Sabtu, 15 Desember 2012

Mengurai Ketegangan Relasi Islam-Barat


Mengurai Ketegangan Relasi Islam-Barat
Ahmad Fuad Fanani ;  Direktur Riset MAARIF Institute
for Culture and Humanity, Jakarta
SINAR HARAPAN, 14 Desember 2012


SELAMA ini, relasi Islam dan Barat sering ada masalah dan terjadi ketegangan karena dipicu oleh problem-problem dan kesalahpahaman yang sering muncul, baik disengaja maupun tidak disengaja. Gelombang protes terhadap film Innocence of Muslims di berbagai negara yang beberapa waktu lalu bergulir adalah salah satu contoh problem baru dalam relasi itu.

Sebagian umat Islam menganggap film itu menghina dan menistakan Islam. Kedutaan Amerika Serikat di berbagai negara menjadi sasaran demonstrasi dan di Libia para diplomat Amerika menjadi korbannya. Film ini pun akhirnya menjadi isu baru ketegangan hubungan antara Islam dan Barat serta sentimen anti-Amerika pasca tragedi 11/9.

Sejatinya, pihak yang melakukan penayangan film dan maupun kelompok yang memprotesnya sama-sama harus melakukan introspeksi. Meski bisa berlindung di bawah dalih “freedom of speech and expression”, tampak jelas bahwa penayangan film itu menghina dan menistakan umat agama lain.

Kebebasan hendaknya bukan hanya untuk kebebasan itu sendiri, tapi prinsip “freedom for” hendaknya juga dipertimbangkan.

Meskipun umat Islam punya hak untuk melakukan demonstrasi dan pembelaan terhadap agamanya apabila dilecehkan, namun hendaknya film ini tidak disikapi secara emosional. Jangan sampai umat Islam terprovokasi dengan propaganda murahan dan tergiring pada konflik baru yang tidak produktif.

Agar dampak negatif dari film dan gelombang protes ini tidak terulang lagi di masa yang akan datang, kita perlu secara objektif memahami masalah ini dan mencari solusi alternatifnya. Masa lalu dan masa depan hubungan Islam-Barat hendaknya perlu dipertimbangkan dan perlu analisis yang seimbang terhadap persoalan ini.

Di samping itu, Indonesia sebagai tempat mayoritas umat Islam di seluruh Indonesia, seyogianya menawarkan solusi yang mencerahkan dan produktif. Umat Islam Indonesia diharapkan bisa memberi tawaran alternatif untuk masa depan kemanusiaan yang lebih adil dan cerah dalam relasi Islam dan Barat ini.

Propaganda Anti-Islam

Kemunculan film Innocence of Muslims tidak bisa dipisahkan dari berbagai peristiwa di penjuru dunia yang menyangsikan Islam sebagai agama yang ramah dan toleran. Misalnya, rencana pembakaran Alquran oleh pendeta Terry Jones yang akhirnya dibatalkan, ulah politikus ultrakanan Geert Wilders di Belanda yang menghina Islam, hingga peristiwa di beberapa negara Eropa yang politikusnya menyatakan kaum imigran dari dunia muslim mengancam eksistensi penduduk asli.

Peristiwa pemuatan kartun tentang Nabi Muhammad di harian Denmark pada 2006 pun menjadi rangkaian dari peristiwa ini. Penayangan film ini di YouTube konon juga atas dorongan pendeta Terry Jones. Semua peristiwa itu menempatkan umat Islam dalam posisi yang sulit dan tersudut.

Meski beberapa pihak menyudutkan Islam dengan berbagai cara, tidak semua kalangan terpengaruh dengan provokasi penistaan agama itu. Di kalangan Barat pun banyak yang menaruh simpati terhadap Islam dan mengecam perilaku sebagian orang yang tidak objektif memandang agama ini.

Meski di kalangan akademikus Barat masih muncul orang-orang yang berparadigma “oposisi-biner” terhadap Islam, di antara mereka bermunculan banyak akademikus yang empati terhadap Islam dan mengkajinya secara serius dan objektif.

Yang lebih penting lagi, sebagian besar umat Islam di dunia tidak mudah terprovokasi dengan ulah negatif orang-orang gemar yang menyudutkan Islam dan menistakan agama itu. Dengan begitu, relasi Islam-Barat tidak diwarnai oleh clash of civilizations–sebagaimana digambarkan oleh Samuel P Huntington (1993) dan diamini oleh banyak pihak itu.

Berkaitan dengan itu, Omid Safi, profesor studi agama di Universitas North Carolina, AS, menyatakan perlu sikap yang seimbang dalam merespons propaganda film yang menistakan agama ini. Dia menyatakan film ini memang dibuat oleh orang yang mengatasnamakan “freedom of speech” untuk menyebarkan “hate speech”.

Peristiwa ini juga diboncengi oleh Al-Qaeda yang memanfaatkan momentum peringatan 11 September untuk meluapkan sentimen anti-Amerika. Oleh karenanya, kita bisa memilih sikap meniru tindakan komunitas ekstremis Yahudi dan ekstremis Kristen yang menunganggi film ini atau sikap yang lain (www.religionnews.com/blogs/omid-safi).

Seyogianya kita memilih jalan alternatif dengan mengedepankan prinsip kemanusiaan dan dialog untuk masa depan peradaban. Dengan jalan alternatif itu, kita tidak terseret pada arus provokasi penistaan agama yang banyak merugikan itu.
Dengan pandangan seperti yang dikemukakan Omid Safi di atas, umat Islam menjadi tidak mudah terbawa arus gelombang isu-isu yang diciptakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

Umat Islam pun akan lebih fokus mengejar ketertinggalannya dengan melakukan kompetisi yang fair di bidang ekonomi, teknologi, ilmu pengetahuan, dan budaya. Apa yang telah dilakukan para pemimpin Islam di Iran dan Malaysia yang banyak berusaha memajukan pendidikan dan ekonomi penduduknya patut ditiru oleh negara Islam lainnya.

Urgensi Jalan Keluar

Untuk menyikapi provokasi penistaan agama dan mengurai ketegangan hubungan antara Islam dan Barat yang sering muncul ke permukaan, gagasan Mohammad Khatami tentang dialog antarperadaban patut kita renungkan kembali. Menurut Khatami, dalam dialogue among civilizations and cultures hendaknya berbasis pada pada kebenaran dan kejujuran.

Dialog antarperadaban juga meniscayakan adanya keinginan mendengarkan pada dan menyimak dari peradaban-peradaban dan budaya lain. Pentingnya mendengarkan ini berarti mensyaratkan kurangnya porsi berbicara ke yang lain (Dialogue Between East and West, 1999). Dalam mendialogkan masalah-masalah dunia, sosial, dan peradaban seperti kasus film ini, hendaknnya prinsip yang ditawarkan oleh Khatami tersebut harus dilakukan secara serius.

Dialog yang tulus seharusnya berdasarkan pada prinsip kebebasan dan kehendak bebas untuk mengemukakan pendapat dan menerima pendapat orang lain. Di situ, tidak boleh ada pemaksaan pendapat dan keinginan untuk mendominasi dialog.
Model dialog seperti inilah yang semestinya dilakukan oleh para pemimpin Islam dan khususnya pemerintah Indonesia dalam melakukan diplomasi untuk menyikapi film yang menistakan agama ini. Jalur diplomasi akan lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan jalur demonstrasi yang bisa menyulut kekerasan dan membuat buntu dialog.

Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia dan negara muslim terbesar yang menerapkan demokrasi, Indonesia harus berperan aktif menyikapi provokasi penistaan agama ini. Indonesia harus mampu menjadi garda depan pencarian jalan alternatif untuk mengakhiri provokasi murahan penistaan agama ini.

Pemerintah dan para tokoh agama harus mampu menjadi jembatan dialog antara umat Islam dan Barat dengan aktif melakukan diplomasi publik yang serius dan berkesinambungan.

Pemerintah pun harus melobi dan meyakinkan negara-negara muslim lain bahwa jangan sampai umat Islam tersulut dengan provokasi penistaan agama itu. Pemerintah hendaknya menggalang solidaritas international agar kasus ini segera berhenti dan kasus serupa yang mengganggu relasi Islam-Barat tidak akan terulang lagi di masa depan. Wallahu A’lam Bisshawab. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar