Menjaga Etika
dan Norma Perkawinan
Abu Rokhmad ; Dosen
IAIN Walisongo Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 04 Desember 2012
FANNY Oktara
(18), wanita belia asal Garut dinikahi empat hari oleh bupati daerah itu,
Aceng HM Fikri. Setelah itu ia dicerai melalui pesan singkat (SMS). Alasan
perceraian itu karena suami kecewa si istri tidak bisa menjaga
''kehormatan''. Konon, Fanny bukanlah korban pertama. Itu artinya ada korban
lain yang belum terungkap. Soal seseorang menikah, lalu bercerai karena
perbedaan prinsip, itu peristiwa biasa. Tak ada yang spesial dari fitrah
manusia untuk berkumpul lalu berpisah. Namun menikah dan bercerai bisa
menjadi persoalan besar bila dilakukan berulang kali dan tak mengindahkan
agama, hukum, dan etika. Beban menjadi lebih berat lagi bila pelaku adalah
pejabat publik. Wajar bila publik geram pada perilaku sang penguasa daerah
itu. Bupati yang seharusnya menjadi teladan bagi rakyat, nyata-nyata
melecehkan perempuan dan lembaga perkawinan.
Hukum agama
dan negara, yang menjadi basis pengaturan hubungan pernikahan laki-laki dan
perempuan, dihinakan atas nama nafsu, kekuasaan, dan kegantengan fisik.
Hakikatnya, perkawinan bukanlah akad sosial (social contract) atau akad
kepemilikan (ëaqd al-tamlik) semata. Pernikahan juga bukan sekadar restu atau
legalisasi hubungan badan antara laki-laki dan perempuan.
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan YME. Islam menegaskan pernikahan merupakan ikatan yang sangat kuat
dan suci (mistaqan ghalidan) dan bernilai ibadah bagi pelaku.
Perkawinan
ideal merupakan ikatan seumur hidup. Atas dasar itu, tak boleh ada pernikahan
yang hanya untuk memenuhi hasrat seksual, have
fun, apalagi mendasarkan pada keperawanan. Untuk melindungi kesucian
perkawinan, negara dan ulama fikih menyusun norma hukum dan etika pergaulan
rumah tangga. Tiap orang yang hendak menikah harus memenuhi syarat dan rukun
pernikahan. Bila syarat dan rukun itu tidak terpenuhi maka nikah itu menjadi
fashid (rusak) atau bathil (batal). Di luar norma, etika juga diperlukan
dalam pernikahan.
Hakikatnya,
pernikahan tidak hanya berurusan dengan suami dan istri tapi juga dengan dua
keluarga besar. Karena itu, persetujuan orang tua atas pernikahan anak sangat
penting. Persetujuan ini juga simbol keharmonisan hubungan anak dengan orang
tua. Restu orang tua adalah tiket awal kebahagian rumah tangga. Apabila
pernikahan dipahami seperti itu maka kasus nikah 4 hari tidak mungkin
terjadi. Nikah demikian tidak jauh berbeda dari nikah mut'ah (nikah
sementara/nikah untuk kesenangan semata).
Calon
pengantin selalu berharap hanya sekali menikah untuk selamanya. Namun
kehidupan perkawinan tak selalu berjalan mulus. Bahtera rumah tangga kadang
menemui gelombang tinggi dan angin kencang. Moral agama mengajarkan
pernikahan harus diselamatkan sekuat tenaga, sekalipun menghadapi banyak
masalah.
Jalan Terakhir
Menyadari
bahwa pernikahan tidak selamanya berjalan mulus, agama memperbolehkan
perceraian. Tata cara perpisahan suami istri, termasuk hak dan kewajibannya
diatur sedemikian rupa agar maslahat bagi yang memilih jalan ini. Sekalipun
dihalalkan, perceraian sejatinya sangat dimurkai Tuhan. Artinya, tiap orang
berkewajiban mempertahankan rumah tangga, apa pun upayanya, hingga titik
terakhir. Asas hukum perkawinan adalah mempersulit perceraian.
Kompilasi
Hukum Islam (Pasal 115) mengatur bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di
depan sidang pengadilan, setelah pengadilan tidak berhasil mendamaikan.
Alasan suami menceraikan istri juga harus konkret (Pasal 116). Alasan
perceraian Bupati Garut tersebut sudah pasti ditolak hakim karena tak sesuai
dengan ketentuan. Pada sisi lain, Islam mengatur bahwa pada prinsipnya
perceraian harus dilakukan secara ihsan (baik), baik menyangkut sighat
(ucapan) cerai, cara, maupun perlakuan kepada bekas istri. Perceraian tidak
boleh dilakukan dengan ucapan kasar dan penuh kebencian. Media yang digunakan
harus pantas dan layak. Bahkan sebagian ulama mengatakan, perceraian harus
dilakukan dalam satu majelis, sebagaimana akad nikah.
Menceraikan
istri via pesan pendek, telepon, atau teknologi multimedia memang belum
pernah ditemukan presedennya dalam fiqh munakahat. Status hukumnya pun belum
pernah ada dalam kitab kuning. Sekalipun demikian dapat dipastikan bahwa cara
perceraian seperti itu jauh dari spirit agama dan moralitas. Apabila
pernikahan dilakukan secara makruf maka perceraian pun, sebagai jalan
terakhir, harus dilakukan dengan cara ihsan (imsak bi ma'ruf au tasrih bi
ihsan).
Perceraian
yang dilakukan dengan cara tidak ihsan, umumnya diawali pernikahan siri.
Perempuan harus menyadari risiko pernikahan siri dengan hampir 100% dampak
buruk berada di pundaknya. Kenyataannya, nikah siri banyak dipilih oleh lelaki
dengan berbagai alasan. Kendati agama juga tidak melarang, perempuan jangan
mau menjadi tumbal nikah siri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar