Jumat, 07 Desember 2012

Menjaga Etika dan Norma Perkawinan


Menjaga Etika dan Norma Perkawinan
Abu Rokhmad ;  Dosen IAIN Walisongo Semarang
SUARA MERDEKA, 04 Desember 2012


FANNY Oktara (18), wanita belia asal Garut dinikahi empat hari oleh bupati daerah itu, Aceng HM Fikri. Setelah itu ia dicerai melalui pesan singkat (SMS). Alasan perceraian itu karena suami kecewa si istri tidak bisa menjaga ''kehormatan''. Konon, Fanny bukanlah korban pertama. Itu artinya ada korban lain yang belum terungkap. Soal seseorang menikah, lalu bercerai karena perbedaan prinsip, itu peristiwa biasa. Tak ada yang spesial dari fitrah manusia untuk berkumpul lalu berpisah. Namun menikah dan bercerai bisa menjadi persoalan besar bila dilakukan berulang kali dan tak mengindahkan agama, hukum, dan etika. Beban menjadi lebih berat lagi bila pelaku adalah pejabat publik. Wajar bila publik geram pada perilaku sang penguasa daerah itu. Bupati yang seharusnya menjadi teladan bagi rakyat, nyata-nyata melecehkan perempuan dan lembaga perkawinan.
Hukum agama dan negara, yang menjadi basis pengaturan hubungan pernikahan laki-laki dan perempuan, dihinakan atas nama nafsu, kekuasaan, dan kegantengan fisik. Hakikatnya, perkawinan bukanlah akad sosial (social contract) atau akad kepemilikan (ëaqd al-tamlik) semata. Pernikahan juga bukan sekadar restu atau legalisasi hubungan badan antara laki-laki dan perempuan.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan YME. Islam menegaskan pernikahan merupakan ikatan yang sangat kuat dan suci (mistaqan ghalidan) dan bernilai ibadah bagi pelaku.
Perkawinan ideal merupakan ikatan seumur hidup. Atas dasar itu, tak boleh ada pernikahan yang hanya untuk memenuhi hasrat seksual, have fun, apalagi mendasarkan pada keperawanan. Untuk melindungi kesucian perkawinan, negara dan ulama fikih menyusun norma hukum dan etika pergaulan rumah tangga. Tiap orang yang hendak menikah harus memenuhi syarat dan rukun pernikahan. Bila syarat dan rukun itu tidak terpenuhi maka nikah itu menjadi fashid (rusak) atau bathil (batal). Di luar norma, etika juga diperlukan dalam pernikahan.
Hakikatnya, pernikahan tidak hanya berurusan dengan suami dan istri tapi juga dengan dua keluarga besar. Karena itu, persetujuan orang tua atas pernikahan anak sangat penting. Persetujuan ini juga simbol keharmonisan hubungan anak dengan orang tua. Restu orang tua adalah tiket awal kebahagian rumah tangga. Apabila pernikahan dipahami seperti itu maka kasus nikah 4 hari tidak mungkin terjadi. Nikah demikian tidak jauh berbeda dari nikah mut'ah (nikah sementara/nikah untuk kesenangan semata).
Calon pengantin selalu berharap hanya sekali menikah untuk selamanya. Namun kehidupan perkawinan tak selalu berjalan mulus. Bahtera rumah tangga kadang menemui gelombang tinggi dan angin kencang. Moral agama mengajarkan pernikahan harus diselamatkan sekuat tenaga, sekalipun menghadapi banyak masalah.
Jalan Terakhir
Menyadari bahwa pernikahan tidak selamanya berjalan mulus, agama memperbolehkan perceraian. Tata cara perpisahan suami istri, termasuk hak dan kewajibannya diatur sedemikian rupa agar maslahat bagi yang memilih jalan ini. Sekalipun dihalalkan, perceraian sejatinya sangat dimurkai Tuhan. Artinya, tiap orang berkewajiban mempertahankan rumah tangga, apa pun upayanya, hingga titik terakhir. Asas hukum perkawinan adalah mempersulit perceraian.
Kompilasi Hukum Islam (Pasal 115) mengatur bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan, setelah pengadilan tidak berhasil mendamaikan. Alasan suami menceraikan istri juga harus konkret (Pasal 116). Alasan perceraian Bupati Garut tersebut sudah pasti ditolak hakim karena tak sesuai dengan ketentuan. Pada sisi lain, Islam mengatur bahwa pada prinsipnya perceraian harus dilakukan secara ihsan (baik), baik menyangkut sighat (ucapan) cerai, cara, maupun perlakuan kepada bekas istri. Perceraian tidak boleh dilakukan dengan ucapan kasar dan penuh kebencian. Media yang digunakan harus pantas dan layak. Bahkan sebagian ulama mengatakan, perceraian harus dilakukan dalam satu majelis, sebagaimana akad nikah.
Menceraikan istri via pesan pendek, telepon, atau teknologi multimedia memang belum pernah ditemukan presedennya dalam fiqh munakahat. Status hukumnya pun belum pernah ada dalam kitab kuning. Sekalipun demikian dapat dipastikan bahwa cara perceraian seperti itu jauh dari spirit agama dan moralitas. Apabila pernikahan dilakukan secara makruf maka perceraian pun, sebagai jalan terakhir, harus dilakukan dengan cara ihsan (imsak bi ma'ruf au tasrih bi ihsan).
Perceraian yang dilakukan dengan cara tidak ihsan, umumnya diawali pernikahan siri. Perempuan harus menyadari risiko pernikahan siri dengan hampir 100% dampak buruk berada di pundaknya. Kenyataannya, nikah siri banyak dipilih oleh lelaki dengan berbagai alasan. Kendati agama juga tidak melarang, perempuan jangan mau menjadi tumbal nikah siri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar