Rabu, 19 Desember 2012

Menjaga Jakarta dalam Keterbatasan


Laporan Akhir Tahun Bidang Metropolitan
Menjaga Jakarta dalam Keterbatasan
KOMPAS, 19 Desember 2012



Saat mengunjungi Kompas, Senin (19/11), Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Putut Eko Bayuseno menceritakan pengalaman beberapa rekannya mengunjungi ”Kota Terlarang”, Beijing.
Mereka tiba tengah malam. Suasana sepi. Ketika seorang temannya asyik memotret, datang mobil patroli polisi.
”Padahal, sebelum mobil patroli itu datang, tak seorang polisi pun tampak di sekitar ’Kota Terlarang’. Peristiwa ini menunjukkan bahwa polisi China melakukan penjagaan kota selama 24 jam tanpa harus menunjukkan kehadiran mereka di lapangan,” ujar Putut.
Sebagai kota metropolitan yang nyaris tidak tidur, Jakarta harus punya satu gedung pengendali lalu lintas yang memiliki jaringan kamera pemantau (CCTV) dan armada mobil patroli seperti China, Tokyo, dan London. Kehadiran fasilitas ini penting untuk mencegah dan menekan kejahatan jalanan, serta kemacetan lalu lintas. Meningkatnya kejahatan jalanan dan tingginya tingkat kemacetan membuat Jakarta tidak bisa tidak harus memiliki fasilitas tersebut.
Pertumbuhan Kota
Berdasarkan data dari Humas Polda Metro Jaya, sepanjang 2011, kasus pencurian dengan kekerasan turun 4 persen dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu menjadi 895 kasus. Namun, Januari-November 2012, jumlahnya naik menjadi 1.029 kasus.
Dari segi kualitas pun semakin memprihatinkan. Para pelaku kini cenderung memakai senjata api. Jumlah korban yang dilukai bahkan dibunuh pun bertambah. Korbannya bukan lagi sebatas orang per orang, melainkan juga minimarket, pegadaian, bank, dan anjungan tunai mandiri.
Menurut Adrianus Meliala, anggota Komisi Polisi Nasional yang juga kriminolog dari Universitas Indonesia, meluasnya kejahatan jalanan terkait langsung dengan pertumbuhan kota yang lebih banyak ditentukan pengembang. Pusat keramaian sering tumbuh mendadak tak terencana. Hal ini makin mempersulit langkah pengamanan polisi.
Meliala juga melihat munculnya segregasi, yaitu penyeragaman warga berdasarkan kesamaan strata sosial, tingkat pendapatan, atau agama di beberapa kawasan baru yang justru ditawarkan oleh para pengembang. Hal ini merusak kohesi sosial warga kota.
Di beberapa bagian Jakarta tumbuh kawasan yang monofungsi. ”Memang tampak lebih rapi, tetapi saat kawasan itu di luar fungsinya, kawasan tersebut menjadi wilayah yang senyap, bahkan gelap gulita,” ujarnya.
Meliala berpendapat, kawasan kota yang ideal adalah kawasan multifungsi. Ada kawasan niaga, permukiman, dan seterusnya. Selain itu, perkembangan kota juga harus di bawah kendali pemerintah, bukan di bawah kendali para pengembang.
Sementara di tempat lain, kata Meliala, gang-gang kampung bertambah banyak. Kawasan seperti ini berpotensi menjadi tempat bersembunyi atau menghilangnya para penjahat. Sementara ruang terbuka untuk bebas dari kepengapan dan kesesakan hidup tak bertambah.
Menurut catatan Polda Metro Jaya tahun 2012, ada 70 lokasi rawan kejahatan jalanan. Tiga wilayah yang tergolong rawan kejahatan jalanan adalah Jakarta Pusat, Jakarta Utara, dan Jakarta Selatan. Ada 70 titik persimpangan rawan kemacetan lalu lintas yang tak terjaga polisi karena kurangnya jumlah polisi lalu lintas.
Jumlah mobil patroli untuk mencegah kejahatan jalanan pun masih jauh dari cukup. ”Polda Metro Jaya memiliki 13 polres dan 109 polsek. Setiap polres memiliki 7 mobil, sedangkan setiap polsek memiliki 3 mobil,” ujar Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Metro Jaya Komisaris Besar Rikwanto.
Idealnya, setiap polres memiliki sekurangnya 10 mobil dan tiap polsek memiliki 5 mobil. Namun, jangankan bicara soal jumlah mobil yang ideal, jatah bensin untuk setiap mobil pun cuma 10 liter per hari.
Padahal, idealnya, dengan pola kerja bergilir sehari dua kali, setiap mobil membutuhkan minimal 40 liter bensin. Akibatnya, mobilitas mobil patroli di jalanan Jakarta dan sekitarnya sangat rendah.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Toni Harmanto menambahkan, rasio polisi di Jakarta saat ini 1 berbanding 1.250 orang. Artinya, setiap polisi bertanggung jawab terhadap keamanan 1.250 warga Jakarta. Idealnya 1 berbanding 600.
Partisipasi Warga
Untuk mengurangi ketidakseimbangan antara beban dan fasilitas polisi, Putut berniat mengutamakan fungsi pencegahan dengan mengoptimalkan kekuatan pembinaan masyarakat (binmas) sebagai pengemban fungsi pemolisian masyarakat (polmas) serta intelijen.
Menurut Kombes Krishna Murti, Perencana Tugas-tugas Kepolisian pada Divisi Kepolisian Markas Besar PBB di New York, ”Sukses polmas diukur dari terciptanya keteraturan sosial dan keharmonisan antarkelompok dalam masyarakat. Hal ini bisa tercapai karena ada jalinan kepercayaan antara polisi dan masyarakat.”
Lewat polmas, reserse bisa lebih jelas memetakan dan memberantas kejahatan di satu wilayah karena mendapat data yang lebih lengkap dari masyarakat.
Namun, tampaknya tantangan yang dihadapi Putut tidak ringan. Meliala mengingatkan, langkah Kapolda harus mendapat dukungan Mabes Polri serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
”Kendalanya, Babinkamtibmas yang menjalankan fungsi polmas itu bukan jabatan. Karena bukan jabatan, seorang bintara yang ditunjuk sebagai petugas Babinkamtibmas tidak akan mendapat tunjangan jabatan atau remunerasi. Uang yang dia terima cuma tunjangan Rp 100.000 sebulan,” ujarnya.
Adapun yang bisa mengubah Babinkamtibmas menjadi jabatan, seperti halnya reserse yang menyandang jabatan sebagai penyidik, adalah Mabes Polri. ”Kalaupun Mabes Polri mau, berikutnya adalah apakah Menteri PAN mau? Sebab, implikasinya kan terhadap keuangan negara,” ujar Meliala.
Kriminolog UI lainnya, Kisnu Widagso, berpendapat, kalau mau jujur, tidak seorang polisi pun menghendaki dirinya menjadi Babinkamtibmas. ”Tidak ada heroisme di sana seperti halnya seorang reserse,” ujarnya.
Tingkat kesejahteraan seorang anggota Babinkamtibmas pun sangat rendah dibandingkan dengan rekan mereka di tempat lain. Idealnya, polisi mencegah ketimbang menumpas kejahatan. Namun, kan, nyatanya Babinkamtibmas di internal polisi sendiri masih terpinggirkan.
Membangun citra baru Babinkamtibmas tak mudah. Perlu tindakan konkret negara. Perlu pendidikan dan pelatihan program kamtibmas yang serius. Perlu perbaikan tingkat kesejahteraan anggota Babinkamtibmas. Perlu sosialisasi mengubah mindset di kalangan polisi sendiri.
Dengan serangkaian kendala yang dihadapi polisi saat ini, mampukah Polda Metro Jaya dan kekuatan binmas serta intelijennya menjaga Jakarta selama 24 jam? Tanpa gedung pengendali lalu lintas yang memiliki jaringan CCTV? Tanpa armada mobil patroli yang sedikit saja di bawah ideal?                                                             (Ratih P Sudarsono/ Windoro adi)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar