Moralitas
Ekonomi
Ahmad Erani Yustika ; Guru Besar Fakultas Ekonomi
Universitas
Brawijaya;
|
KOMPAS,
15 Desember 2012
Dua data berikut
ini barangkali menarik disandingkan untuk membingkai pola pembangunan ekonomi
nasional. Forbes (2012) baru saja melansir kekayaan para taipan Indonesia dan
memperkirakan harta 40 orang terkaya mencapai Rp 850 triliun.
Jumlah kekayaan itu kira-kira setara dengan 10 persen
produk domestik bruto (PDB) dan 60 persen APBN Perubahan 2012. Pada 1993,
ekonomi nasional juga pernah heboh karena kekayaan 300 konglomerat paling top
di Indonesia setara 75 persen APBN (saat itu). Data berikutnya, presiden
mengumumkan pendapatan per kapita juga terus meningkat, di mana pada 2011
mencapai 3.450 dollar AS, meningkat lagi menjadi 5.000 dollar AS pada 2015,
dan naik enam kali lipat pada 2030 menjadi 30.000 dollar AS.
Kedua data itu mewartakan berita bahagia: pembangunan
ekonomi terus melaju sehingga memproduksi orang-orang dengan kekayaan yang
luar biasa. Namun, data itu juga menyimpan bara: ketimpangan pendapatan yang
tak terperi.
Secara teoretis dan empiris telah disampaikan argumen
fakta pertumbuhan kesejahteraan ekonomi nasional yang diiringi ketimpangan
pendapatan. Pandangan paling terkenal, globalisasi dan liberalisasi ekonomi
menghasilkan kesempatan baru dan luas sehingga terbuka lebar bagi pelaku
ekonomi untuk mengambil aneka peluang ekonomi tersebut. Liberalisasi
dipandang telah menghancurkan tembok pembatas yang menghalangi individu masuk
ke pasar sehingga semua potensi ekonomi dapat dioptimalisasikan.
Dengan demikian, liberalisasi dianggap sebagai
instrumen paling ampuh untuk mewujudkan ekualisasi (persamaan) kesempatan
bagi semua warga berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi dan menjadi sumber
penting pertumbuhan ekonomi. Namun, akibat perbedaan yang sangat besar dalam
derajat pengetahuan, kepemilikan kapital, dan intensitas prakarsa
antarindividu menyebabkan hanya warga paling kompetitif yang dapat meraup
berkah liberalisasi ekonomi.
Sudut pandang yang lain, pembangunan ekonomi itu
dikiaskan seperti orang membangun anak tangga hingga mencapai ketinggian yang
diharapkan. Anak tangga itu tak lain adalah level pembangunan yang terdiri
dari banyak batu bata (kebijakan ekonomi) yang disusun satu demi satu hingga
mencapai puncak tertentu.
Namun, umumnya para penyusun anak tangga itu alpa
mendesain tata kelola yang lain: siapa yang berhak dan diprioritaskan menaiki
anak tangga tersebut? Itulah yang menjadi problem kekinian ekonomi nasional,
di mana pembangunan ekonomi telah sampai pada level ketinggian tertentu
(misalnya, lewat ukuran pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita),
tetapi cuma sedikit anak bangsa yang bisa menapakinya. Data yang dilansir
Forbes di atas hanyalah sedikit petunjuk saja terhadap penguat argumen ini
sebab di luar itu masih banyak data lain yang memiliki karakteristik sama.
Sekadar contoh, di sektor keuangan proporsi kredit
usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) terhadap PDB di Indonesia hanya 0,67
persen; bandingkan dengan Malaysia dan Thailand yang masing-masing 17,43
persen dan 30,67 persen. Demikian pula persentase kredit UMKM terhadap total
kredit perbankan nasional yang cuma 21,6 persen; jauh di belakang Malaysia
dan Thailand yang 39 persen dan 35 persen (Siregar, 2012). Pola sama dapat
dilihat dari alokasi fiskal untuk sektor yang terkait nasib petani, nelayan,
sektor informal, dan usaha mikro/kecil yang anggarannya amat jauh dari jumlah
cicilan utang sekalipun. Kebijakan serupa juga terjadi dalam kepemilikan
lahan (perkebunan), penguasaan eksplorasi SDA, regulasi sektor perdagangan,
dan lain-lain. Susunan kebijakan seperti inilah yang (tak) disadari
mendiskriminasi kelompok masyarakat tertentu untuk turut menaiki anak tangga
pembangunan ekonomi.
Di luar pilihan strategi dan kebijakan pembangunan,
kebijakan ekonomi sebetulnya juga diukur dan dihidupi oleh imperatif moral.
Moralitas ekonomi mengangkat kepatutan sosial atas pilihan-pilihan kebijakan
yang diambil. Di Amerika Serikat hari ini muncul keprihatinan yang luar biasa
soal pemusatan aset dan kekayaan ekonomi kepada segelintir orang akibat
kebijakan ekonomi sesat ataupun moral hazard yang tak bisa dibendung.
Salah satu sumber pemusatan itu berasal dari praktik
kebijakan penggajian pada level korporasi. Pada 1970-an, rata-rata pembayaran
100 CEO (chief executive officer)
paling top di AS hanya 40 kali dari rata-rata pekerja, tetapi pada tahun 2000
rata-rata pembayaran CEO itu melesat menjadi 1.000 kali lipat! Secara
ekonomis kenyataan itu absah, tetapi sesungguhnya secara moral telah
bangkrut. Itulah yang kemudian mengilhami Jeffrey Sachs (2012) menggunakan
istilah the devided workplace
(dunia yang terpisah) untuk menjelaskan keganjilan fenomena ekonomi tersebut.
Tidak susah untuk mengatakan bahwa hal serupa juga terjadi di sini, bahkan
mungkin dengan intensitas yang lebih tinggi. Upah minimum diregulasi
(meskipun menjadi kontroversi tiap waktu) untuk membantu buruh bisa mencukupi
kebutuhan laik, tetapi batas atas gaji/bonus/pembayaran tak diatur.
Garis kemiskinan dibikin untuk menunjukkan penduduk
yang masih berada dalam kondisi kenestapaan ekonomi, tetapi garis atas
kekayaan diserahkan berjalan sesuai diktum pasar: dibiarkan sampai menyundul
langit. Obama hari ini tengah berjuang mengembalikan moralitas ekonomi AS
dengan menaikkan pajak bagi orang kaya, demikian pula yang telah dilakukan
oleh Presiden Perancis, Hollande. Mereka adalah pemimpin yang memiliki
keyakinan bahwa ekonomi tak boleh menyimpang dari imperatif moral agar tidak
menciptakan kerusakan dan kerakusan. Sebaliknya, hari ini pemerintah kita
masih saja sibuk membanggakan prestasi penciptaan the devided workplace. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar