Laporan Akhir
Tahun Bidang Metropolitan
Menanti
Integrasi Bus
|
KOMPAS,
19 Desember 2012
Darmaningtyas (50) kerap
lama menunggu transjakarta tiba di halte. Alih-alih mendapat bus, vertigonya
malah kambuh. Direktur Institut Studi Transportasi ini pun akhirnya
menggunakan taksi meskipun harus membayar lebih mahal.
Transjakarta
merupakan bus rapid transit (BRT) yang dikembangkan di Jakarta mulai Januari
2004. Semula bus dengan jalur khusus ini diharapkan menjadi transportasi
ideal menembus kemacetan. Kini transjakarta justru menanggung aneka
persoalan.
Sedikitnya
tiga hal besar yang berimbas pada pelayanan. Jalur yang tidak steril sehingga
sulit mengatur kedatangan antarbus, kekurangan bus, hingga buruknya kualitas
dan kuantitas bahan bakar gas.
Belum
tuntas persoalan BRT, membentang sejumlah rencana megaproyek transportasi di
Jakarta, seperti kereta mass rapid transit (MRT), monorel, dan pembangunan
enam ruas tol dalam kota.
Gubernur
DKI Jakarta Joko Widodo menginginkan semua moda angkutan umum beroperasi dan
terintegrasi. Menurut Jokowi, MRT dan monorel diperlukan untuk mengatasi
kemacetan.
Fokus
pemerintah terpecah sehingga BRT akhirnya berkembang hanya sebatas penambahan
koridor. Tiga persoalan besar tidak terurai. Imbasnya sampai ke pelayanan,
termasuk yang dialami Darmaningtyas dan juga ratusan ribu penumpang lainnya.
Aneka
persoalan ini kian menjauhkan harapan untuk mendapatkan transportasi publik
yang bisa mengakomodasi 60 persen perjalanan di Jakarta. Padahal, amanat ini
tertera di Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Jakarta 2030.
Arsitek
lanskap Nirwono Joga menggarisbawahi sentuhan manusia yang kini masih teramat
minim di sistem transportasi Jakarta. Saat ini tidak banyak orangtua yang
berani melepaskan anak kecil berangkat sendiri ke sekolah dengan angkutan
umum. Begitu juga dengan orang lanjut usia, alasan utamanya adalah keamanan
dan keselamatan.
”Pendekatan
transportasi saat ini hanya soal mengangkut penumpang. Tidak ada sentuhan
manusia bisa kontak dengan kota,” ujarnya.
Kota
yang ideal, menurut Nirwono, memberikan ruang yang luas bagi pejalan kaki
atau pesepeda sehingga orang bisa berpindah tempat sembari menikmati
keindahan kota. Hal ini bisa terwujud jika orientasi pembangunan pada
transportasi umum yang tepat dan terintegrasi, termasuk penyediaan trotoar.
Apabila
pembenahan transportasi publik tidak kunjung terselesaikan, penggunaan
kendaraan pribadi akan semakin masif. Apalagi, penduduk Jakarta dalam draf
Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) 2030 diperkirakan 12,5 juta jiwa, naik
sekitar 3 juta jiwa dibandingkan hasil Sensus Penduduk Badan Pusat Statistik
2010. Penambahan penduduk berimplikasi pada tumbuhnya kebutuhan perjalanan.
Pertumbuhan
penduduk itu belum termasuk penduduk di sekitar Jakarta yang mencari nafkah
di Ibu Kota. Artinya, ke depan kebutuhan perjalanan komuter semakin berlipat.
Salah
satu bentuk integrasi bus yang sudah terlihat ialah transjakarta dan angkutan
perbatasan terintegrasi busway (APTB). Sampai dengan pertengahan Desember
sudah ada empat koridor APTB yang beroperasi. Meskipun demikian, tidak semua
rute APTB menarik bagi pengguna.
Idealnya,
integrasi bukan sebatas fisik bus APTB yang masuk ke busway saja, melainkan
harus lebih dari itu. Pemerintah Provinsi DKI harus melakukan kebijakan
integrasi yang menyeluruh, termasuk manajemen dan tiket.
Integrasi
sejatinya juga bisa diterapkan pada bus sedang. Rencana Pemprov DKI Jakarta
memberikan hibah bus bisa juga difasilitasi dalam sebuah skema integrasi
terpadu bus di Jakarta dalam satu atap.
Berdasarkan
hasil studi Institute for Transportation and Development Policy (ITDP),
sinergi transjakarta dengan bus lain sebaiknya dimulai dengan bus yang
melayani ”jalur gemuk” dan memiliki persinggungan jalur dengan transjakarta.
Dengan
begitu, penumpang bisa berpindah dari transjakarta ke bus lain tanpa harus
keluar halte transjakarta.
Sementara
operator bus dibayar berdasarkan ritase yang dilayani setiap hari. Selama
ini, operator APTB mendapatkan pembayaran berdasarkan jumlah penumpang.
Sekretaris
Jenderal Masyarakat Transportasi Indonesia Ellen Tangkudung mengatakan,
persoalan integrasi ini belum terpecahkan. Selain itu, penataan ruang kota
juga masih semrawut. Hal ini terlihat dari sejumlah pusat kegiatan seperti
perumahan, kantor, kawasan perdagangan, ataupun tempat hiburan tumbuh tanpa
diikuti pembangunan transportasi publik yang memadai dan saling terhubung.
Pengamat
perkotaan Yayat Supriyatna mengatakan, dalam sekali pameran mobil angka
penjualan kendaraan mencapai Rp 4,5 triliun. Mobil yang laku terjual bukanlah
mobil untuk angkutan umum, tetapi mobil pribadi. Ini menunjukkan orang masih
mengandalkan kendaraan pribadi sebagai solusi.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar