Sabtu, 15 Desember 2012

Nalar Kebinekaan Indonesia


Nalar Kebinekaan Indonesia
Joko Wahyono ;  Peneliti di Center forIndonesian Political Studies (CIPS) Yogyakarta
SUARA KARYA, 14 Desember 2012

Dua gejala amat mencolok yang merepresentasikan kondisi sosial politik Indonesia belakangan ini adalah konflik politik (political conflict) dan kekerasan kolektif (political violence). Kita bisa melihat kisruh elite politik, di mana sudah menjurus pada rivalitas personal dan gesekan institusional. 'Perang dingin' antara Menteri BUMN, Dahlan Iskan dengan jajaran anggota dewan, baru-baru ini telah meng-konfirmasi itu. Keduanya saling beradu argumentasi dan perang pernyataan memperebutkan kebenaran terkait indikasi dugaan praktik pemerasan terhadap BUMN yang dilakukan oleh oknum politisi di Senayan.
Kenyataan itu seakan mengilhami gejala yang ada di masyarakat grass root tingkat bawah. Hampir bersamaan, konflik kembali terjadi di Desa Sidoreno, Waypanji, Lampung Selatan. Konflik yang semula dipicu oleh masalah sepele itu secara singkat berkembang menjadi kekerasan kolektif antar-etnis. Meski motif, basis dan latar belakang konflik antara elite di tingkat atas dan masyarakat tingkat bawah berbeda. Namun, entah mengapa bangsa yang notabene dikenal ramah ini bisa seketika begitu mudah tersulut api kemarahan, kebencian dan kegeraman yang memicu konflik.
Di tengah kemelut krisis, perjuangan bangsa ini justru tampak dikelola dengan cara-cara penuh emosional. Ego sektoral dan amarah dikedepankan daripada berpikir rasional dialogis. Datangnya informasi kerap diterima secara taken for granted dan sebagai kebenaran mutlak 'pembenar' bagi tindakan agresif tanpa mempedulikan kepentingan orang lain. Perilaku ini meniadakan kebebasan berfikir dan peluang untuk menalar bahwa bangsa ini dibangun atas dasar kebhinekaan. Begitu pula kultur dominan bagi demokrasi adalah menghargai keberagaman, kompromi, sikap moderat dan hak-hak individu (Almond dan Verba, 1963). Sementara, konflik yang terjadi akan memudarkan nilai dan arti kebhinekaan itu sendiri.
Konflik di tingkat elite maupun akar rumput tersebut merupakan fakta tak terbantahkan betapa memelihara kebhinekaan lebih mudah diucapkan daripada diwujudkan. Kebhinekaan sebagai pilar utama bangsa mendapat hambatan serius. Hambatan ini lahir dari tatanan masyarakat kita yang masuk kategori centrifugal democracy. (Arend Lijphart, 1999) Sebuah kondisi di mana ranah politik sangat kompetitif dengan masyarakat yang terfragmentasi oleh beragam isu dan kepentingan. Hampir tidak ada musuh bersama (common enemy) yang harus dikawal secara simultan oleh seluruh bangsa. Kondisi ini disadari atau tidak telah menyuburkan perilaku individualis, egois, superior, hipokritis, tribalisme, chauvinis, ekstrimis dan dominatif.
Semua ini mewujud menjadi sikap personal maupun pilihan komunal yang membisukan nalar kebhinekaan, memakzulkan segala pertimbangan aturan dan hak-hak individual. Di ranah politik, seseorang tidak lagi dipandang sebagai satu pribadi dengan beragam afiliasi. Tidak pula dilihat sebagai orang yang menjadi bagian dari berbagai kelompok yang berbeda-beda. Melainkan, sebagai bagian dari kolektivitas tertentu dengan lekatan identitas tertentu pula. Apalagi, ditambah situasi politik yang kompetitif. Semangat 'bermusuhan' antar-elite politik untuk berebut kekuasaan lebih tampak nyata. Dari sini niscaya lahir sistem-sistem nilai yang mendisosiasikan seseorang ke dalam 'kawan' dan 'lawan', selain budaya patronase (patron-client).
Inilah yang melandasi maraknya praktik politik antagonistik, brutal dan penuh dendam. Ketegangan dan konflik politik terjadi akibat dari kerancuan konseptual mendasar ketika memahami identitas manusia. Definisi manusia sebagai makhluk multidimensi diubah menjadi makhluk satu dimensi. Padahal, bangunan identitas manusia terbentuk dari kondisi eksistensialnya, yakni latar budaya, agama, suku, ras, bahasa dan lain sebagainya yang beragam, unik dan khas. Namun, heterogenitas ini justru menjadi salah satu faktor pemicu kerawanan sosial, konflik dan kekerasan kolektif. Kekuataan kebhinekaan yang menjadi platform kesepakatan untuk hidup bersama dalam satu institusi negara kesatuan tergerus oleh konflik horizontal. Kerancuan dalam menalar dan megejawantahkan hakikat kebhinekaan justru mengancam rajutan kebersamaan dan kedamaian bangsa.
Keberadaan bangsa ini adalah produk dari kontrak sosial (social contract) yang disahkan berdasarkan prinsip kebhinekaan dan kesatuan. Keragaman identitas manusia dengan segenap cipta, karsa dan rasa yang berbeda-beda sebagai manifestasi kebhinekaan adalah kearifan horisontal insani. Untuk itu, segala bentuk keragaman dan perbedaan tersebut harus mendapat pengakuan sebagai hak untuk dihormati dan dihargai dengan penuh ketulusan. Setiap individu di negeri ini memiliki kesempatan yang sama untuk merealisasikan gagasan, cara pandang, pilihan atau preferensi apa yang diyakini secara luas karena kesederajatan meski terdapat perbedaan.
Tidak ada demarkasi antara mayoritas-minoritas, superioritas-inferioritas atau dominasi-subordinasi. Pasalnya, kebhinekaan adalah sesuatu yang esensial menjiwai demokrasi. Tanpa kebhinekaan, interaksi dalam sistem politik sepi dari partisipasi.
Demikian pula, praktik politik yang penuh 'permusuhan' harus diubah menjadi lebih etik komunitarian yang menekankan kerja sama, penuh solidaritas dan saling menghormati perbedaan. Kini saatnya, segenap elemen bangsa kembali menyemai kesetiaan dan kesamaan gerak untuk merawat cita-cita kedamaian yang lebih substansial. Meski masyarakat di negeri ini terajut oleh manusia dari beragam suku, ras, agama, budaya yang berbeda, namun cara-cara penuh kedamaian menjadi pilihan elegan untuk menyelesaikan persoalan bangsa.
Di sinilah kedewasaan nalar terhadap kebhinekaan ke-Indonesiaan menjadi modal utama. Begitu pula kehadiran kepemimpinan yang efektif, punya karakter ketegasan dan kejelasan untuk menggelar dan mewujudkan kompromi kebhinekaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar