Sabtu, 15 Desember 2012

Darurat Penyidik KPK


Darurat Penyidik KPK
Herie Purwanto ;  Dosen Fakultas Hukum Universitas Pekalongan (Unikal)
SUARA MERDEKA, 14 Desember 2012


KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini menghadapi persoalan serius terkait dengan penyusutan jumlah penyidik. Padahal bila diibaratkan  mesin, dan tanpa mengecilkan arti penting dari bagian lain di KPK, penyidik merupakan motor utama penggerak komisi antikorupsi itu. Penarikan atau kemunduran sejumlah penyidik akan berpengaruh secara signifikan dalam penanganan kasus.
Saat ini jumlah penyidik KPK tinggal 52 orang. Seandainya Polri terus menarik penyidik dari komisi itu, bisa dipastikan hingga Maret 2013 KPK tidak lagi memiliki penyidik dari unsur Polri. Padahal menurut Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, KPK tengah menangani 34 kasus dugaan kasus korupsi (Kompas, 07/12/12).

Mengingat kinerja penyidikan KPK juga bergantung pada jumlah penyidik (selain kualitas), secara kuantitas penyidik di lembaga itu saat ini sangat tidak ideal, dan kondisi itu bisa menghambat proses akselerasi pemberantasan korupsi. Namun, bila mendasarkan pada  aspek yuridis, pengamat Hukum Tata Negara Andi Irmanputra Sidin berpendapat bahwa sesungguhnya semua pimpinan KPK adalah penyidik.

Lima pimpinan KPK mempunyai otoritas penyidikan dan hanya membutuhkan staf pendukung, yaitu tim kerja dari para pegawai. Komisi tersebut tidak memerlukan penyidik khusus seperti dari kepolisian. Otoritas penyidikan bagi pimpinan KPK yang dalam memutuskan bersifat kolektif kolegial ini bisa lebih didorong lagi guna pemberdayaan penyidik internal KPK yang kini masih dalam tahap pendidikan. 

Semudah itukah proses pemberdayaan penyidik internal oleh KPK? Inilah yang menjadi persoalan karena untuk mencetak kompetensi penyidik tidak semudah membalik telapak tangan. 
Kompetensi penyidik bukan sekadar membekali mereka dengan kemampuan sebagai investigator, yang bisa diperoleh dalam waktu singkat melainkan juga membutuhkan sebuah proses.

Kemampuan profesional seorang penyidik tidak akan lahir secara tiba-tiba ketika ia selesai mengikuti pendidikan atau pelatihan. Kemampuan itu diperoleh dari pengalaman empiris bertahun-tahun. Lebih-lebih, penyidik KPK pasti akan dihadapkan pada saksi, tersangka, atau penasihat hukum yang memiliki kapabilitas penuh dalam bidang hukum. Karenanya, kondisi saat ini anggap saja masa transisi, dan terlepas pemerintah sudah menyetujui draf revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 63 Tahun 2005 tentang Sumber Daya Manusia di KPK menjadi PP Nomor 103 Tahun 2012, sebenarnya ada beberapa hal yang bisa dilakukan KPK, sebagai prioritas, kendati bersifat solusi jangka pendek.

Pertama; penyodoran 30 penyidik dari Mabes Polri yang pernah diajukan ke KPK dan hingga kini belum mendapat respons perlu segera dijawab. Mereka sudah melalui proses perekrutan sehingga secara kualitas mempunya kompetensi dan kecakapan menjadi penyidik komisi antikorupsi itu. Ketidakcepatan respons dari KPK dikhawatirkan bisa memunculkan disharmonisasi hubungan antara KPK dan  Polri. Pasalnya, pengajuan 30 penyidik Mabes Polri ke KPK merupakan proses yang selama ini sudah dilaksanakan dan tidak ada masalah.

Regulasi Baru

Bibit Samad Riyanto, mantan pimpinan KPK mengingatkan bahwa masalah penyidik harus dikomunikasikan sebagaimana apa yang berlaku selama ini. Penarikan penyidik juga sudah terjadi saat ia bertugas di KPK (SM,10/12/12). 

Pernyataan Bibit ini menjadi fakta yang harus diakui kebenarannya sebab selama ini, sebelum muncul kasus simulator kemudi roda dua dan empat (simulator SIM), proses keluar masuk penyidik KPK dari Mabes Polri menjadi hal biasa, bahkan nyaris tidak menjadi perhatian publik. Barulah pascakasus simulator SIM, keluarnya penyidik Mabes Polri sebagai penyidik KPK dikait-kaitkan dengan bagian dari upaya penggembosan terhadap KPK.
Kedua; komunikasi antara elite KPK dan Mabes Polri terkait penyidik KPK dari kepolisian, yang muncul dan terbaca oleh publik selama ini belum teraplikasikan dalam tataran pelaksanaan. Bahkan sepertinya masing-masing pihak terbawa ego kelembagaan berada dalam posisi yang benar. Karena itu, perlu mengupayakan percepatan mencari solusi jangka pendek mengatasi darurat jumlah penyidik KPK.

Sebagai solusi jangka menengah dan jangka panjang dalam mengatasi darurat penyidik KPK, pemerintah perlu membuat regulasi baru yang bisa menjawab kelemahan regulasi yang ada, yaitu PP Nomor 63 Tahun 2005 yang kemudian direvisi menjadi PP Nomor 103 Tahun 2012. 

Peraturan yang baru itu mengatur masa tugas penyidik KPK menjadi 10 tahun, yakni 4 tahun bertugas, lalu bisa diperpanjang 4 tahun, dan  2 tahun lagi. Perpan-jangan masa tugas pun harus dise-pakati oleh ke-dua belah pihak. Ke-mudian diatur masalah alih status penyidik. KPK harus mendapat izin institusi lembaga pe-negak hukum, terkait saat melakukan alih status.

Regulasi tersebut diharapkan bisa menampung atau memberikan ruang bila penyidik yang bertugas di KPK berakhir masa dinasnya tapi ingin tetap berkarier di komisi antikorupsi tersebut. Semua upaya itu dalam kerangka membangun komitmen dan semangat penguatan pemberantasan korupsi, sebagai kejahatan luar biasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar