Jumat, 07 Desember 2012

Ancaman Gaya Hidup


Ancaman Gaya Hidup
Lusiana Dewi ;  Guru TK UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
SUARA KARYA, 04 Desember 2012


Mantan Ketua KPK, Busyro Muqoddas, pada suatu majelis ma'iyah di Universitas Islam (UII) Yogyakarta pernah mengatakan tentang suatu penelitian yang menyebutkan kualitas dosen dan mahasiswa di Indonesia beradat pada tingkat rendah di Asia Tenggara. Akan tetapi, pembangunan pusat-pusat belanja menjadi hal yang terpesat di dunia. Ini mengindiasikan bahwa minat dan keseriusan dalam pendidikan masyarakat Indonesia sangat rendah, sementara gaya hidupnya tinggi.
Tentunya, orang yang berpikiran positif sangat menyayangkan realitas itu. Bagaimana tidak, masyarakat di negara berpenduduk besar ini lebih mementingkan gaya hidup dari pada pendidikan. Tentu, ini menjadi pukulan yang menghempaskan citra pendidikan di Indonesia.
Padahal, Jean Baudrillard telah mengingatkan akan budaya konsumerisme yang memicu gaya hidup hedonisme tersebut. Budaya konsumerisme adalah suatu perilaku yang seakan-akan mengultuskan kode pada suatu benda. Dengan demikian, seseorang yang telah terjangkit budaya konsumerisme akan lebih mementingkan kode yang terkandung pada suatu benda dari pada fungsi benda itu sendiri.
Jika seorang yang memegang prinsip konsumerisme tersebut dihadapkan pada beberapa pilihan. Misalnya, memilih kaos, maka pertimbangannya adalah kode bukan melihat fugsinya sebagai pakaian penutup badan. Mereka ini lebih memilih kaos bermerk dan berharga mahal daripada kaos biasa yang tidak bermerk terkenal sementara fungsi diabaikan. Kaos tersebut kemudian dipamerkan kepada khalayak bahwa ia adalah orang yang "mewah".
Budaya konsumerisme menggiring para konsumennya untuk terus berbelanja benda-benda yang memiliki kode-kode tinggi. Tidak hanya itu, bahkan tempat pembelian pun menjadi kode tertentu. Misalkan, jika ada beberapa kaos yang berkualitas sama, akan tetapi tempat penjualannya berbeda, tentunya hal itu juga menjadi perbedaan kode tersendiri. Seorang yang mengikuti pola konsumerisme akan lebih memilih membeli di tempat-tempat mewah, seperti mal, butik, dan toko-toko terkenal. Barang dengan kualitas sama tetapi dijual di pasar atau pinggir jalan dengan harga jauh lebih murah tidak mendapatkan perhatiannya hanya karena kode bukan fungsinya.
Budaya konsumerisme seperti ini tentunya memicu masyarakat untuk berperilaku hedonis. Jika sudah begitu, segala hal diabaikannya dan memilih kemewahan sebagai jalan hidupnya. Padahal, masih banyak masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan di negeri ini. Mereka ini telah mengabaikan hal penting dan mendasar, yaitu pendidikan. Itu mengakibatkan otak-otak orisinil tersebut tidak ternutrisi dengan keluasan ilmu pengetahuan, akan tetapi hanya ada pemikiran untuk belanja, dan belanja sampai akhir hidup.
Jean Baudrillard memaparkan bahwa dalam masyarakat konsumen, hubungan manusia ditransformasikan dalam hubungan objek yang dikontrol oleh kode. Dengan kata lain, objek adalah tanda. Peru bedaan status dimaknai sebagai perbedaan konsumsi tanda, sehingga kekayaan diukur dari banyaknya tanda yang dikonsumsi. Mengonsumsi objek tertentu menandakan seseorang itu berbeda atau dianggap sama dengan kelompok sosial tertentu. Dengan demikian, kode mengambil fungsi kontrol terhadap individu.
Baudrillard juga memandang bahwa proses konsumsi dapat dianalisis dalam perspektif dua aspek yang mendasar. Pertama, sebagai proses signifikansi dan komunikasi yang didasarkan pada peraturan (kode) di mana praktik-praktik konsumsi masuk dan mengambil maknanya. Kedua, sebagai proses klasifikasi dan diferensiasi sosial, di mana kali ini objek-objek atau tanda-tanda ditahbiskan bukan hanya sebagai perbedaan yang signifikan dalam satu kode tetapi sebagai nilai yang sesuai (aturan) dalam sebuah hierarki.
Ada yang salah dengan sistem gaya hidup hedonisme seperti itu yang tentunya memiliki berbagai akibat fatal. Antara lain, pertama, gaya hidup hedonisme-konsumerisme akan memicu perspektif kode bahwa yang baik adalah yang mahal dan dibeli dari tempat-tempat atau pusat perbelenjaan elite. Dengan demikian, perspektif tersebut akan menjadi suatu branding tersendiri di mata masyarakat untuk berlomba-lomba berbelanja. Sementara itu, perilaku hidup sederhana ditinggalkan. Jika sudah seperti itu, sikap boros pada masyarakat sudah tidak dapat terhindarkan lagi.
Kedua, perilaku hedonisme-konsumerisme tersebut akan menumpulkan otak manusia untuk bernalar kritis. Terutama pada kalangan pemuda (remaja) dan atau kalangan mahasiswa. Keseriusan mereka akan pentingnya pendidikan akan tergerus dan terkikis dengan konsep belanja seumur hidup. Padahal, tidak jarang mahasiswa di masa kini yang tidak bisa mandiri alias masih mengandalkan uang saku dari orangtua. Akibatnya, mahasiswa menjadi manja, malas dan tidak mau bekerja keras, tidak mau berpikir kritis, dan segan untuk membudayakan tradisi keilmuan. Mereka tidak jarang menjadikan kuliah atau sekolah hanya sebagai gaya hidup, obsesi, dan hanya sekadar memiliki ijazah sarjana tanpa prestasi kemandirian.
Bukan aneh jika generasi muda atau mahasiswa seperti itu memiliki moralitas yang tidak terpuji. Amoralitas pun menjadi buntut dari persoalan tersebut. Maka, perilaku seks bebas, tawuran mahasiswa atau pelajar, dan berbagai tindakan amoral lainnya gampang terjadi.
Ketiga, perilaku hedonisme-konsumerisme tersebut memacu pertumbuhan kapitalisme di Indonesia yang pada akhirnya akan menjatuhkan perekonomian rakyat kelas menengah ke bawah. Mereka akan lebih senang berbelanja di pusat-pusat perbelanjaan mewah, sementara pasar yang menjadi jantung perekonomian rakyat semakin tidak laku.
Akibatnya, kapitalisme akan lebih banyak memakan korban. Dampaknya angka kemiskinan semakin meningkat, sementara para aktor kapitalisme akan menari-nari di atas kepedihan masyarakat. Akhirnya bangsa ini akan tergadai dan kembali terjajah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar