Selasa, 18 Desember 2012

Nasib Buruh di Pusaran Pasar Kerja


Laporan Akhir Tahun Bidang Ekonomi
Nasib Buruh di Pusaran Pasar Kerja
KOMPAS, 18 Desember 2012



Unjuk rasa ribuan buruh sukses menekan pemerintah membatasi sistem alih daya dan menetapkan upah minimum provinsi tahun 2013 di atas angka kebutuhan hidup layak. Buruh bagai melihat secercah harapan. Namun, di sisi lain, pengusaha malah merasa mendengar lonceng kebangkrutan.
Kesejahteraan buruh memang menjadi persoalan utama kita sejak krisis ekonomi tahun 1999. Krisis keuangan yang dahsyat kala itu mengakibatkan banyak perusahaan kolaps sehingga memicu pengangguran besar-besaran. Sejak krisis itu, pasar kerja kita menjadi sangat kaku dengan porsi angkatan kerja sektor informal lebih besar dari formal. Artinya, lebih banyak orang yang bekerja mandiri dengan perlindungan sosial yang minim daripada bekerja di sektor formal yang terjamin.
Hampir 13 tahun dari krisis, struktur pasar kerja kita masih belum banyak berubah. Dari 118 juta angkatan kerja pada Agustus 2012, 44,2 juta orang (39,86 persen) bekerja di sektor formal dan 66,6 juta orang (60,14 persen) di sektor informal.
Bagaimana mungkin negara dengan kekuatan ekonomi nomor 16 dunia dari sisi produk domestik bruto ternyata 66,6 juta orang bekerja di sektor informal tanpa jaminan kesehatan, jaminan hari tua, jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, dan yang terpenting jaminan pekerjaan?
Arus investasi memang mengalir masuk berkat sumber daya alam tambang, agribisnis, sektor jasa, dan daya tarik pasar domestik Indonesia yang menggiurkan. Namun, investasi baru belum mampu menciptakan lapangan kerja berkualitas yang bisa menyerap 7,2 juta penganggur terbuka.
Elastisitas pertumbuhan ekonomi dalam menyerap tenaga kerja pun menurun. Asumsi 1 persen pertumbuhan ekonomi bisa menyerap 350.000-400.000 tenaga kerja sulit dicapai. Bahkan, 1 persen pertumbuhan ekonomi tahun ini hanya menyerap sekitar 200.000 pekerja.
Padahal, sedikitnya 2,5 juta pencari kerja baru memasuki pasar kerja setiap tahun. Ketimpangan pasokan dan permintaan di pasar kerja ini pun akhirnya menekan daya tawar buruh.
Akumulasi Persoalan
Unjuk rasa ribuan buruh yang beberapa kali terjadi sebenarnya merupakan akumulasi persoalan yang terabaikan bertahun-tahun. Daya tawar yang rendah membuat jutaan buruh masuk ke pasar kerja dengan upah minimum provinsi (UMP) di bawah angka kebutuhan hidup layak. Mereka harus mampu menyiasati keterbatasan hidup karena 40 persen dari upah habis untuk kontrak dan ongkos ke tempat kerja.
Nasib buruh kian tertekan setelah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengizinkan sistem kerja alih daya. Tuntutan daya saing demi persaingan di pasar global membuat persaingan pekerja di pasar kerja pun meningkat. Pemerintah yang semestinya mengatur sistem alih daya dalam regulasi turunan Undang-Undang Ketenagakerjaan tak menjalankan sepenuhnya. Ada pandangan, pengusahalah yang lebih berhak menafsirkan alur proses pelaksanaan pekerjaan sebagai kegiatan penunjang yang bisa diborongkan kepada pihak lain.
Pengawasan ketenagakerjaan yang lemah membuat sistem alih daya yang eksploitatif meluas. Bahkan, pengusaha nakal dengan alasan demi daya saing menyerahkan pekerjaan kepada pihak ketiga daripada merekrut lebih banyak buruh tetap.
Eksploitasi buruh alih daya semakin menjadi-jadi setelah pegawai dinas ketenagakerjaan, anggota DPRD, pengurus organisasi masyarakat, pengurus serikat buruh, dan perangkat desa pun turut mendirikan perusahaan pengerah jasa tenaga alih daya. Mereka memakai koneksi dan pengaruh politik untuk bisa menempatkan buruh alih daya di sejumlah pabrik dan mengambil keuntungan eksploitatif.
Pengusaha jasa alih daya abal- abal ini mengambil keuntungan dua kali. Pertama, dari komisi penyaluran buruh alih daya kepada pengusaha dan dengan enteng memotong hak normatif yang seharusnya utuh diterima buruh.
Keberpihakan Kebijakan
Buruh berharap, keberpihakan kebijakan pemerintah kali ini bisa menyejahterakan mereka. Sementara kalangan pengusaha melihat kebijakan ini membuat aturan ketenagakerjaan semakin kaku dan mengancam kelangsungan dunia usaha, terutama sektor padat karya dan usaha kecil menengah (UKM).
Pengusaha, terutama industri padat karya, resah dengan kenaikan drastis UMP tahun 2013 dan pelarangan bisnis penyaluran jasa tenaga alih daya selain jasa kebersihan, katering, keamanan, angkutan buruh, dan penunjang pertambangan migas.
Pengusaha pun menghitung ulang rencana bisnis. Memang benar ada investasi baru. Namun, pemerintah harus tetap memperhatikan kesinambungan industri yang sudah berjalan, terutama industri padat karya.
Bayangkan, investasi pabrik ban Rp 4,5 triliun hanya menyerap 3.000 buruh. Dengan nilai investasi yang sama, pabrik sepatu menyerap 45.000 buruh langsung dan 180.000 buruh tidak langsung. Harus ada terobosan serius agar buruh bisa sejahtera dan pencari kerja lebih mudah mencari pekerjaan pada 2013. (hamzirwan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar