Catatan 2012
tentang Korupsi Anggaran
Arthasastra,
Fahd, dan Mafia Anggaran
Amir Sodikin ; Wartawan
Kompas
|
KOMPAS,
20 Desember 2012
”Sama
seperti seekor ikan di dalam air, sulit diketahui apakah ikan tersebut minum
air atau tidak. Seperti itulah… sulit memastikan apakah pegawai pemerintah
mengambil uang (korupsi) atau tidak.” (Kautilya dalam risalah ”Arthasastra”,
abad ke-4 sebelum Masehi).
Akut, kronis, bahkan
endemis dan merajalela di mana-mana, itulah korupsi di Indonesia. Korupsi
memang bukanlah hal baru di dunia ini. Sebuah literatur berjudul Arthasastra yang ditulis filsuf India, Kautilya,
pada abad ke-4 SM, sudah menyebutkan betapa sulitnya berurusan dengan
korupsi.
Kautilya menggunakan
analogi seperti halnya sulit mendeteksi apakah ikan yang berenang di air itu
minum air atau tidak. ”Bahkan kita masih memungkinkan menandai gerakan
burung-burung yang terbang tinggi di udara, tetapi mustahil memastikan
gerakan bawah tanah klandestin pegawai pemerintahan (yang korupsi),” katanya.
Apa yang digambarkan
Kautilya masih relevan dengan Indonesia. Di persidangan kasus korupsi, hingga
usai vonis bersalah dijatuhkan pun, korupsi sulit dibongkar dan dibuktikan
secara terang. Selalu saja ada cara koruptor untuk berkelit dari bukti-bukti
kuat yang diajukan jaksa penuntut umum.
Wa Ode Nurhayati yang
terjerat korupsi pengurusan dana penyesuaian infrastruktur daerah dan
pencucian uang, misalnya, tetap bersikukuh tak bersalah. Selalu berbicara
dengan tata bahasa yang sopan di persidangan, sesekali pecah tangis yang
mengesankan
sebagai sosok yang
dikorbankan koleganya, membuat fakta korupsi dan pancucian uang yang
didakwakan ke Wa Ode tak mudah diraba. Dalam konteks itu, hanya dengan keyakinan
hakim semua orang berharap keputusan adil.
Maka, ketika Wa Ode
divonis enam tahun penjara, gerundelan pengunjung sidang terus tersisa karena
bukti-bukti di persidangan tak begitu terang. Malah, masih tersisa opini
bahwa Wa Ode dulu adalah whistleblower yang akan mengungkap mafia anggaran di
DPR ketika muncul di acara ”Mata Najwa” Metro TV.
Untung saja, sidang dengan
terdakwa Fahd el Fouz, penyuap Wa Ode, yang digelar kemudian, memberi
perspektif baru. Saksi-saksi dari pegawai bank dan juga dari keterangan Fahd
meyakinkan bahwa Wa Ode mengetahui maksud pemberian uang total Rp 5,5 miliar
dan bahkan hadir ketika pertama kali transfer uang di Bank Mandiri cabang
DPR.
Fakta yang tak diakui Wa
Ode sebelumnya itu sontak memberikan energi baru bagi majelis hakim bahwa apa
yang telah mereka putuskan adalah benar. ”Kebohongan Wa Ode terbongkar semua
di persidangan, rekayasa keterangan itu luar biasa. Wa Ode sebelumnya bilang
tak tahu uang itu dari mana,” kata anggota majelis hakim, Pangeran
Napitupulu, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (23/10).
Menguras Emosi
Mengadili koruptor kerah
putih memang selalu menguras emosi karena hakim selalu ”dipermainkan” para
terdakwa. Apalagi, pembelaan Wa Ode begitu memukau dengan ungkapan, ”Saya
seperti martir sendirian,” kata Wa Ode.
Pada kasus terdakwa
Miranda S Goeltom terkait suap pemenangan dirinya sebagai Deputi Gubernur
Senior Bank Indonesia tahun 2004, emosi hakim juga dipermainkan oleh
kompaknya ikatan para pihak yang diduga terlibat. Membuktikan keterlibatan
Miranda ibarat memastikan apakah seekor ikan di dalam air yang kita lihat itu
sedang minum air atau tidak. Hanya dengan keyakinan, hakim memvonis Miranda
dengan pidana penjara tiga tahun.
Sifat penyakit korupsi
yang bergerak secara klandestin (bersifat tersembunyi) tetap melekat pada
kasus Miranda. Kasus ini belum terang-benderang karena jejak hilang ketika
sampai di Miranda dan Nunun Nurbaeti. Nunun terbukti memberikan suap berupa
cek perjalanan ke anggota DPR 1999-2004 untuk kasus yang sama dan telah
divonis lebih dulu dengan pidana penjara dua tahun enam bulan.
Korupsi yang melibatkan
anggota DPR selalu tersusun rapi, bahkan terkonsolidasi hingga seseorang
menjadi terpidana sekalipun, seperti pada kasus Miranda atau kasus Wa Ode.
Namun ternyata, solidnya jejaring para koruptor itu robek dengan kehadiran
mantan anggota DPR yang juga mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad
Nazaruddin.
Tak ada pembelaan yang
begitu membabibuta di tahun 2012, selain pembelaan Nazaruddin. Ia berhasil
menyeret sejumlah elite partainya seperti Angelina Sondakh, Menteri Pemuda
dan Olahraga Andi Alifian Mallarangeng yang belum lama ini mengundurkan diri.
Korupsi korporasi yang dijalankan Nazaruddin dan koleganya di DPR
menggabungkan kerja sama klandestin antara anggota DPR yang diorganisasi
partai dan busuknya korporasi. Penggiringan anggaran, begitu istilah untuk
menggambarkan korupsi dengan cara berburu proyek sejak anggaran masih dibahas
di DPR.
Sekretaris Jenderal
Transparency International Indonesia Teten Masduki pun mengatakan, kasus
Nazaruddin dan sidang-sidang turunannya menunjukkan pola dan skema korupsi di
Indonesia telah berubah. Di zaman Orde Baru, hulu korupsi di Badan
Perencanaan dan Pembangunan Nasional dan sekitar eksekutif, kini hulu korupsi
berada di DPR, terutama di Badan Anggaran. ”Di Banggar terjadi relasi antara pengusaha dan politisi busuk untuk
memanipulasi anggaran,” kata Teten.
Komisi Pemberantasan
Korupsi tengah berupaya mengungkap pola korupsi Nazaruddin dan turunannya,
termasuk kasus penggiringan anggaran dengan terdakwa Angelina Sondakh. Ini
kasus strategis yang layak didukung penuntasannya. Namun, ketika Nazaruddin
hanya divonis empat tahun 10 bulan, apresiasi publik mengendor. Vonis itu
dianggap tak visioner mengingat perkara hulu korupsi tak mendapat perhatian
khusus.
Teten mengatakan,
persoalan rendahnya vonis dan vonis yang tak memiskinkan koruptor ini bisa
menjadi celah bagi konsolidasi koruptor untuk tetap meregenerasi. Maka tak
heran jika pengadilan tipikor kini didominasi para koruptor usia muda.
Teten juga menyoroti
sejumlah kasus korupsi yang masuk ke jalur hukum, tetapi akhirnya tetap bisa
diakali melalui mafia peradilan yang dibayar. Penangkapan aparat hukum yang
meloloskan para koruptor menjadi bukti dugaan ini. Selain penangkapan
jaksa-jaksa yang korup, tahun 2012 juga ada penangkapan sejumlah hakim yang
seharusnya berada di garda depan penegakan korupsi. Pada 17 Agustus lalu, tim
dari KPK dan MA menangkap dua hakim pengadilan tipikor. Mereka adalah Kartini
Juliana Magdalena Marpaung yang bertugas di Semarang dan Heru Kisbandono yang
bertugas di Pontianak.
Sungguh semakin menjadi
penguat bahwa korupsi benar-benar dalam taraf mengguncang naluri waras bangsa
ini. Pesan Kautilya benar tentang sulitnya mendeteksi korupsi, tetapi solusi
Kautilya dengan menyarankan peningkatan gaji pegawai pemerintahan untuk
menekan korupsi ternyata belum berbuah hasil di Indonesia.
Untuk menjadi korup,
ternyata tak membutuhkan prasyarat ”nakal” dan miskin. Contoh ini nyata pada
pegawai pajak Dhana Widyatmika dan rekan-rekannya yang terbukti bersalah
korupsi dan melakukan pencucian.
Sosiolog Imam B Prasodjo
mengatakan, kronisnya korupsi merupakan bukti kegagalan sistem yang menjadi fasilitator
penjarahan uang rakyat. Korupsi tak cukup hanya dengan kerakusan, tetap butuh
sistem yang memungkinkan.
Akhir tahun 2012 ditutup
dengan pengakuan yang begitu jelas dari Fahd tentang mafia anggaran yang
ternyata benar adanya di DPR. Fahd divonis pidana penjara 2,5 tahun yang ia
terima dengan lapang dada dan dengan penuh tanggung jawab.
Tahun 2012 tak ada
pembelaan yang paling jujur kecuali milik Fahd. Fahd telah menjadi justice collaborator yang membantu tak
hanya para hakim, tetapi juga Indonesia, memahami bagaimana mafia anggaran
bekerja di DPR. Kita berharap, 2013 akan ada Fahd-Fahd lain.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar