Nalar
Kebinekaan Indonesia
Joko Wahyono ; Peneliti di Center forIndonesian Political
Studies (CIPS) Yogyakarta
|
SUARA
KARYA, 14 Desember 2012
Dua gejala amat
mencolok yang merepresentasikan kondisi sosial politik Indonesia belakangan
ini adalah konflik politik (political conflict) dan kekerasan kolektif
(political violence). Kita bisa melihat kisruh elite politik, di mana sudah
menjurus pada rivalitas personal dan gesekan institusional. 'Perang dingin'
antara Menteri BUMN, Dahlan Iskan dengan jajaran anggota dewan, baru-baru ini
telah meng-konfirmasi itu. Keduanya saling beradu argumentasi dan perang
pernyataan memperebutkan kebenaran terkait indikasi dugaan praktik pemerasan
terhadap BUMN yang dilakukan oleh oknum politisi di Senayan.
Kenyataan itu seakan
mengilhami gejala yang ada di masyarakat grass root tingkat bawah. Hampir
bersamaan, konflik kembali terjadi di Desa Sidoreno, Waypanji, Lampung
Selatan. Konflik yang semula dipicu oleh masalah sepele itu secara singkat
berkembang menjadi kekerasan kolektif antar-etnis. Meski motif, basis dan
latar belakang konflik antara elite di tingkat atas dan masyarakat tingkat
bawah berbeda. Namun, entah mengapa bangsa yang notabene dikenal ramah ini
bisa seketika begitu mudah tersulut api kemarahan, kebencian dan kegeraman
yang memicu konflik.
Di tengah kemelut
krisis, perjuangan bangsa ini justru tampak dikelola dengan cara-cara penuh
emosional. Ego sektoral dan amarah dikedepankan daripada berpikir rasional
dialogis. Datangnya informasi kerap diterima secara taken for granted dan
sebagai kebenaran mutlak 'pembenar' bagi tindakan agresif tanpa mempedulikan
kepentingan orang lain. Perilaku ini meniadakan kebebasan berfikir dan
peluang untuk menalar bahwa bangsa ini dibangun atas dasar kebhinekaan.
Begitu pula kultur dominan bagi demokrasi adalah menghargai keberagaman,
kompromi, sikap moderat dan hak-hak individu (Almond dan Verba, 1963).
Sementara, konflik yang terjadi akan memudarkan nilai dan arti kebhinekaan
itu sendiri.
Konflik di tingkat
elite maupun akar rumput tersebut merupakan fakta tak terbantahkan betapa
memelihara kebhinekaan lebih mudah diucapkan daripada diwujudkan. Kebhinekaan
sebagai pilar utama bangsa mendapat hambatan serius. Hambatan ini lahir dari
tatanan masyarakat kita yang masuk kategori centrifugal democracy. (Arend
Lijphart, 1999) Sebuah kondisi di mana ranah politik sangat kompetitif dengan
masyarakat yang terfragmentasi oleh beragam isu dan kepentingan. Hampir tidak
ada musuh bersama (common enemy) yang harus dikawal secara simultan oleh
seluruh bangsa. Kondisi ini disadari atau tidak telah menyuburkan perilaku
individualis, egois, superior, hipokritis, tribalisme, chauvinis, ekstrimis
dan dominatif.
Semua ini mewujud
menjadi sikap personal maupun pilihan komunal yang membisukan nalar
kebhinekaan, memakzulkan segala pertimbangan aturan dan hak-hak individual.
Di ranah politik, seseorang tidak lagi dipandang sebagai satu pribadi dengan
beragam afiliasi. Tidak pula dilihat sebagai orang yang menjadi bagian dari
berbagai kelompok yang berbeda-beda. Melainkan, sebagai bagian dari
kolektivitas tertentu dengan lekatan identitas tertentu pula. Apalagi,
ditambah situasi politik yang kompetitif. Semangat 'bermusuhan' antar-elite
politik untuk berebut kekuasaan lebih tampak nyata. Dari sini niscaya lahir
sistem-sistem nilai yang mendisosiasikan seseorang ke dalam 'kawan' dan
'lawan', selain budaya patronase (patron-client).
Inilah yang melandasi
maraknya praktik politik antagonistik, brutal dan penuh dendam. Ketegangan
dan konflik politik terjadi akibat dari kerancuan konseptual mendasar ketika
memahami identitas manusia. Definisi manusia sebagai makhluk multidimensi
diubah menjadi makhluk satu dimensi. Padahal, bangunan identitas manusia
terbentuk dari kondisi eksistensialnya, yakni latar budaya, agama, suku, ras,
bahasa dan lain sebagainya yang beragam, unik dan khas. Namun, heterogenitas
ini justru menjadi salah satu faktor pemicu kerawanan sosial, konflik dan
kekerasan kolektif. Kekuataan kebhinekaan yang menjadi platform kesepakatan
untuk hidup bersama dalam satu institusi negara kesatuan tergerus oleh
konflik horizontal. Kerancuan dalam menalar dan megejawantahkan hakikat
kebhinekaan justru mengancam rajutan kebersamaan dan kedamaian bangsa.
Keberadaan bangsa ini
adalah produk dari kontrak sosial (social contract) yang disahkan berdasarkan
prinsip kebhinekaan dan kesatuan. Keragaman identitas manusia dengan segenap
cipta, karsa dan rasa yang berbeda-beda sebagai manifestasi kebhinekaan
adalah kearifan horisontal insani. Untuk itu, segala bentuk keragaman dan
perbedaan tersebut harus mendapat pengakuan sebagai hak untuk dihormati dan
dihargai dengan penuh ketulusan. Setiap individu di negeri ini memiliki
kesempatan yang sama untuk merealisasikan gagasan, cara pandang, pilihan atau
preferensi apa yang diyakini secara luas karena kesederajatan meski terdapat
perbedaan.
Tidak ada demarkasi
antara mayoritas-minoritas, superioritas-inferioritas atau
dominasi-subordinasi. Pasalnya, kebhinekaan adalah sesuatu yang esensial
menjiwai demokrasi. Tanpa kebhinekaan, interaksi dalam sistem politik sepi
dari partisipasi.
Demikian pula, praktik
politik yang penuh 'permusuhan' harus diubah menjadi lebih etik komunitarian
yang menekankan kerja sama, penuh solidaritas dan saling menghormati
perbedaan. Kini saatnya, segenap elemen bangsa kembali menyemai kesetiaan dan
kesamaan gerak untuk merawat cita-cita kedamaian yang lebih substansial.
Meski masyarakat di negeri ini terajut oleh manusia dari beragam suku, ras,
agama, budaya yang berbeda, namun cara-cara penuh kedamaian menjadi pilihan
elegan untuk menyelesaikan persoalan bangsa.
Di sinilah kedewasaan
nalar terhadap kebhinekaan ke-Indonesiaan menjadi modal utama. Begitu pula
kehadiran kepemimpinan yang efektif, punya karakter ketegasan dan kejelasan
untuk menggelar dan mewujudkan kompromi kebhinekaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar