Budaya
Mengundurkan Diri
Jeffrie Geovanie ; Founder The Indonesian Institute
|
SINAR
HARAPAN, 14 Desember 2012
DI negeri ini,
seseorang yang dengan sukarela mundur dari jabatan yang didudukinya layak
untuk diapresiasi, apalagi yang ditinggalkan adalah jabatan menteri yang
secara normatif menjadi hak prerogatif presiden.
Banyak menteri
yang minim prestasi atau bahkan ditengarai terlibat korupsi, tidak mau mundur
karena “bersembunyi” di balik hak prerogatif presiden. Dengan begitu, selama
presiden tidak memecat, sebesar apa pun masalah yang dihadapi sang menteri,
ia akan tetap bertahan di kursinya.
Andi Alifian
Mallarangeng adalah salah satu menteri yang tidak mau bersembunyi di balik
hak prerogatif presiden. Setelah dicekal dan dinyatakan tersangka oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus korupsi proyek pembangunan Pusat
Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional di Hambalang, Jawa
Barat, ia segera mengajukan pengunduran diri pada presiden, tanpa banyak
basa-basi, tanpa banyak argumentasi.
Dalam Kabinet
Indonesia Bersatu II, Andi memang bukan menteri pertama yang mengundurkan diri
akibat terjerat masalah. Sebelumnya, sudah ada Suharso Monoarfa, Menteri
Perumahan Rakyat yang juga dengan tanpa banyak berargumen, mengundurkan diri
dari jabatannya.
Padahal bila
dilihat dari kinerjanya, Suharso termasuk menteri yang cukup bagus. Ia mundur
“hanya” karena berpoligami, dan digugat cerai oleh salah satu istrinya. Suatu
masalah yang sejatinya tak ada kaitan langsung dengan tugas-tugas yang
diembannya.
Dalam kasus
korupsi, sejak awal era Orde Baru hingga saat ini, Andi merupakan
satu-satunya menteri aktif yang tersangka dan mundur dari jabatannya jauh
sebelum vonis dijatuhkan.
Oleh karena
itulah, di luar sangkaan korupsi yang tengah dihadapi, langkahnya mundur bisa
menjadi contoh yang baik, seperti oase di padang tandus karena kita sudah
begitu lama merindukan seorang menteri aktif yang langsung mundur setelah
dinyatakan tersangka, tidak menunggu sampai terdakwa, apalagi menunggu
jatuhnya vonis pengadilan. Seperti kita tahu, sejauh ini masih banyak pejabat
publik –bupati, gubernur, dan lain-lain—yang diduga korupsi tapi tetap
bersikukuh di kursinya masing-masing.
Di negeri ini,
mengundurkan diri belum membudaya. Pejabat yang bermasalah biasanya tetap
berusaha sekuat tenaga dengan berbagai cara untuk mempertahankan jabatannya.
Di sinilah
nilai positif Andi yang bersikap kesatria mundur seraya meminta maaf kepada
seluruh rakyat Indonesia. Penting untuk ditegaskan bahwa sikap kesatria ini
tidak ada kaitannya dengan persoalan benar dan salah. Statusnya sebagai
tersangka tetap harus dibuktikan melalui proses pengadilan yang fair.
Di sejumlah
negara maju, baik di Barat maupun di Timur, mundur dari jabatan karena
tersangkut masalah sudah menjadi budaya yang sudah melekat. Di Amerika
Serikat misalnya, belum lama ini direktur pusat mata-mata atau Central Intelligence Agency (CIA),
David Petraeus mundur dari jabatannya karena diduga menjalin hubungan secara
tidak sah dengan penulis biografinya, Paula Broadwell.
Padahal di
negeri yang menjunjung tinggi kebebasan ini, skandal seks merupakan hal yang
biasa, namun jika skandal itu dilakukan oleh pejabat publik, akan menjadi
cerita yang luar biasa.
Di Korea
Selatan, belum lama ini jaksa agung Han Sang-Dae mengundurkan diri dari
jabatannya karena ada anak buahnya yang terlibat suap dan gratifikasi seks.
Jauh sebelum ini, Perdana Menteri Lee Hae-chan juga mundur karena merasa
gagal mengemban amanat rakyat Korea Selatan.
Bahkan Wakil
Menteri Pendidikan, Lee Gi-woo mundur dari jabatannya hanya gara-gara main
golf dengan para pengusaha ketika ribuan buruh kereta api tengah mogok massal
di negaranya.
Amanat Rakyat
Mengapa budaya
mengundurkan diri penting kita suarakan? Antara lain untuk menegaskan bahwa
hakikat dari jabatan adalah untuk mengemban amanat rakyat dan untuk
menjalankan tugas sebaik-baiknya. Jika amanat dan tugas itu tak bisa atau
gagal dijalankan, mundur merupakan keniscayaan.
Apalagi pada
saat sang pejabat terbelit kasus hukum, dengan mengundurkan diri artinya
melepaskan kekuasaan agar proses peradilan bisa berjalan dengan fair. Jika tidak mau mundur dari jabatannya,
besar kemungkinan ia akan mempergunakan kekuasaannya untuk memengaruhi
jalannya proses hukum.
Mengundurkan
diri dari jabatan karena terjerat masalah merupakan keteladanan dan cermin
dari adanya rasa malu dan menjunjung tinggi tanggung jawab. Tanggung jawab
pejabat negara adalah memenuhi kebutuhan rakyatnya.
Ketika ia
gagal memenuhi kebutuhan itu lantaran korupsi atau kasus-kasus lain,
seyogianya dengan kesatria meminta maaf dan mengundurkan diri. Bagi setiap
pejabat yang tidak memperlakukan kekuasaan sebagai segala-galanya,
mengundurkan diri merupakan hal yang lumrah dan sangat beradab.
Rakyat punya
mata, telinga, dan naluri yang tajam. Rakyat tak bisa dikelabuhi dengan
argumentasi macam-macam untuk melindungi kesalahan.
Apalagi saat
kepercayaan kepada penegak hukum sudah kian menipis akibat banyaknya aparat
yang terjerat berbagai perkara, dari suap-menyuap hingga narkoba. Karena itu,
bagi yang terjerat masalah hukum, untuk mengundurkan diri dari jabatan yang
dibutuhkan hanya kepatutan, tak perlu menunggu vonis pengadilan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar