Pemimpin
Populis, Bukan Populer
Teuku Kemal Fasya ; Dosen antropologi Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe
|
SINAR
HARAPAN, 04 Desember 2012
Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis hasil survei kandidat
presiden 2014 potensial versi opinion leader. Opinion leader yang dimaksud di
sini adalah para pemimpin redaksi media, pengusaha, pemimpin LSM, jenderal,
dan sarjana doktoral.
Survei mengambil sampel 223 responden dari seluruh Indonesia.
Mereka akhirnya memunculkan
nama berdasarkan kriteria memuaskan pada aspek integritas, bebaspersangkaan
KKN, kepemimpinan, dan moderat berdiri di atas semua golongan. Dari 24 nama,
muncullah 18 nama yang dianggap layak sebagai presiden, dengan tiga suara
terbanyak yaitu Mahfud MD, Jusuf
Kalla, dan Dahlan Iskan.
Dari 18 besar pilihan opinion
leader tersebut hanya ada empat nama pemimpin partai politik terjaring,
yaitu Megawati Sukarnoputri (urutan 7), Hatta Rajasa (12), Surya Paloh (13),
dan Prabowo Subianto (16). Nama Aburizal Bakri dan Anas Urbaningrum tidak
masuk.
Mungkin para responden menganggap mereka otomatis
terdiskualifikasi terkait kinerjanya sebagai pemimpin partai. Partai mereka
masih sulit keluar dari citra korupsi yang banyak menjerat kadernya. Belum
lagi keterkaitan kasus personal, seperti Lapindo, pengemplangan pajak, Wisma
Atlet, dan Hambalang. Pemimpin partai lain tidak masuk karena memang masih
jauh dari ekspektasi sebagai pemimpin bangsa.
Tiga Terbaik
Tiga terbaik tersebut tidaklah mengejutkan. Secara ideal itulah
pemimpin terbaik bangsa saat ini. Para responden bukanlah pencinta telenovela
yang melihat figur berdasarkan iklan dan besarnya massa partai yang mereka
punya. Mereka adalah kelas menengah yang tak silau popularitas tokoh
yang digelembungkan melalui iklan politik. Kelompok oponion leader ini
sesungguhnya pemilih rasional yang lebih otonom dalam bersikap, tidak mudah
disuap, dan mendambakan pemimpin yang jujur, visioner, dan bisa melakukan
perubahan bagi bangsa ini.
Pilihan pada Mahfud MD sangatlah tepat. Sebagai politikus yang
berangkat dari dunia kampus (Universitas Islam Indonesia Yogyakarta), Mahfud
telah cukup dikenal luas. Ia semakin bersinar sebagai tokoh politik sejak
bergabung dengan PKB di masa kepemimpinan Abdurrahman Wahid dan menjadi
menteri pertahanan.
Meskipun kini elektabilitas PKB merosot pasca-konflik internal,
kiprahnya sebagai seorang politikus tidak ikut luntur. Ia semakin
diperhitungkan sebagai negarawan ketika menjadi ketua Mahkamah Konstitusi.
Beberapa keputusan penting sempat diambilnya, seperti mencabut
Pasal 256 dalam UU Pemerintahan Aceh (UU No 11/2006) yang dianggap
bertentangan dengan hak konstitusional sipil masyarakat dalam Pilkada Aceh.
Pilihannya memang berat, karena sempat mengarah pada situasi buntu dan
prahara konflik baru di Aceh.
Tapi, ia adalah “pemenang” ketika memutuskan Komisi Independen
Pemilihan (KIP) Aceh untuk membuka kembali pendaftaran bagi Partai Aceh (PA)
pasca-pemboikotan pilkada. Banyak pihak menilai putusan MK saat itu lebih
bersifat politis dibandingkan konstitusional. Namun, itu menjadi jalan tengah
di tengah karut-marut Pilkada Aceh, ditambah presiden pun diam saja.
Sikap terakhir yang bisa dikatakan revolusioner adalah
pembubaran BP Migas yang diamanatkan dalam UU No 22/2001. MK menilai BP Migas
menjadi agen yang memanjakan kepentingan asing dibandingkan menjaga
kedaulatan energi nasional.
Pernyataannya bahwa istana dipenuhi mafia narkoba juga
menunjukkan keberaniannya bersikap, meskipun bertubi-tubi menerima celaan.
Sebelumnya publik meragukan keberanian Mahfud bersikap kritis kepada SBY
disebabkan keintiman yang terjalin selama ini.
Adapun Jusuf Kalla telah terbukti tangguh sebagai pemimpin
bangsa. Bahkan, ketika masih menjadi wakil presiden ia dinilai sebagai the
real president karena peran-peran penting kenegaraan yang diambilnya,
sedangkan SBY lebih banyak berperan simbolis.
Upayanya menginisiasi perdamaian Aceh di Helsinki bersama
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) awalnya mendapat pertentangan keras dari DPR,
namun JK tidak pernah gentar.
Sikap tegasnya agar ada renegosiasi kontrak perusahaan migas
asing dan menolak kontrak baru Exxon di Blok Cepu sempat dianggap tidak
bersahabat atas bisnis Amerika di Indonesia. Namun, pada lain waktu, dengan
penuh martabat ia menawarkan bantuan kepada Amerika Serikat ketika menghadapi
krisis global 2009. Ia menunjukkan Indonesia bukanlah agen asing dan bisa
menentukan sikap kepada dunia.
Sejak tidak menjadi wapres pun, pesona JK tidak luntur. Perannya
sebagai ketua Palang Merah Indonesia (PMI) cukup besar, bukan hanya pada
kasus bencana dalam negeri, tapi juga prahara kemanusiaan di Rakhine, Myanmar.
Yang paling ironis ketika meledak konflik di Lampung Selatan.
Pemerintah pusat masih belum melakukan tindakan apa-apa, bahkan SBY berangkat
ke Inggris untuk mendapatkan gelar kehormatan dari Ratu Inggris. Hanya JK
paling cepat tiba di lapangan, bertindak untuk meredakan konflik berbasis
SARA tersebut.
Dahlan Iskan tidak dikenal hanya sebagai pengusaha media. Ia
juga figur penuh ide, terutama dalam mereformasi kinerja BUMN dan kementerian
yang dipegangnya. Banyak sikap spontannya dianggap over-acting seperti
membuka pintu tol yang macet, menjual kartu e-toll secara langsung, dan
mengepel bandara Cengkareng, tapi ia tak peduli dengan citra negatif yang
dimunculkan oleh rival politiknya.
Upayanya membongkar politik sapi perah di BUMN oleh anggota DPR
memang menghadirkan perlawanan keras, namun tak membuatnya sedih. Visinya
sekuat misinya dalam melakukan pembenahan manajerial birokrasi yang berkalang
korupsi dan koncoisme.
Ia kerap turun ke lapangan, mengajarkan disiplin, bersikap
tegas, dan kerja keras sehingga menjadikan Iskan model baru teknokrat
populis. Penampilannya sesederhana sikapnya. Ia nyaman dengan sepatu kets dan
kemeja tanpa jas. Dahlan juga tak sungkan menemui para demonstran buruh dan
menolak protokoler yang selama ini memanjakan para menteri.
Optimistis
Jika hasil ini sejalan dengan skenario politik 2014,
sesungguhnya Indonesia masih memiliki harapan untuk berubah. Selama ini
banyak publik merasa apatis karena sempitnya pilihan yang tersedia. Mekanisme
yang memperumit tokoh non-partai untuk dicalonkan sebagai presiden dan wakil
presiden seharusnya diubah demi menyelaraskan dinamika politik riil
masyarakat.
Namun “efek Jokowi-Ahok” akhirnya juga mengurai imajinasi baru,
bahwa politik yang dibajak oleh oligarki tidaklah disenangi publik. Publik
mulai mendambakan pemimpin baru dengan karakteristik berbeda dari SBY:
populer tapi tidak cakap sebagai pemimpin, ragu-ragu untuk dan bertindak, dan
tidak berani mempertanggungjawabkan kesalahan kebijakan yang diambil. Publik
menginginkan pemimpin yang berani mengangkat wibawa bangsa, tidak membeo pada
kepentingan asing.
Kita tak perlu pemimpin yang sibuk memoles citra pribadi, tapi
gagal berafeksi dan spontan melindungi citra bangsa. Publik bangga pada
pemimpin yang tegas dan adil bagi setiap kelompok, bukan yang memainkan
politik sektarianisme dan primordialisme ketika terdesak.
Sesungguhnya publik telah lama menunggu pemimpin populis yang
sensitif meraba rahim pedih-sulit rakyat, bekerja dengan penuh dedikasi pada
bangsa, bukan seorang penyanyi atau sang juara kontes citra. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar