Jumat, 14 Desember 2012

Ibu Negara yang Terlupakan Survei Pilpres


Ibu Negara yang Terlupakan Survei Pilpres
Satrio Wahono ;  Magister Filsafat UI dan Pengajar Filsafat FE
Universitas Pancasila
JAWA POS, 14 Desember 2012


DI balik pria yang kuat atau sukses, terdapat wanita yang kuat dan sukses pula. Pitutur klasik dan nyaris klise ini sebenarnya memiliki implikasi menarik yang luput dari perhatian di tengah ingar-bingar dan hiruk-pikuk politik menjelang pemilihan presiden (pilpres) 2014. Yaitu, betapa di tengah nama-nama bursa capres dominan laki-laki, faktor pasangan sang calon alias ibu negara sejatinya merupakan faktor berperan, sekaligus terlupakan, bagi pemilih (voters) di kotak suara nanti.

Bahkan, di Indonesia yang kental budaya patriarkinya, perempuan ternyata sudah menunjukkan taring kuasa politiknya sedari dulu. Misalnya, buku sejarawan sekaligus mantan Duta Besar Kanada untuk Indonesia, Earl Drake, bertajuk Gayatri Rajapatni: Perempuan di Balik Kejayaan Majapahit (Ombak, 2012) menunjukkan fakta mencengangkan soal ini. Yakni, Gayatri sebagai putri raja terakhir Singasari, Kertanegara, dan istri pendiri Majapahit, Raden Wijaya, adalah tokoh utama di balik layar yang sebenarnya mengarahkan tindak-tanduk politik duet penguasa Majapahit paling legendaris, Hayam Wuruk dan Gajah Mada. Status tambahannya sebagai ibu dari Tribuana Thunggadewi, ratu Majapahit sekaligus ibu Hayam Wuruk, jelas mengukuhkan peran Gayatri sebagai manifestasi mutlak titah dewata yang mengejawantah dalam kuasa raja Hayam Wuruk, yang nota bene cucunya sendiri.

Gayatri boleh dibilang semacam "simbol negara" yang memberikan justifikasi sakral bagi kebijakan sang eksekutor politik, Patih Gajah Mada, yang lahir dari kalangan jelata. Tanpa legitimasi teologis demikian, kita bisa membayangkan betapa sulitnya bagi Gajah Mada untuk membuat kebijakannya efektif di tengah rakyat yang waktu itu begitu tunduk pada imajinasi kuasa dewa-dewa.

Karena itu, meminjam klasifikasi masyarakat ideal Plato (Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, Mizan, 1997), Gayatri sesungguhnya adalah sang         philosopher-queen (ratu-filsuf) yang memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan mumpuni di balik kuasa Hayam Wuruk, sementara Gajah Mada adalah prajurit tangguh yang melambangkan semangat kelas pejuang. Hasilnya kita tahu semua demikian dahsyat: bersatunya Nusantara di bawah imperium Majapahit era kepemimpinan Hayam Wuruk-Gajah Mada. 

Mau tak mau, peran Gayatri mengingatkan juga kita akan tokoh ibu suri Tzu Hsi yang demikian dominan dan mengendalikan kebijakan kaisar terakhir Tiongkok zaman Dinasti Ching, Pu Yi. Dalam dua novel historis karya Anchee Min, Empress Orchid dan sekuelnya The Last Empress (Hikmah, 2008), misalnya, diceritakan bahwa Tzu Hsi adalah selir muda cantik berjuluk Sang Anggrek yang masuk istana lewat berbagai intrik politik. Ketika Kekaisaran Tiongkok di ambang keruntuhan, dialah yang mampu menyatukan negeri tersebut. Kekuasaannya makin besar ketika anaknya menjadi kaisar dan kian besar lagi ketika anaknya meninggal dan dia berhasil mengangkat keponakannya yang berusia dua tahun, Pu Yi, sebagai kaisar baru. Sayangnya, ulah Tzu Hsi semakin semena-mena hingga mengantarkan keruntuhan Tiongkok pada 1911. 

Kita tentu ingat juga peran Inggit Ganarsih yang mengantarkan sang suami sekaligus anak semangnya, Soekarno, ke puncak kekuasaan. Atau, peran kuat Fatmawati dalam mengiringi perjalanan politik Soekarno dan perjuangan kemerdekaan. Sampai-sampai Fatmawati menjadi masyhur karena jasanya menjahitkan bendera merah putih pertama.

Ibu Tien pun begitu. R.E. Elson dalam salah satu biografi terlengkap tentang Soeharto (Suharto, Minda, 2005) menyebutkan bahwa Ibu Tien adalah mitra ideal dan teman tersayang yang sangat setia, cerdik, sabar, banyak akal, luar biasa kooperatif dalam mengakomodasi ambisi militer dan politik Soeharto. Dia merupakan sumber akal sehat serta nasihat santun bagi Soeharto. Bahkan, Ibu Tien sebenarnya sangat ingin agar sang suami mundur dari jabatan presiden pada 1980-an dan tidak senang Soeharto kemudian memilih mencalonkan diri lagi pada 1992.

Selain itu, kematian Ibu Tien pada 28 April 1996 juga memusnahkan pengawasan terhadap kecenderungan kekuasaan Soeharto dan kecenderungan sang Smiling General untuk memfavoritkan kepentingan bisnis anak-anaknya. Akumulasi dari lepas kendalinya dua kecenderungan negatif itu kita tahu semua: terdongkelnya Soeharto dari kekuasaan dengan nama yang tak lagi dielu-elukan. 

Singkat kata, mencari pemimpin negara ideal seharusnya tak bisa lepas dari upaya mencari ibu negara ideal. Sebab, ibu negara inilah -sebagaimana ditunjukkan oleh sejumlah perempuan perkasa dalam sejarah kuasa politik Indonesia- yang akan memberikan energi spiritual dan moral luar biasa. Tanpa ibu negara yang baik, seorang pemimpin akan timpang, setidaknya secara simbolik, dalam menjalankan kekuasaan. Dia tidak bisa memberikan teladan tentang nilai-nilai keluarga (family values) yang utuh. Dan, kita tentu tidak mau nasib kita diserahkan kepada nakhoda semacam itu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar