Sabtu, 15 Desember 2012

Ekonomi Biru


Ekonomi Biru
Arif Satria ;  Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB
KOMPAS, 15 Desember 2012


Pada 26 November 2012, Gunter Pauli, penulis buku Blue Economy (2010), datang ke Indonesia dan memaparkan pemikirannya tentang ekonomi biru (blue economy).
Ternyata ini juga ada kaitannya dengan apa yang telah disampaikan Pemerintah RI tentang ekonomi biru di Rio+20 Juni 2012. Apa perbedaan ekonomi biru (EB) dan ekonomi hijau (EH) yang saat Rio+20 juga hangat dibicarakan? Apa urgensinya bagi pembangunan ekonomi di Indonesia?
Hijau versus Biru?
Awalnya orang mengira EB wujud EH di sektor kelautan dan perikanan. Namun, ternyata ada perbedaan mendasar meski keduanya bicara soal keberlanjutan. EH mendorong transformasi ekonomi ke arah investasi ramah lingkungan dengan karbon rendah, efisiensi sumber daya, dan kesejahteraan sosial, serta mendorong terciptanya pola konsumsi dan pertumbuhan produksi secara berkelanjutan.
Pada level paradigma, EH dipengaruhi aliran modernisasi ekologi, sebuah aliran yang berusaha menyinergikan ekonomi dan lingkungan dengan pendekatan yang cenderung positivistik. Seolah proses sosial ekonomi dan ekologi ialah linier dan universal. Pendekatan ini saat ini banyak dianut meski harus diakui terdapat sejumlah kelemahan, seperti menghasilkan produk yang mahal (ekolabel) sehingga tidak terjangkau oleh orang miskin, perdagangan karbon yang tidak adil untuk dunia ketiga, dan sering kali hanya menyentuh solusi permukaan saja.
Begitu pula pengembangan wisata bahari yang sering kali menyisakan konflik sosial dengan nelayan. Sehingga EH sering kali digolongkan sebagai bagian dari apa yang disebut Bookchin (1991) sebagai ekologi-dangkal (shallow ecology).
Gunter Pauli berusaha mengoreksi praktik EH ini dan mengembangkannya menjadi Ekonomi Biru. Ada mimpinya untuk menciptakan langit dan laut yang tetap biru dan menyejahterakan. Laut dan langit biru itulah simbol lingkungan yang bersih. Secara paradigmatik, Pauli mengakui EB terinsipirasi aliran ekologi-dalam (deep ecology) sebagaimana diperkenalkan Arne Naess tahun 1970-an.
Aliran ini menekankan pentingnya tata nilai baru, cara berpikir dan tindakan kolektif baru yang tidak menempatkan alam sebagai obyek. Selain itu, menekankan pentingnya memahami prinsip bagaimana alam bekerja, yang populer dengan istilah kembali ke alam (back to nature). Aliran ini lebih konstruktivistik dan nonlinier sehingga kekhasan lokasi sangat diperhatikan.
Tak ada resep tunggal untuk mengatasi masalah lingkungan. Pembangunan didesain sesuai bagaimana ekosistem bekerja karena diakui alam bekerja secara efisien. Siklus ekologi menjadi inspirasi untuk memecahkan masalah. Sebagai contoh, bagaimana mengembangkan budi daya ikan tanpa pakan karena spesies yang dibudidayakan memerhatikan trophic level. Juga, bagaimana mengembangkan sistem pertanian terpadu dengan memanfaatkan limbah peternakan sebagai sumber pupuk organik dan biogas. Apa yang dipikirkan Pauli, sebenarnya mirip yang diungkapkan ahli pertanian Jepang, Fukuoka dalam bukunya Revolusi Sebatang Jerami.
Selain prinsip efisiensi sumber daya di atas, ada sejumlah prinsip yang dianut dalam EB (Pauli, 2010). Pertama, nirlimbah (zero waste) dan menekankan sistem siklikal dalam proses produksi sehingga tercipta produksi bersih. Artinya, limbah dari sebuah proses produksi akan menjadi bahan baku atau sumber energi bagi produksi berikutnya.
Kedua, inklusi sosial, yang berarti pemerataan sosial dan kesempatan kerja yang banyak untuk orang miskin. Ketiga, inovasi dan adaptasi, yang memperhatikan prinsip hukum fisika dan sifat alam yang adaptif. Keempat, efek ekonomi pengganda, yang berarti aktivitas ekonomi yang dilakukan akan memiliki dampak luas dan tak rentan terhadap gejolak harga pasar. Hal ini karena EB menekankan produk ganda sehingga tidak bergantung pada satu produk (core business).
Contohnya, usaha perikanan mestinya tak hanya menghasilkan produk ikan, tetapi mampu menghasilkan produk turunan yang dapat diambil dari ”limbah” produk awal. Artinya, EB menekankan pentingnya mutliple cashflow. Yang menarik dari gagasan Pauli ini ialah dia berhasil membuktikan bahwa pendekatan ekologi-dalam ternyata bisa diimplementasikan secara ekonomi untuk konteks dunia seperti sekarang ini.
Ada 100 inovasi ekonomi yang ia hasilkan dengan menggunakan prinsip kerja alam dan dipraktikkan di puluhan negara. Bahkan, inovasi ini bisa menghasilkan kegiatan usaha yang menguntungkan dan membuka banyak lapangan kerja baru. Selama ini aliran ini banyak mengilhami gerakan lingkungan hidup di dunia, termasuk berkembangnya partai politik hijau. Namun, dengan kisah tersebut membuktikan bahwa aliran ekologi-dalam juga bisa dibumikan secara ekonomi.
Agenda
Tentu, FEMA IPB yang banyak mengembangkan mata kuliah dengan pendekatan ekologi-dalam merasa mendapat amunisi baru. Namun, yang penting bukan perdebatan akademik tentang ekonomi biru, melainkan lebih pada bagaimana implementasinya di Indonesia. Agenda terpentingnya ialah perubahan cara berpikir pemerintah, akademisi, pengusaha, dan masyarakat, yang selama ini sudah telanjur berpikir linier dan mekanistik.
Dalam ekonomi biru, dituntut inovasi dan kreativitas tinggi untuk bisa menemukan siklus alam yang lalu menjadi inspirasi bagi sebuah aktivitas ekonomi lokal yang bersih. Di sinilah kolaborasi riset saintifik dengan pengetahuan lokal yang dimiliki masyarakat sangat penting. Pada saat yang sama dilakukan eksplorasi peluang-peluang lokal yang ada dengan prinsip ”gunakan apa yang kita punya”. Pada titik inilah kita akan sadar bahwa wacana impor bahan baku menjadi kurang relevan, sebaliknya kemandirian lokal akan tercipta. Namun, harus diakui, pendekatan EB belum menjadi arus utama kegiatan ekonomi dunia meski sudah diterapkan di banyak negara. Akan tetapi, meski keberhasilannya masih di tingkat lokal, gagasan ini membawa harapan baru ke dalam tata dunia dengan langit biru, laut biru, dan masyarakat sejahtera. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar