilihannya memang berat, karena sempat mengarah pada situasi buntu dan prahara konflik baru di Aceh.

Tapi, ia adalah “pemenang” ketika memutuskan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh untuk membuka kembali pendaftaran bagi Partai Aceh (PA) pasca-pemboikotan pilkada. Banyak pihak menilai putusan MK saat itu lebih bersifat politis dibandingkan konstitusional. Namun, itu menjadi jalan tengah di tengah karut-marut Pilkada Aceh, ditambah presiden pun diam saja.

Sikap terakhir yang bisa dikatakan revolusioner adalah pembubaran BP Migas yang diamanatkan dalam UU No 22/2001. MK menilai BP Migas menjadi agen yang memanjakan kepentingan asing dibandingkan menjaga kedaulatan energi nasional.
Pernyataannya bahwa istana dipenuhi mafia narkoba juga menunjukkan keberaniannya bersikap, meskipun bertubi-tubi menerima celaan. Sebelumnya publik meragukan keberanian Mahfud bersikap kritis kepada SBY disebabkan keintiman yang terjalin selama ini.

Adapun Jusuf Kalla telah terbukti tangguh sebagai pemimpin bangsa. Bahkan, ketika masih menjadi wakil presiden ia dinilai sebagai the real president karena peran-peran penting kenegaraan yang diambilnya, sedangkan SBY lebih banyak berperan simbolis.

Upayanya menginisiasi perdamaian Aceh di Helsinki bersama Gerakan Aceh Merdeka (GAM) awalnya mendapat pertentangan keras dari DPR, namun JK tidak pernah gentar.

Sikap tegasnya agar ada renegosiasi kontrak perusahaan migas asing dan menolak kontrak baru Exxon di Blok Cepu sempat dianggap tidak bersahabat atas bisnis Amerika di Indonesia. Namun, pada lain waktu, dengan penuh martabat ia menawarkan bantuan kepada Amerika Serikat ketika menghadapi krisis global 2009. Ia menunjukkan Indonesia bukanlah agen asing dan bisa menentukan sikap kepada dunia.

Sejak tidak menjadi wapres pun, pesona JK tidak luntur. Perannya sebagai ketua Palang Merah Indonesia (PMI) cukup besar, bukan hanya pada kasus bencana dalam negeri, tapi juga prahara kemanusiaan di Rakhine, Myanmar.

Yang paling ironis ketika meledak konflik di Lampung Selatan. Pemerintah pusat masih belum melakukan tindakan apa-apa, bahkan SBY berangkat ke Inggris untuk mendapatkan gelar kehormatan dari Ratu Inggris. Hanya JK paling cepat tiba di lapangan, bertindak untuk meredakan konflik berbasis SARA tersebut.

Dahlan Iskan tidak dikenal hanya sebagai pengusaha media. Ia juga figur penuh ide, terutama dalam mereformasi kinerja BUMN dan kementerian yang dipegangnya. Banyak sikap spontannya dianggap over-acting seperti membuka pintu tol yang macet, menjual kartu e-toll secara langsung, dan mengepel bandara Cengkareng, tapi ia tak peduli dengan citra negatif yang dimunculkan oleh rival politiknya.

Upayanya membongkar politik sapi perah di BUMN oleh anggota DPR memang menghadirkan perlawanan keras, namun tak membuatnya sedih. Visinya sekuat misinya dalam melakukan pembenahan manajerial birokrasi yang berkalang korupsi dan koncoisme.

Ia kerap turun ke lapangan, mengajarkan disiplin, bersikap tegas, dan kerja keras sehingga menjadikan Iskan model baru teknokrat populis. Penampilannya sesederhana sikapnya. Ia nyaman dengan sepatu kets dan kemeja tanpa jas. Dahlan juga tak sungkan menemui para demonstran buruh dan menolak protokoler yang selama ini memanjakan para menteri.

Optimistis

Jika hasil ini sejalan dengan skenario politik 2014, sesungguhnya Indonesia masih memiliki harapan untuk berubah. Selama ini banyak publik merasa apatis karena sempitnya pilihan yang tersedia. Mekanisme yang memperumit tokoh non-partai untuk dicalonkan sebagai presiden dan wakil presiden seharusnya diubah demi menyelaraskan dinamika politik riil masyarakat.

Namun “efek Jokowi-Ahok” akhirnya juga mengurai imajinasi baru, bahwa politik yang dibajak oleh oligarki tidaklah disenangi publik. Publik mulai mendambakan pemimpin baru dengan karakteristik berbeda dari SBY: populer tapi tidak cakap sebagai pemimpin, ragu-ragu untuk dan bertindak, dan tidak berani mempertanggungjawabkan kesalahan kebijakan yang diambil. Publik menginginkan pemimpin yang berani mengangkat wibawa bangsa, tidak membeo pada kepentingan asing.

Kita tak perlu pemimpin yang sibuk memoles citra pribadi, tapi gagal berafeksi dan spontan melindungi citra bangsa. Publik bangga pada pemimpin yang tegas dan adil bagi setiap kelompok, bukan yang memainkan politik sektarianisme dan primordialisme ketika terdesak.

Sesungguhnya publik telah lama menunggu pemimpin populis yang sensitif meraba rahim pedih-sulit rakyat, bekerja dengan penuh dedikasi pada bangsa, bukan seorang penyanyi atau sang juara kontes citra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar