Oligopoli
Media dan Masa Depan Demokrasi
Ardinanda S ; Aktivis dan Peneliti Indonesia Media Watch
(IMW)
|
SINAR
HARAPAN, 30 November 2012
Dominasi adalah awal hegemoni. –Antonio Gramsci
Dalam satu pertemuan tertutup dengan salah satu pemimpin grup
media televisi, teman saya sempat bertanya, “Itu iklan salah satu partai politik yang sering muncul di televisi Anda, berita atau iklan yang
seolah-olah dibuat menjadi berita?” Dengan pertanyaan polos ala mahasiswa
semester awal sontak para hadirin tertawa dalam ruangan tersebut.
Bagi saya pertanyaan itu menyiratkan pesan mendalam dan
kegelisahan publik terhadap kualitas media televisi kita hari ini terutama
irisan kepentingan pemilik media dan isi pemberitaan yang dalam persepsi
publik tidak ada hubungannya dengan kepentingan publik, tetapi menyiarkannya
lewat frekuensi milik publik.
Di era yang bertransformasi menjadi The Age of Media Society saat ini, peran media massa tidak saja
menjadi ikon penanda kemajuan zaman, tetapi media massa juga adalah penjaga
roh demokratisasi agar tetap berpedoman pada pemenuhan hak-hak warga negara.
Film James Bond, Tomorrow
Never Dies, sebetulnya telah memberikan gambaran bagi publik bagaimana bahayanya
bila media telah memonopoli kebenaran, memengaruhi publik hingga mencoba
mendominasi informasi.
Di awal film,
diceritakan Cerver-Raja media yang memiliki sejumlah media massa dengan
kekuasaannya mampu meletupkan sebuah isu sehingga menjadi besar dan mampu
menjatuhkan pemerintahan dengan sebuah berita.
Meski hanya cerita film, ada baiknya cerita tersebut
direfleksikan dalam konteks kepemilikan media di Indonesia terutama
terjadinya konglomeratisasi serta pemusatan kepemilikan yang mengarah pada
oligopoli oleh segelintir kelompok tertentu yang tidak jarang berafiliasi
dengan partai politik.
Berdasarkan penelitian Nugroho (2012) di Indonesia terdapat dua
belas grup media yang mengontrol hampir semua saluran media massa Indonesia,
termasuk media penyiaran, media cetak, dan media online.
Mereka adalah MNC Group, Kompas Gramedia Group, Elang Mahkota
Teknologi, Visi Media Asia, Jawa Pos Group, Mahaka Media, CT Group,
Beritasatu Media Holdings, Media Group, MRA Media, Femina Group, dan Tempo
Inti Media.
Grup MNC memiliki tiga saluran televisi gratis, merupakan yang
terbesar dimiliki dari grup media lainnya, dengan jaringan 14 televisi lokal
dan 22 jaringan radio di bawah anak perusahaan Sindo Radio, serta koran
harian Seputar Indonesia.
Grup Jawa Pos memiliki 171 perusahaan media cetak
termasuk grup Radar.
Sementara itu, Kompas yang terkenal salah satu surat kabar
berpengaruh di Tanah Air telah mengembangkan jaringannya ke penyedia konten
televisi dengan mendirikan KompasTV, di samping 12 saluran radio di bawah
anak perusahaan Sonora Radio Network, dan 89 perusahaan media cetak lainnya
termasuk grup Tribun yang terdiri dari 27 jaringan surat kabar.
Visi Media Asia berkembang menjadi dua saluran televisi
teristerial (ANTV dan tvOne) serta media online vivanews.com.
Dalam penelitian tersebut disimpulkan oligopoli media yang
terjadi selama ini telah membahayakan hak warga terhadap informasi karena
industri media telah berorientasi mencari laba dan perusahaan media dapat “dibentuk” atau diintervensi oleh kepentingan pemiliknya
serta sangat bermanfaat bagi orang-orang yang mencari kekuasaan (politik).
Kasus ini terutama terjadi pada sejumlah pemilik media yang juga
terafiliasi dengan dunia politik. Contohnya yaitu Visi Media Asia atau Viva
Group yang dikendalikan oleh keluarga Aburizal Bakrie (Ketua Umum Partai
Golongan Karya), dan grup MNC (dimiliki Hary Tanoesoedibjo) dan Media Group
(dimiliki Surya Paloh) yang bersama-sama bergabung di Partai Nasional
Demokrat. Ada persepsi yang terus berkembang para pemilik media tersebut
menggunakan medianya sebagai alat kampanye untuk memengaruhi opini publik dan
pada saat yang bersamaan mengambil keuntungan bisnis dari hal tersebut.
Hanya Pajangan
Akhirnya semangat agar terjadinya demokratisasi penyiaran dengan
prinsip diversity of content dan diversity
of ownership hanya menjadi pajangan indah dalam perundang-undangan akibat
tidak jelasnya mekanisme yang mengatur.
Ke depan dalam revisi RUU (Rancangan Undang-Undang) Penyiaran
Nomor 32 Tahun 2002 yang sedang disusun DPR yang sebelumnya sudah disetujui
sebagai inisiatif dari Komisi I DPR sudah saatnya tidak ada pasal karet yang
kemudian dijadikan pembenaran akan terjadinya monopoli media.
Desakan dan kawalan dari publik, aktivis media, jurnalis
progresif serta mahasiswa sangat mendesak dalam konteks demokratisasi
penyiaran ini. Tidak saja dalam jangka pendek kita akan melaksanakan pesta
demokrasi, Pemilu 2014, tetapi dalam jangka panjang, tentunya kita tak ingin
demokrasi yang diperjuangkan selama ini lewat air mata, darah, dan nyawa banyak
aktivis dibajak oleh pemilik modal yang sesukanya memonopoli informasi kepada
warga negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar