Sabtu, 01 Desember 2012

Beda Anak di Luar Nikah dan Anak Zina


Beda Anak di Luar Nikah dan Anak Zina
Chatib Rasyid ; Ketua Pengadilan Tinggi Agama, Jawa Tengah
SUARA KARYA, 30 November 2012


Mahkamah Konstitusi (MK) membuat putusan cukup mengejutkan banyak pihak pada Februari tahun ini. Yakni, dikeluarkannya Pu-tusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012, terkait kedudukan hukum bagi anak luar kawin. Putusan itu lantas mengundang pro dan kontra, baik dari kalangan praktisi hukum, akademisi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Majelis Ulama Indonesia (MUI), bahkan masyarakat.
Putusan MK mengenai pengakuan anak di luar perkawinan walaupun melegakan sejumlah pihak, tetapi akan ada permasalahan baru yang timbul dari putusan MK tersebut. Ada beberapa hal yang patut menjadi catatan. Pertama, persoalan status anak yang lahir di luar perkawinan (kasus Machica Mochtar), bermuara pada masalah pernikahan yang tidak tercatat. Kedua, menyangkut kewenangan Pengadilan Agama.
Dalam perkawinan yang tidak tercatat, ada yang menyebut kawin di bawah tangan, kawin syar'i, kawin modin, dan kerap pula disebut kawin kyai. Perkawinan ini secara material telah memenuhi ketentuan syari'at sesuai maksud Pasal 2 (1) UU No 1 Tahun 1974 tetapi tidak memenuhi ketentuan ayat 2 pada pasal tersebut jo Pasal 10 ayat 3 PP No 9 Tahun 1975, yang tidak dicatat oleh PPN. Sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum karena tidak memiliki bukti-bukti perkawinan yang sah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Meskipun demikian, dalam Pasal 5 ayat (1) KHI terdapat informasi implisit bahwa pencatatan perkawinan bukan sebagai syarat sah perkawinan, tetapi sebagai alat untuk menciptakan ketertiban perkawinan. Oleh karena itu, dalam Pasal 7 ayat (3) KHI diatur mengenai itsbat nikah bagi perkawinan tidak tercatat. Dengan kata lain, perkawinan tidak tercatat adalah sah.
Sebuah perkawinan yang tidak tercatat akan menghilangkan hak istri untuk menuntut secara hukum. Dengan kata lain, wanita tidak mendapat perlindungan hukum. Permasalahannya, jika perkawinan harus tercatat maka kaum pria merasa keberatan terutama pria yang sudah memiliki isteri, karena untuk poligami prosedurnya dianggap terlalu memberatkan. Sebaliknya bagi kaum wanita perkawinan tidak tercatat bukan saja merugikan yaitu tidak memiliki hak menuntut harta gono gini, juga akan kehilangan hak-haknya untuk menuntut kewajiban suami. Kondisi ini dianggap dilematis, di satu pihak keharusan pencatatan perkawinan memberatkan kaum pria, di lain pihak perkawinan tidak tercatat merugikan kaum wanita dan anak.
Kenyataan yang ada di masyarakat luas, anak Indonesia terdapat tiga macam status kelahirannya. Yaitu anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah, anak yang lahir di luar perkawinan, anak yang lahir tanpa perkawinan (anak hasil zina). Anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah, ini bukan merupakan titik pembahasan, kecuali dua macam anak yang akan diuraikan dibawah ini.
Anak yang lahir di luar perkawinan, adalah anak yang lahir dari perkawinan yang dilakukan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya. maka perkawinan yang demikian "sah" dalam perspektif fikih Islam sepanjang memenuhi syarat dan rukun perkawinan, yaitu sah secara materiil, namun karena tidak tercatat baik di KUA maupun di Kantor Capil, maka tidak sah secara formil.
Disebut luar perkawinan, karena perkawinan itu dilakukan di luar prosedur pada Pasal 2 UU No 1 Tahun 1974 dan tidak sama "luar perkawinan" dengan perzinaan. Analogi sederhana, saya tidur di luar rumah, artinya rumahnya ada tetapi saya tidur di luarnya, tetapi kalau saya tidur tanpa rumah, berarti rumahnya tidak ada. Oleh karena itu jika disebut "perkawinan" sudah pasti perkawinan itu sudah dilakukan minimal sesuai dengan Pasal 2 (1) UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, itulah yang disebut "luar perkawinan", sedangkan perzinahan sama sekali tidak tersentuh dengan term "perkawinan".
Anak yang lahir tanpa perkawinan, adalah anak yang dilahirkan dari hubungan antara pria dengan wanita tanpa ada ikatan perkawinan. Hal yang sama juga anak yang lahir atas pertemuan ovum dengan sperma dari pasangan suami istri yang menikah secara sah tetapi dalam masa kandungan dititipkan kepada rahim selain ibunya yang sah. Anak yang lahir demikian tidak sah secara materiil juga tidak sah secara formil. Pembahasan "anak sah" ditinjau dari undang-undang dapat dilihat dari beberapa ketentuan. Antara lain Pasal 28-B ayat 1 Undang-undang Dasar Tahun 1945 berbunyi: "Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah". Kata-kata "melanjutkan keturunan" apapun pengertian pasti terjemahan konkritnya adalah "anak" yakni kehadirannya melalui pertemuan antara ovum dan spermatozoa baik berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan, yang keberadaannya harus dilakukan melalui perkawinan yang sah. Hal ini dipertegas dengan Pasal 42 UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang berbunyi: "anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah".
Pasal ini tidak termasuk yang dilakukan uji materiil oleh MK, oleh karena itu keberadaannya masih eksis dan keberlakuannya masih harus dipedomani, jika menurut putusan MK memandang tidak tepat jika menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena lembaga seksual di luar perkawinan, hanya memiliki hubungan dengan ibunya, itu sudah benar tetapi tidak dapat melepaskan diri dari Pasal 28-B ayat 1 UUD 1945 dan Pasal 42 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974.
Oleh karena putusan MK tersebut tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan pasal-pasal tersebut diatas, maka kata-kata anak diluar perkawinan tidak dapat dikatakan anak hasil perzinahan, karena anak hasil perzinahan bertentangan dengan kedua pasal tersebut.

1 komentar:

  1. KABAR BAIK!!!

    Nama saya Lady Mia, saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman agar sangat berhati-hati, karena ada penipuan di mana-mana, mereka akan mengirim dokumen perjanjian palsu kepada Anda dan mereka akan mengatakan tidak ada pembayaran di muka, tetapi mereka adalah penipu , karena mereka kemudian akan meminta pembayaran biaya lisensi dan biaya transfer, jadi berhati-hatilah terhadap Perusahaan Pinjaman yang curang itu.

    Perusahaan pinjaman yang nyata dan sah, tidak akan menuntut pembayaran konstan dan mereka tidak akan menunda pemrosesan transfer pinjaman, jadi harap bijak.

    Beberapa bulan yang lalu saya tegang secara finansial dan putus asa, saya telah ditipu oleh beberapa pemberi pinjaman online, saya hampir kehilangan harapan sampai Tuhan menggunakan teman saya yang merujuk saya ke pemberi pinjaman yang sangat andal bernama Ms. Cynthia, yang meminjamkan saya pinjaman tanpa jaminan sebesar Rp800,000,000 (800 juta) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa konstan pembayaran atau tekanan dan tingkat bunga hanya 2%.

    Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah yang saya terapkan dikirim langsung ke rekening bank saya tanpa penundaan.

    Karena saya berjanji bahwa saya akan membagikan kabar baik jika dia membantu saya dengan pinjaman, sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman dengan mudah tanpa stres atau penipuan

    Jadi, jika Anda memerlukan pinjaman apa pun, silakan hubungi dia melalui email nyata: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com dan atas karunia Allah, ia tidak akan pernah mengecewakan Anda dalam mendapatkan pinjaman jika Anda mematuhi perintahnya.

    Anda juga dapat menghubungi saya di email saya: ladymia383@gmail.com dan Sety yang memperkenalkan dan memberi tahu saya tentang Ibu Cynthia, ini emailnya: arissetymin@gmail.com

    Yang akan saya lakukan adalah mencoba untuk memenuhi pembayaran cicilan pinjaman saya yang akan saya kirim langsung ke rekening perusahaan setiap bulan.

    Sepatah kata cukup untuk orang bijak.

    BalasHapus