Sabtu, 01 Desember 2012

Amanah atau Kompromi Politis?


Amanah atau Kompromi Politis?
Henri Shalahuddin ; Peneliti MIUMI
REPUBLIKA, 30 November 2012


Pada 27 November 2012, Republika memuat artikel Haidar Bagir yang berjudul "Proporsional Menyikapi Fatwa". Pada intinya, Haidar menganggap bahwa tulisan KH Dr Ma'ruf Amin yang memperkuat fatwa MUI Sampang dan MUI Jatim kurang tepat. Anggapan Haidar ini didasarkan karena fatwa MUI Jatim menyatakan Syiah sebagai aliran sesat seharusnya dibatasi pada kasus Sampang, bukan semua Syiah.

Haidar menyebutkan bahwa mainstream Syiah mengharuskan bersikap hormat terhadap sahabat Nabi. Bahkan, untuk meyakinkan klaimnya ini, ia menyatakan, "Sekadar ilustrasi, dalam buku-buku yang ditulis para ulama Syiah, kita tak dapat menemui periwayatan peristiwa al-ifk yang melibatkan dakwaan perselingkuhan kepada Siti Aisyah." Benarkah demikian?

Artikel ini bermaksud menguraikan pandangan beberapa ulama Syiah terkemuka tentang istri-istri dan sahabat Nabi yang terabadikan dalam kitab-kitab Syiah. Dengan demikian, diharapkan artikel ini bisa membantu memahami ajaran Syiah dari sisi yang lebih lengkap, tanpa harus memutuskan hal-hal yang bersifat muamalah.

Berkenaan dengan hadis al-ifk atau peristiwa dusta yang dituduhkan kaum munafik terhadap Aisyah ra, tidak sedikit kitab ulama Syiah mu'tabar yang membenarkan tuduhan tersebut. Di antaranya adalah sebagai berikut: 1) Ali bin Ibrahim al-Qummi dalam karyanya, Tafsir al-Qummi, menyebutkan bahwa maksud kata "khianat" dalam QS 66: 10 adalah perbuatan zina dan keharusan ditegakkan hukuman kepada fulanah (Aisyah) yang berselingkuh dengan fulan dalam suatu perjalanan. (Darul Kutub, Qum Iran, vol II, 1387H, hal 377). 2)
Syeikh `Ali al-'Amili al-Bayadhi, penulis kitab Shirat al-Mustaqim ila Mustaqqi l-Taqdim, melabeli istri Nabi dalam satu pasal dengan sebutan Ummu l-Syurur (ibu kejahatan) terkait dengan peristiwa Jamal.

Banyak di kalangan ulama Syiah terkemuka yang berpendapat bahwa melaknat dan menista para sahabat Nabi diyakini sebagai ibadah dan salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Pelaknatan ini sering dibaca setiap selesai shalat wajib (lihat: Imam al-Kulaini, al-Kafi, vol III, hal 194, Muhammad al-Tuursiirkani, Kitab La-aliul Akhbar, vol IV, hal 92). Bahkan, doa dan wirid yang berisikan laknat terhadap sahabat diyakini lebih utama daripada bershalawat atas Nabi, mengucapkan, dan menjawab salam. (Kitab Majma' al-Nuraini wa Multaqa l-Bahraini, vol II, hal 292).

Maka, tidak aneh jika di antara mereka menulis satu kitab khusus untuk menista Umar, mertua Nabi, dan menantu Ali dengan tema "Iqdu l-Durari fi Idkhal al-surur `ala binti sayyidil Basyar". Namun, penulisnya seperti dikatakan dalam mukadimah kitab, lebih suka menyebut kitabnya dengan "Iqdu l-Durari fi Baqri Bathni `Umar (Kalung Permata tentang Mutilasi Perut Umar)".

Sebagai bentuk takarub, tidak sedikit kitab Syiah yang mengemas pelaknatan sahabat dalam bentuk doa. Salah satunya adalah doa dua berhala Quraisy dalam kitab al-Misbah yang ditulis oleh Syekh al-Kaf'ami. Doa yang ditujukan melaknat Abu Bakar dan Umar ini diyakini memiliki derajat yang tinggi dan merupakan zikir yang mulia. Bahkan, disebutkan pahalanya, seperti para pemanah yang menyertai Nabi pada perang Badar dan Hunain dengan satu juta anak panah. Sebelum melantunkan doa, dianjurkan memukul paha kanan tiga kali dan mengucapkan, "Ya Maulaya, Ya Sahibazzaman", kemudian melafalkan doa dua berhala Quraisy.

(Darul Kutub al-'Ilmiyyah, al-Najaf al- Asyraf, cet II, 1349H: 552). Hal senada juga diamini oleh Syekh Muhammad Baqir al-Majlisi dalam karyanya Bihar al-Anwar. (Vol 50, cet III, 1983: 316).

Penistaan terhadap sahabat juga dilakukan oleh Ni'matullah Jazairi dalam al-Anwar al-Nu'maniyah. Dia menuduh Abu Bakar ra berbuat syirik dengan memakai kalung berhala saat shalat di belakang Nabi dan bersujud untuknya (vol I, hal 53). Sementara itu, dalam kitab Ilzaam al-Naashib Fii Itsbaatil-Hujjah al- Ghaaib, Abu Bakar dan Umar disebut sebagai Firaun dan Haman (Vol II hal 231). Dan, masih banyak lagi kitab Syiah yang menjadi saksi atas ritual menista para sahabat ini. Dengan perkembangan teknologi informasi, semuanya bisa diperoleh melalui internet, termasuk kitab-kitab versi PDF yang ditulis oleh ulama Syiah atau berbagai buku yang berkenaan dengannya, semisal Ulama al- Syi'ah Yaqulun.

Memang diperlukan kehati-hatian dalam menyikapi aliran Syiah yang telah eksis berabad-abad ini. Terlebih lagi, aliran Syiah tidak tunggal, tetapi terpecah dalam sekte-sekte. Salah satunya adalah rafidhah yang jelas penyimpangannya.
Menurut Ibnu Tai miy yah dalam Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah, sekte Syiah yang tergolong rafidhah adalah Syiah Itsna `Asyriyah dan Isma `iliyyah.

Penyebutan rafidhah karena mereka menolak pernyataan Imam Zaid bin Ali yang tetap memuliakan Abu Bakar dan Umar ketika beliau diminta untuk menista keduanya. Maka, berdasarkan peristiwa itu, Ahlus sunnah, Syiah Zai- diyyah dan Ibadhiyah menyematkan lebel ini untuk Syiah Itsna `Asyriyah dan Isma `iliyyah. (Vol I, hal 35). Maka, jika demikian halnya, fatwa MUI Jatim ini bisa disebut on the right track. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar