Jumat, 14 Desember 2012

Menyangkal The Dog of Imperialism


Menyangkal The Dog of Imperialism
Ahmad Sahidah ;  Dosen Filsafat dan Etika Universiti Utara Malaysia
JAWA POS, 14 Desember 2012


DALAM kunjungan ke Jakarta, Ahmad Zahid Hamidi, menteri pertahanan Malaysia, menegaskan bahwa hubungan Indonesia-Malaysia bisa ditautkan dengan pelbagai rupa dan cara. Salah satunya melalui pelatihan ESQ (emotional spiritual question) yang dipelopori oleh Dr Ary Ginanjar. Berita seperti ini tidak mengambil tempat di halaman utama koran di sini atau bahkan malah tidak diberitakan. Namun, di akhbar -sebutan untuk koran di Malaysia- peristiwa tersebut menghiasi pelbagai media cetak dan elektronik. 

Namun, ketika banyak usaha untuk merekatkan dua negara serumpun dilakukan, sebagaimana baru-baru ini Jawa Pos (7/12/12) memberitakan bahwa Kacung Marijan menggerakkan Lembaga Kebudayaan Indonesia-Malaysia untuk menjadi ruang bersama mencegah kesalahpahaman kepemilikan tradisi, banyak isu yang menyeret dua negara pada pertikaian. Dengan pelibatan akademisi dalam menangani isu, hubungan negara ini tidak hanya dipenuhi oleh tatap muka para pejabat yang bersifat formal, tetapi juga cerdik-pandai, sehingga kualitas relasi bilateral jauh lebih mengemuka. 

Malangnya, setelah kasus pelecehan pendukung Harimau Malaysia dalam piala AFF Suzuki 2012 di Stadion Bukit Jalil yang menyanyikan lirik Indonesia Anjing usai, Zainuddin Maidin menyulut kemarahan orang ramai, dari pegiat media sosial, pemilik akun blog, menteri, anggota DPR, ketua partai, hingga aktivis kepemudaan Indonesia di Malaysia. Namun, menteri penerangan di era Abdullah Badawi itu bergeming. Selain menjawab komentar di laman blog-nya yang beralamat zamkata.blogspot.com bahwa tuduhan pada Habibie sebagai pengkhianat negaranya sebenarnya juga ditegaskan oleh Soeharto dalam bukuSoeharto: The Life and Legacy of Indonesia's Second President oleh Retnowati Abdulgani-Knapp, mantan wartawan Utusan ini enggan meminta maaf karena merasa yang ditulis itu adalah kebenaran. 

Isu-Isu 

Sepatutnya, kita memahami kritik keras itu dalam konteks politik Malaysia pasca-Reformasi. Setelah Anwar Ibrahim didepak dari kursi wakil perdana menteri, gelombang protes orang ramai tumpah ruah ke jalan dan dunia maya. Namun, meskipun dukungan meluas, partai Anwar, Partai Keadilan Nasional, bersama anggota koalisi lain, DAP dan PAS, tidak bisa meraup suara besar pada pemilu 2004. Pengganti Mahathir Mohamad, Abdullah Badawi, justru menangguk kemenangan luar biasa di dalam sepanjang sejarah pemilu. Sayangnya, pada tahun 2008, Barisan Nasional menelan banyak kekalahan di sejumlah provinsi. Oposisi menguasai lima negara bagian. Ini berarti bahwa pembangkang -sebutan oposisi di sana- mempunyai banyak pundi uang untuk berkampanye mendapatkan dukungan konstituen pada pemilu yang akan dihelat dalam masa sebelum Maret 2013. 

Dengan suara populer (popular vote) yang berselisih tidak banyak dan kantong uang oposisi juga menggelembung, persaingan Barisan Nasional (BN) dan Pakatan Rakyat (PR) makin sengit. Betapa pun, media nasional masih berada di tangan BN, namun PR menggunakan segenap kekuasaan yang ada di tangan untuk berbuat banyak dalam memenangkan pikiran dan hati rakyat. Dalam keadaan seperti, dua kubu saling menyerang, baik melalui media, ceramah umum, maupun propaganda. Tidak ayal, pergesekan yang semakin keras ini menimbulkan tindakan anarkistis fisik dan simbolik, seperti pelemparan batu pada peserta ceramah, olok-olokan antara pendukung, hingga pelemparan cat pada kendaraan resmi partai politik. 

Sebenarnya, cap pengkhianat (Melayu) kepada Anwar sebelumnya juga dikatakan oleh Tan Sri Muhyidin Yasin, deputi perdana menteri. Tentu saja, pendukung Anwar meradang. Hanya saja, ketika Zainuddin Maidin mengatakan hal yang sama, rakyat Indonesia menyatakan protes karena tulisan itu juga menyinggung Habibie. Teguh Juwarno, anggota DPR PAN, meminta pemerintah untuk mengambil sikap. T.B. Hasanuddin dari PDIP meminta Kemenlu memanggil duta besar Malaysia di Jalan Kuningan. Tidak hanya itu, ruang komentar blog Zam -nama panggilan tokoh yang menjadi karyawan tamu Institut Pemikiran Tun Mahathir di Universitas Utara Malaysia- dipenuhi oleh kritik banyak warga Indonesia, selain orang Malaysia sendiri.

Kearifan 

Benarkah tuduhan bahwa UMNO akan merusak hubungan Indonesia-Malaysia hanya karena Zainuddin Maidin masih menjadi anggota partai Melayu yang paling berkuasa di negeri jiran? Tidak. Hubungan UMNO dan sejawatnya di Indonesia berlangsung mulus. Baru-baru ini, dua petinggi Partai Demokrat, Anas Urbaningrum dan Edhie Baskoro, menghadiri Perhimpunan Agung UMNO di Kuala Lumpur. Mereka duduk semeja dengan Najib, Mahathir, dan petinggi UMNO yang lain. 

Semua orang pun tahu bahwa Anwar Ibrahim juga pernah menduduki kursi nomor dua di partai yang didirikan oleh Dato Onn Jaafar ini. Hanya saja, bila dibandingkan dengan tokoh UMNO yang lain, pemimpin oposisi Malaysia ini jauh lebih dikenal di Indonesia dan mempunyai banyak teman, dari politisi, menteri, mantan presiden, hingga intelektual. 

Tentu, secara hubungan bilateral, dua negara tidak akan terganggu. Namun, pembiaran terhadap kasus ini hanya akan menyisakan ingatan buruk. Saya pun telah mengirim kicauan di twitter di dinding akunmicroblogging tiga menteri Malaysia -Rais Yatim (penerangan dan komunikasi), Hishamuddin Hussein (dalam negeri), dan Ahmad Zahid Hamidi (pertahanan)- agar gambar Habibie yang bertulisan The Dog of Imperialism "dipadamkan" (dihapus) dari blog Tan Sri Zainuddin Maidin. Namun, hingga artikel ini ditulis, ketiganya belum memberikan tanggapan. 

Di tengah keadaan tidak nyaman ini, tentu siapa pun tidak bisa meringkus masalah ini sebagai wujud permusuhan dua negara. Apalagi secara selektif, kita memilih beberapa pernyataan Zainuddin Maidin yang cukup keras terhadap Indonesia terkait isu-isu lain sebelumnya. Bagaimanapun, orang dekat Mahathir ini telah merintis sebuah organisasi bernama Ikatan Setiakawan Wartawan Malaysia Indonesia (Iswami). Tujuannya menciptakan hubungan harmonis media dua negara. Dengan begitu, pilar keempat dari demokrasi ini bisa menjembatani hubungan khalayak lebih luas dalam mengurai kesalahpahaman dan syak-wasangka. Apa pun, kita hanya perlu menanggapi kontroversi ini dengan pepatah "Anjing menyalak, kafilah tetap berlalu".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar