Mengurai
Ketegangan Relasi Islam-Barat
Ahmad Fuad Fanani ; Direktur Riset MAARIF Institute
for Culture
and Humanity, Jakarta
|
SINAR
HARAPAN, 14 Desember 2012
SELAMA
ini, relasi Islam dan Barat sering ada masalah dan terjadi ketegangan karena
dipicu oleh problem-problem dan kesalahpahaman yang sering muncul, baik
disengaja maupun tidak disengaja. Gelombang protes terhadap film Innocence of Muslims di berbagai negara
yang beberapa waktu lalu bergulir adalah salah satu contoh problem baru dalam
relasi itu.
Sebagian umat Islam menganggap film itu menghina dan
menistakan Islam. Kedutaan Amerika Serikat di berbagai negara menjadi sasaran
demonstrasi dan di Libia para diplomat Amerika menjadi korbannya. Film ini
pun akhirnya menjadi isu baru ketegangan hubungan antara Islam dan Barat
serta sentimen anti-Amerika pasca tragedi 11/9.
Sejatinya, pihak yang melakukan penayangan film dan
maupun kelompok yang memprotesnya sama-sama harus melakukan introspeksi.
Meski bisa berlindung di bawah dalih “freedom
of speech and expression”, tampak jelas bahwa penayangan film itu
menghina dan menistakan umat agama lain.
Kebebasan hendaknya bukan hanya untuk kebebasan itu
sendiri, tapi prinsip “freedom for”
hendaknya juga dipertimbangkan.
Meskipun umat Islam punya hak untuk melakukan
demonstrasi dan pembelaan terhadap agamanya apabila dilecehkan, namun
hendaknya film ini tidak disikapi secara emosional. Jangan sampai umat Islam
terprovokasi dengan propaganda murahan dan tergiring pada konflik baru yang
tidak produktif.
Agar dampak negatif dari film dan gelombang protes ini
tidak terulang lagi di masa yang akan datang, kita perlu secara objektif
memahami masalah ini dan mencari solusi alternatifnya. Masa lalu dan masa
depan hubungan Islam-Barat hendaknya perlu dipertimbangkan dan perlu analisis
yang seimbang terhadap persoalan ini.
Di samping itu, Indonesia sebagai tempat mayoritas umat
Islam di seluruh Indonesia, seyogianya menawarkan solusi yang mencerahkan dan
produktif. Umat Islam Indonesia diharapkan bisa memberi tawaran alternatif
untuk masa depan kemanusiaan yang lebih adil dan cerah dalam relasi Islam dan
Barat ini.
Propaganda Anti-Islam
Kemunculan film Innocence of Muslims tidak bisa
dipisahkan dari berbagai peristiwa di penjuru dunia yang menyangsikan Islam
sebagai agama yang ramah dan toleran. Misalnya, rencana pembakaran Alquran
oleh pendeta Terry Jones yang akhirnya dibatalkan, ulah politikus ultrakanan
Geert Wilders di Belanda yang menghina Islam, hingga peristiwa di beberapa
negara Eropa yang politikusnya menyatakan kaum imigran dari dunia muslim
mengancam eksistensi penduduk asli.
Peristiwa pemuatan kartun tentang Nabi Muhammad di
harian Denmark pada 2006 pun menjadi rangkaian dari peristiwa ini. Penayangan
film ini di YouTube konon juga atas dorongan pendeta Terry Jones. Semua
peristiwa itu menempatkan umat Islam dalam posisi yang sulit dan tersudut.
Meski beberapa pihak menyudutkan Islam dengan berbagai
cara, tidak semua kalangan terpengaruh dengan provokasi penistaan agama itu.
Di kalangan Barat pun banyak yang menaruh simpati terhadap Islam dan mengecam
perilaku sebagian orang yang tidak objektif memandang agama ini.
Meski di kalangan akademikus Barat masih muncul
orang-orang yang berparadigma “oposisi-biner” terhadap Islam, di antara
mereka bermunculan banyak akademikus yang empati terhadap Islam dan
mengkajinya secara serius dan objektif.
Yang lebih penting lagi, sebagian besar umat Islam di
dunia tidak mudah terprovokasi dengan ulah negatif orang-orang gemar yang
menyudutkan Islam dan menistakan agama itu. Dengan begitu, relasi Islam-Barat
tidak diwarnai oleh clash of
civilizations–sebagaimana digambarkan oleh Samuel P Huntington (1993) dan
diamini oleh banyak pihak itu.
Berkaitan dengan itu, Omid Safi, profesor studi agama
di Universitas North Carolina, AS, menyatakan perlu sikap yang seimbang dalam
merespons propaganda film yang menistakan agama ini. Dia menyatakan film ini
memang dibuat oleh orang yang mengatasnamakan “freedom of speech” untuk menyebarkan “hate speech”.
Peristiwa ini juga diboncengi oleh Al-Qaeda yang
memanfaatkan momentum peringatan 11 September untuk meluapkan sentimen
anti-Amerika. Oleh karenanya, kita bisa memilih sikap meniru tindakan
komunitas ekstremis Yahudi dan ekstremis Kristen yang menunganggi film ini
atau sikap yang lain (www.religionnews.com/blogs/omid-safi).
Seyogianya kita memilih jalan alternatif dengan
mengedepankan prinsip kemanusiaan dan dialog untuk masa depan peradaban.
Dengan jalan alternatif itu, kita tidak terseret pada arus provokasi
penistaan agama yang banyak merugikan itu.
Dengan pandangan seperti yang dikemukakan Omid Safi di
atas, umat Islam menjadi tidak mudah terbawa arus gelombang isu-isu yang
diciptakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Umat Islam pun akan lebih fokus mengejar
ketertinggalannya dengan melakukan kompetisi yang fair di bidang ekonomi,
teknologi, ilmu pengetahuan, dan budaya. Apa yang telah dilakukan para
pemimpin Islam di Iran dan Malaysia yang banyak berusaha memajukan pendidikan
dan ekonomi penduduknya patut ditiru oleh negara Islam lainnya.
Urgensi Jalan Keluar
Untuk menyikapi provokasi penistaan agama dan mengurai
ketegangan hubungan antara Islam dan Barat yang sering muncul ke permukaan,
gagasan Mohammad Khatami tentang dialog antarperadaban patut kita renungkan
kembali. Menurut Khatami, dalam dialogue
among civilizations and cultures hendaknya berbasis pada pada kebenaran
dan kejujuran.
Dialog antarperadaban juga meniscayakan adanya
keinginan mendengarkan pada dan menyimak dari peradaban-peradaban dan budaya
lain. Pentingnya mendengarkan ini berarti mensyaratkan kurangnya porsi
berbicara ke yang lain (Dialogue
Between East and West, 1999). Dalam mendialogkan masalah-masalah dunia,
sosial, dan peradaban seperti kasus film ini, hendaknnya prinsip yang
ditawarkan oleh Khatami tersebut harus dilakukan secara serius.
Dialog yang tulus seharusnya berdasarkan pada prinsip
kebebasan dan kehendak bebas untuk mengemukakan pendapat dan menerima
pendapat orang lain. Di situ, tidak boleh ada pemaksaan pendapat dan
keinginan untuk mendominasi dialog.
Model dialog seperti inilah yang semestinya dilakukan
oleh para pemimpin Islam dan khususnya pemerintah Indonesia dalam melakukan
diplomasi untuk menyikapi film yang menistakan agama ini. Jalur diplomasi
akan lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan jalur demonstrasi yang
bisa menyulut kekerasan dan membuat buntu dialog.
Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia dan
negara muslim terbesar yang menerapkan demokrasi, Indonesia harus berperan
aktif menyikapi provokasi penistaan agama ini. Indonesia harus mampu menjadi
garda depan pencarian jalan alternatif untuk mengakhiri provokasi murahan
penistaan agama ini.
Pemerintah dan para tokoh agama harus mampu menjadi
jembatan dialog antara umat Islam dan Barat dengan aktif melakukan diplomasi
publik yang serius dan berkesinambungan.
Pemerintah pun harus melobi dan meyakinkan
negara-negara muslim lain bahwa jangan sampai umat Islam tersulut dengan
provokasi penistaan agama itu. Pemerintah hendaknya menggalang solidaritas
international agar kasus ini segera berhenti dan kasus serupa yang mengganggu
relasi Islam-Barat tidak akan terulang lagi di masa depan. Wallahu A’lam Bisshawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar