Sabtu, 01 Desember 2012

Oligopoli Media dan Masa Depan Demokrasi


Oligopoli Media dan Masa Depan Demokrasi
Ardinanda S ; Aktivis dan Peneliti Indonesia Media Watch (IMW)
SINAR HARAPAN, 30 November 2012


Dominasi adalah awal hegemoni. –Antonio Gramsci
Dalam satu pertemuan tertutup dengan salah satu pemimpin grup media televisi, teman saya sempat bertanya, “Itu iklan salah satu partai politik yang sering muncul di televisi Anda, berita atau iklan yang seolah-olah dibuat menjadi berita?” Dengan pertanyaan polos ala mahasiswa semester awal sontak para hadirin tertawa dalam ruangan tersebut.

Bagi saya pertanyaan itu menyiratkan pesan mendalam dan kegelisahan publik terhadap kualitas media televisi kita hari ini terutama irisan kepentingan pemilik media dan isi pemberitaan yang dalam persepsi publik tidak ada hubungannya dengan kepentingan publik, tetapi menyiarkannya lewat frekuensi milik publik.

Di era yang bertransformasi menjadi The Age of Media Society saat ini, peran media massa tidak saja menjadi ikon penanda kemajuan zaman, tetapi media massa juga adalah penjaga roh demokratisasi agar tetap berpedoman pada pemenuhan hak-hak warga negara.

Film James Bond, Tomorrow Never Dies, sebetulnya telah memberikan gambaran bagi publik bagaimana bahayanya bila media telah memonopoli kebenaran, memengaruhi publik hingga mencoba mendominasi informasi.
Di awal film, diceritakan Cerver-Raja media yang memiliki sejumlah media massa dengan kekuasaannya mampu meletupkan sebuah isu sehingga menjadi besar dan mampu menjatuhkan pemerintahan dengan sebuah berita.

Meski hanya cerita film, ada baiknya cerita tersebut direfleksikan dalam konteks kepemilikan media di Indonesia terutama terjadinya konglomeratisasi serta pemusatan kepemilikan yang mengarah pada oligopoli oleh segelintir kelompok tertentu yang tidak jarang berafiliasi dengan partai politik.

Berdasarkan penelitian Nugroho (2012) di Indonesia terdapat dua belas grup media yang mengontrol hampir semua saluran media massa Indonesia, termasuk media penyiaran, media cetak, dan media online.

Mereka adalah MNC Group, Kompas Gramedia Group, Elang Mahkota Teknologi, Visi Media Asia, Jawa Pos Group, Mahaka Media, CT Group, Beritasatu Media Holdings, Media Group, MRA Media, Femina Group, dan Tempo Inti Media.

Grup MNC memiliki tiga saluran televisi gratis, merupakan yang terbesar dimiliki dari grup media lainnya, dengan jaringan 14 televisi lokal dan 22 jaringan radio di bawah anak perusahaan Sindo Radio, serta koran harian Seputar Indonesia. 
Grup Jawa Pos memiliki 171 perusahaan media cetak termasuk grup Radar.
Sementara itu, Kompas yang terkenal salah satu surat kabar berpengaruh di Tanah Air telah mengembangkan jaringannya ke penyedia konten televisi dengan mendirikan KompasTV, di samping 12 saluran radio di bawah anak perusahaan Sonora Radio Network, dan 89 perusahaan media cetak lainnya termasuk grup Tribun yang terdiri dari 27 jaringan surat kabar.

Visi Media Asia berkembang menjadi dua saluran televisi teristerial (ANTV dan tvOne) serta media online vivanews.com.

Dalam penelitian tersebut disimpulkan oligopoli media yang terjadi selama ini telah membahayakan hak warga terhadap informasi karena industri media telah berorientasi mencari laba dan perusahaan media dapat “dibentuk” atau diintervensi oleh kepentingan pemiliknya serta sangat bermanfaat bagi orang-orang yang mencari kekuasaan (politik).

Kasus ini terutama terjadi pada sejumlah pemilik media yang juga terafiliasi dengan dunia politik. Contohnya yaitu Visi Media Asia atau Viva Group yang dikendalikan oleh keluarga Aburizal Bakrie (Ketua Umum Partai Golongan Karya), dan grup MNC (dimiliki Hary Tanoesoedibjo) dan Media Group (dimiliki Surya Paloh) yang bersama-sama bergabung di Partai Nasional Demokrat. Ada persepsi yang terus berkembang para pemilik media tersebut menggunakan medianya sebagai alat kampanye untuk memengaruhi opini publik dan pada saat yang bersamaan mengambil keuntungan bisnis dari hal tersebut.

Hanya Pajangan

Akhirnya semangat agar terjadinya demokratisasi penyiaran dengan prinsip diversity of content dan diversity of ownership hanya menjadi pajangan indah dalam perundang-undangan akibat tidak jelasnya mekanisme yang mengatur.
Ke depan dalam revisi RUU (Rancangan Undang-Undang) Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 yang sedang disusun DPR yang sebelumnya sudah disetujui sebagai inisiatif dari Komisi I DPR sudah saatnya tidak ada pasal karet yang kemudian dijadikan pembenaran akan terjadinya monopoli media.

Desakan dan kawalan dari publik, aktivis media, jurnalis progresif serta mahasiswa sangat mendesak dalam konteks demokratisasi penyiaran ini. Tidak saja dalam jangka pendek kita akan melaksanakan pesta demokrasi, Pemilu 2014, tetapi dalam jangka panjang, tentunya kita tak ingin demokrasi yang diperjuangkan selama ini lewat air mata, darah, dan nyawa banyak aktivis dibajak oleh pemilik modal yang sesukanya memonopoli informasi kepada warga negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar