Mengembalikan
Solidaritas Sosial
Toto Suparto ; Pengkaji Masalah Etika
|
SUARA
MERDEKA, 20 Desember 2012
”Ketika pemimpin mempraktikkan pola hidup mengedepankan
kebersamaan, niscaya rakyat pun cenderung mengikuti”
SETIAP
memperingati Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN) tanggal 20 Desember,
senantiasa muncul pertanyaan; masih adakah sifat setia kawan di antara kita?
Jika memang masih bersetia kawan, mengapa kebersamaan terus tergerus?
Kini,
di antara kita acap saling serobot, saling membinasakan, saling melemahkan,
dan semua itu semata-mata demi kepentingan diri sendiri. Kemerebakan
bentrokan di penjuru negeri menjadi penguat bahwa kebersamaan itu tergerus.
Banyak yang
meyakini kebersamaan tergerus oleh globalisasi. Gelombang globalisasi
seolah-oleh mengembuskan semangat individualis. Jika ingin menang dalam
pertempuran di alam globalisasi maka pikirkan diri sendiri. Inilah
individualisme yang juga menggerogoti nilai-nilai kultural masyarakat.
Kebersamaan
juga dirongrong identitas komunal dan kedaerahan. Akibatnya, fondasi kesatuan
pelanpelan terkikis. Kondisi tersebut diperparah oleh otoritas kepemimpinan
yang terus melemah, dan dari yang lemah itu jangan harap muncul keteladanan.
Celaka
bilamana kebersamaan itu terus-menerus tergerus. Padahal, kebersamaan
merupakan inti dari kesetiakawanan sosial. Kalau mau melihat lebih ke dalam,
kesetiakawanan sosial mengandung ciri-ciri penting, yaitu kepedulian,
solidaritas, rasa sepenanggungan, kasih sayang, kebersamaan, dan ketulusan.
Mengacu kepada
ciri itu maka filsafat moral mengidentikkan kesetiakawanan sosial sebagai
solidaritas sosial. Menurut Emile Durkheim, solidaritas sosial adalah
''kesetiakawanan yang menunjuk pada satu keadaan hubungan antara individu
dan/ atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang
dianut bersama, yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama''.
Di sinilah
persoalan muncul. Kian hari solidaritas sosial itu makin melemah karena
kehilangan ”perasaan moral” dan ”pengalaman emosional” bersama. Mereka yang
berpandangan sinis pun mengemukakan solidaritas sosial sekadar seremonial. Ingatan
akan solidaritas sosial itu muncul tatkala bangsa ini tengah memeringati
HKSN. Upacara rampung, solidaritas sosial itu tertimbun rutinitas yang
individualistis.
Mengentalnya
sifat individualistis ini tak bisa dipisahkan dari persaingan hidup yang kian
ketat, bahkan ganas. Manusia Indonesia berada dalam kondisi keberjejalan
manusia. Istilah ini bukan sekadar menunjukkan kepadatan penduduk melainkan
penekanannya pada penggambaran pertarungan untuk survive yang didorong
perilaku agresi.
Di dalam keberjejalan
manusia itu terjadi ketidakseimbangan lingkungan dan sosial yang kemudian
menimbulkan persaingan tidak sehat. Dalam persaingan semacam ini terdapat
kecenderungan mereka yang kuat berusaha membinasakan yang lemah. Beberapa
indikator ”kuat” itu bisa saja berupa kekuasaan politik, kekuatan uang, fisik
hingga kekuatan ideologi. Dari sinilah menguat sifat auaupun sikap
individualistis.
Menekan
Kesenjangan
Jika
memperhatikan urgensi solidaritas sosial itu maka HKSN menjadi bermakna,
setidak-tidaknya mengingatkan bahwa kita hidup bermasyarakat tidak pantas
mengedepankan individualisme. Namun HKSN saja tidak cukup. Gema itu bisa
dihitung dalam kurun hari. Justru yang dibutuhkan adalah upaya-upaya
mengembalikan solidaritas sosial itu.
Upaya
mengembalikan solidaritas sosial itu tidak bisa sekadar dalam bentuk imbauan
atau ajakan, tetapi mesti lewat langkah konkret. Agenda menekan kesenjangan
merupakan kunci mengembalikan solidaritas sosial tersebut. Dalam hal
kesenjangan ini misalnya, mereka yang berpenghasilan tinggi mau mendengarkan
penderitaan kaum miskin. Umpamanya, pemerintah perlu menyusun program yang
menuntut adanya bentuk kebersamaan. Program itu melibatkan kemitraan si kuat
dan si lemah sehingga kesenjangan terkurangi.
Tak kalah
penting, jika diperhatikan tumbuhnya tunas solidaritas maka tak bisa
diabaikan peran media. Tatkala media rajin melaporkan orang-orang susah di
sekitar kita, saat itu pula memupuk tunas solidaritas tadi. Ini berarti kita
butuh media yang punya jiwa humanisme yang terus menerus menebar nilai-nilai
humanis kepada khalayak pembaca, pemirsa, ataupun pendengar. Media
diharapkan bisa menyuarakan mereka yang tidak bisa bersuara. Dalam konteks
ini jelas bahwa humanisme membuat media peka terhadap penderitaan sesama
manusia.
Pada akhirnya,
mengembalikan solidaritas itu butuh teladan. Rakyat melihat ulah para
pemimpin. Maka, ketika pemimpin mempraktikkan pola hidup yang mengedepankan
kebersamaan, niscaya rakyat pun cenderung mengikuti. Sebaliknya, jika
pemimpin bersikap individualisme maka rakyat pun lebih mementingkan diri
sendiri.
Atas dasar
itulah, HKSN layak dijadikan momentum bagi para pemimpin untuk mulai
mempraktikkan solidaritas sosial dalam keseharian. Teladan para pemimpin
dilihat oleh rakyat dan pada gilirannya rakyat mau berbuat (solidaritas)
serupa pemimpinnya. Kita tunggu pemimpin yang tulus mau menolong orangorang
lemah. Bukan pemimpin yang menolong diri sendiri atau golongannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar