Keriuhan
Pemberantasan Korupsi
Bambang Kesowo ; Pengajar Program
|
KOMPAS,
15 Desember 2012
Kini orang mencari-cari,
apa gerangan kata yang tepat untuk menggambarkan salah satu sumber keriuhan
suasana pemberantasan korupsi dewasa ini?
Media
massa dengan gencar menyuguhi masyarakat dengan berita dan wacana sekitar
ributnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian, dan kejaksaan.
Selain tiga institusi itu, ada lagi DPR. Kenapa DPR? Selain kesan kelewat reaktif
berkenaan banyaknya anggota DPR yang terlibat kasus korupsi, lembaga
perwakilan yang sesungguhnya melahirkan KPK itu justru ditengarai sering
mengambil berbagai langkah yang dinilai bertujuan ”memperlemah” KPK.
Bukankah
DPR sendiri yang sedari awal juga bertekad mempercepat dan menggelorakan
pemberantasan korupsi? Bukankah DPR pula yang dalam UU yang dibuatnya telah
mempersenjatai KPK dengan berbagai keistimewaan, baik kedudukan maupun
kewenangan, demi efektivitas pemberantasan korupsi? Benarkah bila dikatakan
bahwa dahulu semua itu terjadi karena rasa ”geregetan” yang berlebihan
terhadap masa lalu, dan waktu itu, yang kini berbalik bagai senjata makan
tuan?
Mumpung
kini semua sudah mulai mengendap, sekaranglah waktunya kita bersikap berani
menata ulang segala wujud konsep serta aspek kelembagaan dalam pemberantasan
korupsi. Tentu saja dengan hati dan pikiran yang lebih tenang.
Pemberantasan
korupsi memang harus didukung dan terus ditingkatkan. Soal itu sama sekali
tidak perlu diperdebatkan lagi. Namun membangun sesuatu yang berlebihan
kadangkala juga menghadirkan lebih banyak mudarat daripada manfaatnya.
Coba
mari kita longok sejenak Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Harus diakui, beberapa aspek dalam
pemberantasan korupsi yang diatur dalam UU itu dapat dikatakan luar biasa,
utamanya dalam keistimewaan kedudukan, tugas, dan kewenangannya.
Dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi, KPK memiliki tugas menyelidiki,
menyidik, dan sekaligus menuntut di pengadilan khusus untuk tindak pidana
korupsi. Di samping itu, lembaga ini juga mengoordinasi kepolisian dan
kejaksaan dalam pelaksanaan tugas mereka dalam pemberantasan korupsi.
Lebih
dari sekadar mengoordinasi, KPK juga menyupervisi kedua lembaga tadi. KPK
bahkan berwenang mengambil alih penanganan kasus korupsi yang sedang
ditangani kedua institusi penegak hukum tadi. Untuk kelancaran pelaksanaan
tugas, lembaga ini dapat melakukan penyadapan dan perekaman pembicaraan
bahkan tanpa izin pengadilan negeri. Sekali masuk ke ranah penyidikan, KPK
harus terus menuntut. Komisi ini tidak boleh menghentikan kasus dan tak boleh
mengeluarkan perintah penghentian penyidikan dan penuntutan seperti halnya
kepolisian dan kejaksaan.
Dengan
tugas dan kewenangan yang demikian hebat, KPK tidak bertanggung jawab ke
lembaga mana pun kecuali kepada publik. Bagaimana cara dan bentuk
pertanggungjawaban tidak diatur jelas dalam UU tersebut. Bahkan kepada
Presiden sebagai kepala negara pun, pertanggungjawaban itu tak diberikan
kecuali hanya laporan. Dalam suatu negara, adanya lembaga tanpa mekanisme
pertanggungjawaban yang jelas sungguh luar biasa.
Sebesar
dan sekuat apa pun keinginan membuat lembaga, akhir-akhir ini segalanya bagai
dimungkinkan dan dapat diwujudkan. Namun, kewenangan menyupervisi dan
mengambil alih penanganan kasus—walau secara politis dikehendaki dan secara
teknis dimungkinkan—bisa jadi lain jalan ceritanya. Sebab, hal ini lebih
berkaitan dengan aspek psikologis. Kalau tak hati- hati, malah menjadi sumber
ketersinggungan dengan rasa dan sikap kebanggaan korps, baik di kepolisian
maupun kejaksaan.
Perlu
diingat, kebanggaan korps itu justru sesuatu yang— kapan, dalam satuan apa
pun, dan di mana pun—selalu dibangun. Sedikit atau banyak, hal itu juga akan
bersinggungan dengan apa yang disebut kehormatan atau harga diri profesi.
Kalau
soal berkuasa atau bergengsi mungkin tidak seberapa. Namun, kalau kemudian
menyangkut soal kebanggaan korps, kehormatan atau harga diri profesi tadi,
bisa panjang ceritanya. Bukan mustahil rentetan kasus ”cicak-buaya”,
simulator SIM, penarikan tenaga penyidik yang menjadi pangkal keributan KPK
dan kepolisian akhir-akhir ini jadi pemicu pertikaian karena merasa
tercorengnya kehormatan dan kebanggaan korps.
Lantas
apa yang sebaiknya ditimbang untuk menghentikan keriuhan yang tidak perlu
tanpa mengganggu kelanjutan kerja yang masih jauh dari usai ini?
Tidak
usah banyak mengubah, nanti malah menjadikan heboh. Sedikit saja. Hilangkan
ketentuan yang menyangkut aspek psikologis tadi. Tak usah lagi KPK menjadi
koordinator dan supervisor kepolisian dan kejaksaan.
Koordinasi
tetap perlu, tetapi tanpa salah satu harus menjadi koordinator. Dalam kultur
yang sakit, yang berkembang bukan fungsi kerja sama dan kesetaraan. Adapun
yang berkembang justru adanya anggapan: ”dalam koordinasi, ada pihak yang
dikoordinasi dan yang mengoordinasi. Yang dikoordinasi lebih rendah daripada yang
mengoordinasi”.
Tak
perlu pula ada supervisor kepolisian dan kejaksaan dalam pemberantasan tindak
pidana korupsi. Biarlah kembali ke ”khitah”-nya: bahwa, baik sesuai UU
Kejaksaan ataupun UU Kepolisian, Presiden-lah sesungguhnya supervisor
kejaksaan dan kepolisian. Kepolisian adalah kepolisian negara. Kejaksaan
adalah aparat negara di bidang penuntutan. Presiden adalah juga kepala
negara.
Pengendalian
Presiden atas kedua institusi itu berada di tataran kebijakan dan strategis.
Presiden tidak semestinya khawatir dituding melakukan ”intervensi hukum”
hanya karena melakukan kewajiban UU. Turun tangan adalah tugas UU dan berbeda
dari ”intervensi”. Turun tangan meluruskan hal-hal yang bersifat strategis
dan menyimpang dari kebijakan adalah kewajiban.
Di
sini, yang penting, Presiden tidak masuk ke tataran proses dan teknis
yustisial. Kurang apa lagi? Bila DPR tidak puas dengan kualitas supervisi
oleh Presiden, DPR dapat mempertanyakannya kepada Presiden. Dengan fungsi
pengawasannya, DPR pun dapat mengundang kedua institusi tadi dan menanyakan
langsung penanganan tindak pidana korupsi yang mereka tangani. Para politisi
tersebut pastilah paham batas antara mana yang campur tangan dan mana yang
bukan.
Tak
usah lagi KPK mengambil alih penanganan kasus yang sedang ditangani
kepolisian atau kejaksaan. Masyarakat sudah cerdas dan sangat kritis. Media
massa juga sudah demikian bebas menulis apa yang dirasanya janggal. Bila KPK
bisa berjalan dengan tumpuan, antara lain, laporan lembaga-lembaga swadaya,
bukankah Presiden dan DPR juga dapat menggunakan laporan masyarakat dan media
massa sebagai bahan supervisi? Kalau penanganan kasus dinilai tidak beres di
kedua institusi tadi, mekanisme supervisi oleh Presiden dan DPR yang mestinya
berjalan.
Begitu
pula dengan soal pertanggungjawaban institusi. Jangan biarkan KPK terus hidup
sebagai lembaga yang tidak bertanggung jawab kepada siapa pun dalam
ketatanegaraan ini. KPK tidak menjadi hebat, gagah, dan dikagumi dengan
status seperti itu. Jangan-jangan malah KPK sesungguhnya yang menjadi
”bancakan” banyak pihak. Mudah-mudahan kita semua dapat melihatnya.
Bagaimana
halnya dengan tugas dan kewenangan KPK selebihnya? Tidak usah diutak-atik.
Biarkan saja dahulu menjadi tugas dan kewenangan KPK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar