Ancaman Gaya
Hidup
Lusiana Dewi ; Guru TK UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
|
SUARA
KARYA, 04 Desember 2012
Mantan
Ketua KPK, Busyro Muqoddas, pada suatu majelis ma'iyah di Universitas Islam
(UII) Yogyakarta pernah mengatakan tentang suatu penelitian yang menyebutkan
kualitas dosen dan mahasiswa di Indonesia beradat pada tingkat rendah di Asia
Tenggara. Akan tetapi, pembangunan pusat-pusat belanja menjadi hal yang
terpesat di dunia. Ini mengindiasikan bahwa minat dan keseriusan dalam
pendidikan masyarakat Indonesia sangat rendah, sementara gaya hidupnya
tinggi.
Tentunya,
orang yang berpikiran positif sangat menyayangkan realitas itu. Bagaimana
tidak, masyarakat di negara berpenduduk besar ini lebih mementingkan gaya
hidup dari pada pendidikan. Tentu, ini menjadi pukulan yang menghempaskan
citra pendidikan di Indonesia.
Padahal,
Jean Baudrillard telah mengingatkan akan budaya konsumerisme yang memicu gaya
hidup hedonisme tersebut. Budaya konsumerisme adalah suatu perilaku yang
seakan-akan mengultuskan kode pada suatu benda. Dengan demikian, seseorang
yang telah terjangkit budaya konsumerisme akan lebih mementingkan kode yang
terkandung pada suatu benda dari pada fungsi benda itu sendiri.
Jika
seorang yang memegang prinsip konsumerisme tersebut dihadapkan pada beberapa
pilihan. Misalnya, memilih kaos, maka pertimbangannya adalah kode bukan
melihat fugsinya sebagai pakaian penutup badan. Mereka ini lebih memilih kaos
bermerk dan berharga mahal daripada kaos biasa yang tidak bermerk terkenal
sementara fungsi diabaikan. Kaos tersebut kemudian dipamerkan kepada khalayak
bahwa ia adalah orang yang "mewah".
Budaya
konsumerisme menggiring para konsumennya untuk terus berbelanja benda-benda
yang memiliki kode-kode tinggi. Tidak hanya itu, bahkan tempat pembelian pun
menjadi kode tertentu. Misalkan, jika ada beberapa kaos yang berkualitas
sama, akan tetapi tempat penjualannya berbeda, tentunya hal itu juga menjadi
perbedaan kode tersendiri. Seorang yang mengikuti pola konsumerisme akan
lebih memilih membeli di tempat-tempat mewah, seperti mal, butik, dan
toko-toko terkenal. Barang dengan kualitas sama tetapi dijual di pasar atau
pinggir jalan dengan harga jauh lebih murah tidak mendapatkan perhatiannya hanya
karena kode bukan fungsinya.
Budaya
konsumerisme seperti ini tentunya memicu masyarakat untuk berperilaku
hedonis. Jika sudah begitu, segala hal diabaikannya dan memilih kemewahan
sebagai jalan hidupnya. Padahal, masih banyak masyarakat yang hidup di bawah
garis kemiskinan di negeri ini. Mereka ini telah mengabaikan hal penting dan
mendasar, yaitu pendidikan. Itu mengakibatkan otak-otak orisinil tersebut
tidak ternutrisi dengan keluasan ilmu pengetahuan, akan tetapi hanya ada
pemikiran untuk belanja, dan belanja sampai akhir hidup.
Jean
Baudrillard memaparkan bahwa dalam masyarakat konsumen, hubungan manusia
ditransformasikan dalam hubungan objek yang dikontrol oleh kode. Dengan kata
lain, objek adalah tanda. Peru bedaan status dimaknai sebagai perbedaan
konsumsi tanda, sehingga kekayaan diukur dari banyaknya tanda yang
dikonsumsi. Mengonsumsi objek tertentu menandakan seseorang itu berbeda atau
dianggap sama dengan kelompok sosial tertentu. Dengan demikian, kode
mengambil fungsi kontrol terhadap individu.
Baudrillard
juga memandang bahwa proses konsumsi dapat dianalisis dalam perspektif dua
aspek yang mendasar. Pertama, sebagai proses signifikansi dan komunikasi yang
didasarkan pada peraturan (kode) di mana praktik-praktik konsumsi masuk dan
mengambil maknanya. Kedua, sebagai proses klasifikasi dan diferensiasi
sosial, di mana kali ini objek-objek atau tanda-tanda ditahbiskan bukan hanya
sebagai perbedaan yang signifikan dalam satu kode tetapi sebagai nilai yang
sesuai (aturan) dalam sebuah hierarki.
Ada
yang salah dengan sistem gaya hidup hedonisme seperti itu yang tentunya
memiliki berbagai akibat fatal. Antara lain, pertama, gaya hidup
hedonisme-konsumerisme akan memicu perspektif kode bahwa yang baik adalah
yang mahal dan dibeli dari tempat-tempat atau pusat perbelenjaan elite.
Dengan demikian, perspektif tersebut akan menjadi suatu branding tersendiri
di mata masyarakat untuk berlomba-lomba berbelanja. Sementara itu, perilaku
hidup sederhana ditinggalkan. Jika sudah seperti itu, sikap boros pada masyarakat
sudah tidak dapat terhindarkan lagi.
Kedua,
perilaku hedonisme-konsumerisme tersebut akan menumpulkan otak manusia untuk
bernalar kritis. Terutama pada kalangan pemuda (remaja) dan atau kalangan
mahasiswa. Keseriusan mereka akan pentingnya pendidikan akan tergerus dan
terkikis dengan konsep belanja seumur hidup. Padahal, tidak jarang mahasiswa
di masa kini yang tidak bisa mandiri alias masih mengandalkan uang saku dari
orangtua. Akibatnya, mahasiswa menjadi manja, malas dan tidak mau bekerja
keras, tidak mau berpikir kritis, dan segan untuk membudayakan tradisi
keilmuan. Mereka tidak jarang menjadikan kuliah atau sekolah hanya sebagai
gaya hidup, obsesi, dan hanya sekadar memiliki ijazah sarjana tanpa prestasi
kemandirian.
Bukan
aneh jika generasi muda atau mahasiswa seperti itu memiliki moralitas yang
tidak terpuji. Amoralitas pun menjadi buntut dari persoalan tersebut. Maka,
perilaku seks bebas, tawuran mahasiswa atau pelajar, dan berbagai tindakan
amoral lainnya gampang terjadi.
Ketiga,
perilaku hedonisme-konsumerisme tersebut memacu pertumbuhan kapitalisme di
Indonesia yang pada akhirnya akan menjatuhkan perekonomian rakyat kelas
menengah ke bawah. Mereka akan lebih senang berbelanja di pusat-pusat
perbelanjaan mewah, sementara pasar yang menjadi jantung perekonomian rakyat
semakin tidak laku.
Akibatnya, kapitalisme
akan lebih banyak memakan korban. Dampaknya angka kemiskinan semakin
meningkat, sementara para aktor kapitalisme akan menari-nari di atas
kepedihan masyarakat. Akhirnya bangsa ini akan tergadai dan kembali terjajah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar