Kisruh
Penyelenggara Pemilu
Syamsuddin Haris ; Kepala
Pusat Penelitian Politik LIPI
|
KOMPAS,
05 Desember 2012
Publik kembali prihatin dengan potensi
kisruh penyelenggaraan pemilihan umum. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu
menganulir hasil kerja Komisi Pemilihan Umum. Sebelumnya, Badan Pengawas
Pemilu mengancam memidanakan anggota KPU. Bagaimana nasib Pemilu 2014?
Kisruh KPU dan Bawaslu, dua institusi yang
sama-sama berstatus sebagai penyelenggara pemilu tersebut adalah produk dari
kekeliruan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan
Umum. Presiden dan DPR selaku pembentuk UU adalah pemicu ”matahari kembar”
lembaga penyelenggara pemilu ini. Kesepakatan itu diperkuat oleh Mahkamah
Konstitusi yang mempermanenkan Bawaslu hingga tingkat kabupaten/kota.
Keberadaan lembaga pengawasan pemilu yang
bersifat permanen sebenarnya tidak begitu lazim di negara-negara demokratis,
meski fungsi pengawasan pemilu tetap diperlukan. Instansi pengawasan pemilu
biasanya secara integral menjadi bagian dari komisi pemilu sebagai lembaga
penyelenggara pemilu yang bersifat independen.
Selain itu, fungsi pengawasan pemilu dapat
diperankan secara sukarela oleh publik, baik melalui organisasi-organisasi
pemantau pemilu sukarela, berbagai media publik, dan masyarakat pada umumnya.
Pelanggaran administratif pemilu bisa ditangani oleh komisi pemilu, sedangkan
pelanggaran pidana menjadi wilayah kejaksaan dan kepolisian.
Pandangan ini pernah saya kemukakan dalam
Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komisi II DPR tanggal 15 Februari 2010,
tetapi kurang direspons. Sebagian parpol, pemerintah, dan juga para pengamat
serta aktivis reformasi pemilu cenderung melembagakan fungsi pengawasan
pemilu secara permanen dan bahkan memperkuat otoritasnya. Padahal, kebutuhan
obyektif bangsa kita bukanlah membentuk ”matahari kembar” penyelenggara
pemilu yang berpotensi konflik, melainkan membangun sistem penegakan hukum
pemilu yang belum terakomodasi baik dalam semua regulasi pemilu.
Tiga Matahari
Kini nasi telanjur menjadi bubur. Selain
KPU dan Bawaslu, UU No 15/2011 juga melembagakan Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu (DKPP) secara permanen. Lembaga yang fungsinya menerima
pengaduan dan mengadili pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu ini mulai
unjuk gigi, antara lain dengan memecat Ramdansah, Ketua Panwaslu Provinsi DKI
Jakarta, yang dianggap tidak independen dalam penyelenggaraan Pilkada
Jakarta.
Kehadiran lembaga DKPP yang berwibawa jelas
diperlukan. DKPP tidak hanya diharapkan mampu menegakkan kode etik
penyelenggara pemilu, tetapi juga dapat mengawal independensi dan
imparsialitas jajaran KPU dan Bawaslu dari pusat hingga daerah. Selain itu
keberadaan DKPP diharapkan dapat memberikan kepastian dan jaminan bagi pemilu
yang bebas, jujur, dan adil, serta demokratis.
Namun, jika DKPP terlalu ”ringan tangan”
menyidangkan dan mengadili setiap pengaduan atas pelanggaran proses
administratif yang diduga dilakukan KPU, potensi ketidakpastian proses
penyelenggaraan pemilu tentu semakin besar.
Keputusan DKPP yang meminta KPU agar tetap
mengikutsertakan 18 parpol dalam verifikasi faktual parpol peserta pemilu
patut disayangkan, bukan hanya karena berada di luar kewenangan DKPP,
melainkan juga berpotensi melembagakan ketidakpastian tahap-tahap
penyelenggaraan pemilu. Soalnya, ke-18 parpol yang dimaksud telah dinyatakan
gagal dalam verifikasi administratif oleh KPU sehingga menjadi aneh apabila
harus disertakan lagi dalam verifikasi faktual. Sebagaimana diamanatkan dalam
UU Penyelenggara Pemilu, verifikasi calon parpol peserta pemilu adalah
otoritas dan tanggung jawab KPU.
Karena itu, keputusan DKPP yang dibuat atas
pengaduan Bawaslu tersebut tak hanya semakin memperumit pengelolaan
penyelenggaraan pemilu, tetapi juga melembagakan munculnya ”tiga matahari”
penyelenggara pemilu. Belum lagi soal jajaran Sekretariat Jenderal KPU yang
dianggap ”membangkang” terhadap kerja para komisioner. Kondisi ini tentu amat
memprihatinkan karena bisa mengancam kepastian berlangsungnya tahapan pemilu
yang telah dihitung dan direncanakan secara cermat oleh komisioner KPU.
Berebut Panggung
Pemerintah dan DPR, khususnya Komisi II,
semestinya turut bertanggung jawab atas relasi tidak sehat di antara tiga
institusi penyelenggara pemilu ini. Artinya, dua instansi pembentuk UU
tersebut harus membenahi relasi kelembagaan di antara tiga matahari
penyelenggara pemilu dengan tujuan pokok memastikan berlangsungnya tahapan
pemilu tanpa kisruh yang tidak perlu.
Pilihan KPU yang akhirnya memenuhi
”perintah” DKPP untuk mengikutsertakan 18 parpol dalam verifikasi faktual
(Kompas, 30/11), juga bukan pilihan yang tepat karena itu artinya para
komisioner menganulir keputusan mereka sendiri. Ke depan pilihan KPU yang
cenderung ”mengalah” terhadap tekanan DKPP dan Bawaslu jelas berpotensi
melahirkan KPU yang tidak mandiri. Padahal, publik memiliki harapan besar
agar KPU baru lebih akuntabel, independen, dan terkelola secara baik
dibandingkan dengan KPU sebelumnya.
Soalnya sangat jelas, kualitas proses
pemilu pertama-tama ditentukan oleh kualitas penyelenggara pemilu agar
segenap prosedur demokrasi bisa terpenuhi. Itu artinya kualitas kinerja KPU,
Bawaslu, dan DKPP yang tidak sekadar saling ”berebut” panggung. Sebab, jika
hal itu tidak terpenuhi, lalu kapan kita bisa mulai berbicara soal-soal yang
lebih substansi dari pencapaian demokrasi? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar