Mensekaratkan
(Kreativitas) Penerbit
Bambang Trim ; Praktisi
Perbukuan, Editor dan Penulis Buku, Tinggal di Bandung
|
KORAN
TEMPO, 14 Desember 2012
Alih-alih
hendak menyiapkan buku teks yang berkualitas, bukan tidak mungkin, dengan
waktu penyiapan yang singkat (kurang dari enam bulan), buku-buku tersebut
dapat saja mengandung aspek kelemahan editorial karena ditangani bukan oleh
ahlinya atau tenaga profesional.
Apa yang dikhawatirkan kalangan penerbit
buku teks menyangkut pemberlakuan kurikulum baru tahun 2013 akhirnya
terungkap juga. Seiring dengan pelaksanaan uji publik kurikulum, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan pun mengeluarkan komentar bahwa buku teks atau buku
pelajaran akan diadakan langsung dari Pusat (Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, dalam hal ini Pusat Kurikulum dan Perbukuan), yaitu penulisan dan
pengemasan editorialnya. Penerbit hanya diberi peran untuk menggandakan apa
yang diistilahkan "buku babon" (buku pegangan) ini.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan berkilah,
hal ini demi penyediaan buku yang berkualitas, terpusat, dan tentunya menjadi
jawaban atas fenomena yang berkembang dalam setahun terakhir, yaitu adanya
beberapa buku (LKS) yang bermasalah: mengandung pornografi dan
ketidakpatutan, juga disusupi paham berbahaya. Artinya, penerbit buku teks
yang selama ini berada di industri kreatif penerbitan harus bersiap
menghentikan kreativitasnya dan cukup berharap sekadar jadi pencetak, padahal
tidak semua penerbit memiliki usaha percetakan.
Pola yang serupa tetapi tak sama adalah
ketika Departemen Pendidikan Nasional (sekarang Kemdikbud) menyediakan apa
yang disebut buku teks pokok atau disebut buku paket hanya untuk SD dan SMA
pada 1990-an. Buku paket ini ditulis oleh tim yang dibentuk Depdiknas
(Pusbuk), terdiri atas pakar perguruan tinggi serta guru sekolah. Buku ini
pun diedarkan untuk digandakan dan didistribusikan di tingkat kanwil, kandep,
hingga sekolah (Supriadi, Anatomi Buku Sekolah di Indonesia, 2000). Bedanya,
jika dulu ada buku teks pokok atau buku paket yang dibagikan gratis, ada pula
buku teks pelengkap yang membebaskan sekolah untuk memilih. Di sinilah para
penerbit swasta masih bisa berperan mengkreasikan buku-bukunya dan bersaing
dalam bisnis dengan istilah buku teks pelengkap.
Sewaktu proyek buku sekolah elektronik
(BSE) diluncurkan pertama kali pada masa Mendiknas Bambang Soedibyo, lonceng
kematian bagi penerbit buku teks sebenarnya sudah dibunyikan. Penerbit hanya
boleh berpartisipasi menilaikan bukunya ke Pusbuk (sekarang Puskurbuk), lalu
buku yang lolos akan dibeli hak ciptanya secara berjangka selama 15 tahun.
Belakangan, bukan hanya penerbit, tapi juga penulis boleh mengajukan bukunya
sendiri yang jelas memberi peluang lahirnya penerbit swakelola (self
publisher) buku teks. Buku pun bebas diunduh oleh publik dari laman Pusbuk,
dan siapa pun bebas mencetak serta menjualnya. Dapat dibayangkan kekacauan
peran di sini ketika pencetak juga menjadi penerbit dan penjual BSE, toko
buku juga demikian, dan siapa pun bisa menjadi penerbit dan penjual BSE
dengan ketentuan memberlakukan harga pagu. Industri penerbitan buku teks
hampir dibuat mati suri.
Namun, dalam konteks ini, para penerbit
buku teks masih melihat celah kehidupan, karena banyak juga sekolah yang
enggan menggunakan BSE dengan alasan faktor pengemasan editorial yang tidak
memenuhi ekspektasi mereka. Sekolah-sekolah itu lebih memilih buku teks
pelengkap (supplementary text book)
yang diterbitkan penerbit swasta, apalagi penerbit dengan pengalaman belasan
hingga puluhan tahun di bisnis ini. Dalam masa ini pula pemerintah sudah
menerbitkan peraturan tentang larangan penjualan buku langsung ke
sekolah-sekolah dengan sanksi yang berat. Penjualan buku dialihkan ke
toko-toko buku ataupun koperasi sekolah.
Industri yang Memusingkan
Industri buku teks boleh dikatakan industri
yang sarat masalah dari dulu. Masalah dipicu ketika penerbit buku teks
melakukan penjualan langsung ke sekolah dengan memotong jalur distribusi di
tingkat toko buku. Penerbit bertransaksi dengan pengambil kebijakan di
sekolah (guru, kepala sekolah, yayasan). Akhirnya, modus pemberian diskon
atau iming-iming lain pun memunculkan persaingan dalam bisnis ini yang
terkadang menjurus tidak sehat. Buku yang berkualitas hanya menjadi
pertimbangan kesekian dibanding diskon yang besar.
Demi menguatkan eksistensi dan perannya
dengan potensi puluhan juta siswa di Indonesia, para penerbit pun membangun
jalur distribusi sendiri dengan mendirikan cabang-cabang di ibu kota provinsi
hingga ke daerah tingkat II. Seiring berlalunya masa, kreativitas penerbit
buku teks pun makin menjadi-jadi, baik dalam hal pengemasan maupun penjualan.
Pergantian kurikulum ibarat blessing in disguise yang memicu penerbitan front
list buku-buku baru. Alhasil, gelombang keluhan dari masyarakat pun mengalir,
terutama pada masa reformasi yang menolak jargon "ganti tahun ganti
buku" yang dulunya masih berbunyi "ganti
kurikulum ganti buku".
Buku teks pelengkap yang dimaksudkan sebagai
pendamping buku paket, seperti diungkapkan Dedi Supriadi dalam Anatomi Buku
Sekolah di Indonesia, malah berfungsi "menyingkirkan" buku paket.
Buku paket bantuan pemerintah secara cuma-cuma itu akhirnya hanya menjadi
koleksi setia perpustakaan sekolah.
Industri buku teks ini menjadi industri
yang memusingkan, bahkan ditengarai seperti lingkaran setan yang tak
berujung, karena terjadi konflik kepentingan antara pemerintah, penerbit
swasta, pejabat pendidikan di daerah, distributor buku, pencetak, toko buku,
sekolah, orang tua, dan siswa. Tidak kurang Presiden Megawati dan Presiden
SBY pun menjadikan soal buku teks ini menjadi isu kampanye mereka bahwa
rakyat tidak boleh lagi dibebani dengan pembelian buku teks.
Di sisi lain, industri buku teks ini juga hidup
dari proyek-proyek pemerintah. Pemerintah merasa memang tidak bisa sendiri
melakukan pengadaan buku hingga akhir 1990-an. Awalnya, buku paket untuk
tingkat SD diadakan dengan kerja sama Pusat Perbukuan, Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengah, dan Balai Pustaka (yang memiliki hak
penggandaan). Untuk SLTP (SMP), pemerintah melibatkan penerbit swasta dengan
Proyek Pengembangan Buku dan Minat Baca (PBMB) yang didanai pinjaman Bank
Dunia (World Bank) pada 1996-2000. Buku-buku penerbit swasta--berupa buku
teks siswa dan buku pegangan guru-dinilai oleh Panitia Nasional Penilai Buku
Teks (National Textbook Evaluation Committee/NTEC) yang diketuai Dirjen
Dikdasmen. Buku yang lulus kemudian dibeli oleh proyek. Betapa bergairahnya
penerbit buku teks masa itu, meskipun hanya berimbas pada segelintir penerbit
yang bukunya lulus. Belakangan, bantuan proyek ini dihentikan World Bank
karena dianggap beraroma korupsi dan kolusi, sehingga beberapa penerbit masuk
daftar hitam penerbit Indonesia versi World Bank.
Kerancuan Peran
Persoalannya sekarang bukan hanya kebijakan
ini telah menghentikan kreativitas penerbit buku teks yang sama dengan
membuatnya sekarat, melainkan benarkah pemerintah mampu menyediakan buku teks
dengan muatan kurikulum tematik integratif yang memenuhi standar buku teks
sebenarnya? Meskipun pemerintah memiliki dana untuk menyiapkannya dan paling
tahu tentang kontennya, tentu patut dipertanyakan pula tentang sumber daya
perbukuan yang dilibatkan, seperti penulis, editor, penata letak, ilustrator,
dan desainer buku. SDM penerbitan adalah para profesional dengan keahlian di
bidang masing-masing. Tampaknya Puskurbuk pun harus melakukan perekrutan dan
pengerjaan simultan yang memerlukan tenaga terampil dengan tenggat yang ketat
dan standar kualitas yang baik.
Alih-alih
hendak menyiapkan buku teks yang berkualitas, bukan tidak mungkin, dengan
waktu penyiapan yang singkat (kurang dari enam bulan), buku-buku tersebut
dapat saja mengandung aspek kelemahan editorial karena ditangani bukan oleh
ahlinya atau tenaga profesional. Buku pegangan versi pemerintah ini pun akan
mubazir jika akhirnya tidak dapat digunakan di sekolah-sekolah, karena
Puskurbuk Kemendikbud dalam hal ini memang bukan penerbit dalam arti
sebenarnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar