Selasa, 11 Desember 2012

Pelajaran dari Andi


Pelajaran dari Andi
Jeffrie Geovanie ;  Sekretaris Majelis Nasional Partai NasDem
SINDO, 10 Desember 2012


Setelah dicekal dan dijadikan tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam proyek pembangunan kompleks olahraga terpadu di Hambalang, Bogor, Jawa Barat, Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Andi Alifian Mallarangeng menghadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan tujuan mengajukan pengunduran diri baik dari jabatannya sebagai menteri maupun sebagai sekretaris Dewan Pembina Partai Demokrat. 

Beberapa jam setelah itu, Andi menggelar jumpa pers di Kantor Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora).Selain menyatakan pengunduran dirinya, ada beberapa hal yang disampaikan Andi. Pertama, menyampaikan terima kasih kepada Presiden atas kepercayaan yang telah diberikan kepada dirinya; kedua ia meminta maaf kepada semua pihak atas semua kesalahan yang ia lakukan; dan ketiga, selain untuk mempermudah jalannya proses hukum, ia tak ingin menjadi beban bagi Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II di bawah pimpinan Presiden SBY; dan yang penting ia tetap berharap agar dunia olahraga tidak terganggu dan tetap berjalan dengan program-program yang konstruktif untuk memajukan prestasi olahraga Indonesia. 

Di luar tuduhan korupsi yang tengah dihadapinya, kita patut mengapresiasi langkah Andi untuk mundur dari jabatan formal yang tengah didudukinya. Meski dianggap terjerat korupsi mungkin tak patut diteladani, sikapnya memulai tradisi yang baik patut kita hargai. Sikap kesatria semacam ini sudah jamak kita temukan di negara-negara seperti Jepang, Korea, Amerika. Tapi, seperti kita tahu, di negeri ini umumnya pejabat publik tetap bersikukuh memegang jabatan walaupun bermasalah, berkelit dengan sederet argumentasi “berketiak ular” agar bisa bertahan, dan baru mau mundur setelah ada desakan kuat dari masyarakat atau bahkan setelah dipecat secara tidak hormat. 

Andi bukan tipe pejabat bebal semacam itu, setelah menjadi tersangka, langsung mundur secara kesatria tanpa terlebih dahulu didesakdesak oleh publik. Secara pribadi saya mengenal Andi sebagai aktivis yang memegang prinsip. Sebagai intelektual akademisi, reputasinya pernah menjulang saat menjadi anggota KPU. 

Setelah Pemilu 1999 ia mulai merambah dunia politik praktis dengan tujuan untuk ikut memperbaiki perpolitikan nasional yang karut-marut. Ia ikut membidani lahirnya Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan bersama Ryaas Rasyid yang reputasi akademisnya juga memuncak. Seperti namanya, partai ini mengusung cita-cita besar untuk membangun sistem demokrasi. Namun karena tidak mendapatkan suara yang signifikan dalam Pemilu 2004, cita-cita besar itu belum mampu direalisasi. 

Sebesar apa pun gagasan yang diusung, hal itu tidak akan bisa dijalankan secara efektif tanpa adanya dukungan publik melalui pemilu. Faktor inilah salah satunya yang mendorong Andi berpindah haluan, dari PDK ke Partai Demokrat (PD) setelah terlebih dahulu menjadi juru bicara Presiden SBY. Kedekatannya dengan SBY mengantarkan Andi menjadi sosok penting di lingkungan Istana dan di jajaran petinggi PD. Pasca-Pemilu 2009, Andi dipercaya Presiden SBY sebagai menpora dan pada Kongres PD di Bandung ia digadang-gadang menjadi ketua umum PD tapi gagal, kalah suara dari mantan Ketua Umum HMI yang juga mantan anggota KPU Anas Urbaningrum. 

Berbekal integritas dan reputasi akademis yang baik, Andi dan beberapa aktivis lain yang berada di lingkaran Istana bertekad untuk menjadikan pemerintahan SBY dan PD sebagai pelopor dalam membangun demokrasi dan pemberantasan korupsi. Di hadapan publik, Presiden SBY pernah mengemukakan tekadnya untuk memberantas korupsi dimulai dari Istana. Karena itu, wajar belaka jika Andi bersedia menjadi salah satu—bersama Anas Urbaningrum, Edhi Baskoro Yudhoyono, dan Angelina Sondakh—bintang iklan pemberantasan korupsi dengan tagline yang tegas dan gamblang: “Katakan Tidak pada Korupsi”. 

Tragedi 

Sayangnya, di mana pun, apalagi di negeri dengan arus budaya korupsi yang kuat, upaya pemberantasan korupsi bukanlah perkara gampang. Alih-alih berhasil membersihkan Istana, Andi dan Angelina malah ikut terseret dalam arus besar korupsi. Dengan memegang prinsip praduga tak bersalah, tuduhan yang dialamatkan kepada Andi—juga Angelina—bisa benar bisa juga salah.

Untuk membuktikannya kita serahkan sepenuhnya kepada KPK. Yang pasti, kasus yang menimpa keduanya menunjukkan bahwa siapa pun tak bisa imun dari (dugaan) korupsi. Padahal sebelum masuk lingkaran kekuasaan, kita mengenal keduanya sebagai tokoh aktivis muda yang bersih, berkarakter, dan idealis. Karena itu, apa yang terjadi pada Andi—juga Angelina— merupakan tragedi bagi intelektual dan aktivis yang memasuki dunia politik praktis. Tragedi semacam ini bukan yang pertama. 

Sebelum ini sudah ada beberapa intelektual atau aktivis lain yang juga terjerat korupsi, sebut saja seperti Rokhmin Dahuri, Nazaruddin Syamsuddin, Mulyana W Kusumah. Secara definitif,
korupsi merupakan perbuatan yang dilakukan setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dengan cara menyalahgunakan kewenangan/kesempatan/ sarana yang ada padanya karena jabatan/kedudukan dan dapat merugikan keuangan/perekonomian negara. 

Kita berprasangka baik, mungkin para intelektual atau aktivis ini tidak bermaksud korupsi, tapi mereka terperangkap dalam jeratan birokrasi yang koruptif. Mungkin mereka juga tidak ada maksud untuk memperkaya diri sendiri, tetapi karena kebijakan yang diambilnya berakibat pada kerugian negara dan memperkaya orang lain atau korporasi yang bermitra dengan mereka. Apa pun sebabnya, kasus yang menimpa mereka menjadi bukti bahwa ada kesenjangan yang lebar antara dunia intelektual dan dunia praktis. 

Kesenjangan yang membuat para intelektual tidak memiliki pemahaman praktis. Bahkan seorang guru besar di bidang politik belum tentu bisa mengaplikasikan ilmunya secara baik dalam politik praktis. Kesenjangan inilah yang membuat mereka rentan dari jeratan birokrasi yang koruptif.

Pelajaran Berharga 

Kasus yang menimpa
AMM—juga para intelektual dan aktivis lain yang terjerat korupsi—menjadi pelajaran berharga bahwa untuk memasuki wilayah politik praktis tidak cukup hanya berbekal ilmu pengetahuan atau bahkan kemauan yang kuat. 

Setinggi-tingginya ilmu pengetahuan seseorang dan sekuat apa pun kemauan untuk memperbaiki keadaan, tetap akan sulit untuk menghindar dari jeratan budaya birokrasi yang koruptif. Untuk memasuki wilayah politik praktis, selain ilmu pengetahuan (wawasan yang luas), keinginan yang kuat, juga dibutuhkan integritas moral, ketelitian, dan kewaspadaan yang ekstra. Sudah banyak “orang baik-baik” masuk penjara karena tidak teliti dan tidak waspada.Ketelitian dibutuhkan agar jangan sampai ikut menyetujui kejahatan yang tidak diketahui. 

Dan kewaspadaan dibutuhkan karena dalam dunia politik praktis tidak sedikit lawan yang berupaya menjerumuskan. Mungkin saja, apa yang terjadi pada para intelektual dan aktivis yang masuk penjara karena kasus korupsi bukan karena faktor kesengajaan, apalagi keserakahan seperti umumnya para koruptor. 

Mungkin juga bukan karena faktor wawasan dan integritas moral, tapi lebih karena kurang ketelitian atau kurang kewaspadaan. Wallahu a’lam. Yang pasti, sekali lagi, semua ini memberi kita pelajaran yang sangat berharga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar