Sabtu, 29 Desember 2012

Mengakhiri Jebakan Kegaduhan Politik


Mengakhiri Jebakan Kegaduhan Politik
Ahmad Fuad Fanani ;  Direktur Riset Maarif Institute for Culture and Humanity; 
Direktur IndoStrategy Institute, Jakarta
 
SINDO, 25 Desember 2012



Sepanjang 2012 ini kita banyak disuguhi oleh berbagai macam kisah kegaduhan politik yang dipertontonkan oleh politisi, baik di tingkat pusat maupun lokal. Kegaduhan politik yang sebetulnya tidak mencerdaskan rakyat dan tidak memajukan bangsa itu justru menjadi kejadian yang dinanti banyak orang. 

Kegaduhan politik itu tampak mulai dari kasus Wisma Atlet,kasus Hambalang,kasus bailout Bank Century, penangkapan anggota DPR yang tersandung kasus korupsi, konflik politik antara menteri dan anggota DPR, hingga yang terbaru pengunduran diri Andi Mallarangeng karena menjadi tersangka korupsi. Kegaduhan politik pada tingkat lokal juga terlihat pada kasus kontroversi perceraian bupati Garut. 

Selain itu, ada pula anggota DPRD di Tasikmalaya yang melakukan perselingkuhan dan menelantarkan keluarganya. Bisa jadi, masih banyak kegaduhan-kegaduhan politik lain yang belum terungkap ke permukaan dan akan mencuat lagi tahun depan. Sepertinya kisah kegaduhan politik justru digunakan oleh politisi sebagai sarana untuk menunjukkan eksistensi dirinya. Mereka tampaknya memilih mempertahankan peristiwa itu sebagai sebuah kegaduhan daripada segera menyelesaikannya agar segera bisa mengerjakan agenda lain yang lebih produktif. 

Miskin Komitmen 

Fenomena kegaduhan politik pada dasarnya menunjukkan bahwa ada problem mendasar dalam tata kelola politik dan pemerintah kita. Para elite politik itu, baik eksekutif maupun legislatif, tampaknya mengabaikan bahwa pada dasarnya memimpin adalah melayani. Artinya, mereka harus memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat. 

Rakyat yang telah bersusah payah membayar pajak dan berusaha menjadi warga negara yang baik tentu juga berharap agar Indonesia menjadi negara yang lebih maju dan sejahtera. Dengan begitu, mereka bisa merasakan kue-kue pembangunan atau paling tidak menerima rembesan program pemerintah yang menyejahterakan mereka. Sayangnya, banyak atau bahkan sebagian besar dari elite politik justru memandang bahwa berkuasa adalah sebuah kesempatan untuk memperkaya diri atau partainya.

Dengan begitu, prinsip melayani dan mengabdi untuk rakyat absen dari pikiran dan hatinya. Yang ada hanyalah sikap mengabdi dan tunduk pada atasan yang dianggap bisa membawa keuntungan kepada dirinya atau paling tidak bisa mengamankan posisinya. Tidak heran jika fenomena krisis ini juga terjadi di tingkat yudikatif.

Hal ini tampak pada kasus hakim agung Yamanie yang diberhentikan dengan tidak hormat karena mengurangi hukuman bandar narkoba. Sebagai hakim agung semestinya dia berusaha untuk terus—meminjam istilah Baharuddin Lopa— menegakkan keadilan hingga langit runtuh. Kegaduhan politik sesungguhnya juga disebabkan oleh politisi dan pejabat kita yang lebih memilih melakukan aksiaksi instan dan sibuk dengan politik pencitraan dibandingkan menelurkan gagasangagasan yang bernas untuk kemajuan bangsa. 

Yang lebih ironis, politisi dan elite kita,baik yang duduk di eksekutif maupun legislatif, seakan saling bersaing menunjukkan mana yang lebih baik di mata rakyat. Di satu sisi ada sebagian pejabat pemerintah yang berusaha menggiring opini umum untuk semakin menyudutkan anggota Dewan. Hal itu seperti yang tampak pada pelaporan Dahlan Iskan dan Dipo Alam terhadap anggota Dewan yang akan memeras kementerian atau BUMN serta berkongkalikong dengan kementrian tertentu. 

Di sisi yang lain, sebagian anggota Dewan juga ada yang “menghambat” program pemerintah lewat Badan Anggaran jika deal-deal politiknya belum disepakati. Tentu saja itu sangat memprihatinkan dan semakin menambah kepusingan dan kesumpekan rakyat yang beban hidupnya sudah berat dan terus menghimpit. 

Benar apa yang dikatakan almarhum Moeslim Abdurrahman (2010) bahwa pada dasarnya politisi kita miskin gagasan dan ide kreatif untuk perbaikan dan masa depan bangsa. Akibat itu, mereka lebih senang memperdebatkan ihwal sepele dan berhubungan dengan aliansi kekuasaan daripada mendiskusikan ide-ide perbaikan bangsa. Kita saat ini susah menemukan politisi sekaliber Soekarno, Hatta, Sutan Syahrir, Hamka,Tan Malaka, Natsir, Kasimo, Aidit, dan sebagainya yang cemerlang, pintar berdiplomasi, dan santun berbahasa. 

Seperti ketika Syahrir terpilih menjadi perdana menteri, Soekarno yang merupakan lawan politiknya sekadar menyatakan, ”Saya tidak patah, saya hanya bengkok seperti rotan.” Sulit dibayangkan ucapan serupa akan keluar dari politisi hari ini. Mereka saat ini miskin bacaan dan hanya disibukkan dengan retorika murahan yang tidak mencerdaskan. 

Pentingnya Negarawan 

Agar bangsa ini tidak semakin larut terjebak dalam kegaduhan politik akibat ulah politisinya yang terjebak dengan masalah-masalah hukum, perlu segera dipikirkan langkah-langkah solutif. Politisi kita harus berani mengubah mental dan pola pikirnya dengan beranjak atau meningkat dari sekadar menjadi politisi untuk kemudian menjadi seorang negarawan yang memikirkan nasib bangsa. Jika politisi adalah orang yang sibuk memikirkan pundi-pundi partai dan dirinya, seorang negarawan melampaui itu. 

Jika politisi hanya berpikir bagaimana ia bisa terpilih kembali pada pemilu selanjutnya atau naik pangkat ke level eksekutif, negarawan justru berpikir tentang masa depan rakyatnya. Kisah Presiden Prancis Francois Mitterand (1916- 1996) menarik untuk dicermati. Pada 1983, dua tahun setelah dia menduduki jabatannya, ia sadar bahwa ekonomi negaranya semakin memburuk. 

Saat itu dia mengalami dilema: apakah mempertahankan kebijakan partainya yang dibiayai perusahaan negara sehingga semakin menambah beban negara atau menerapkan kebijakan austerity (pemangkasan anggaran negara) yang pernah diterapkan oleh lawan politiknya (Kompas, 17/12). Akhirnya ia memilih untuk mengutamakan penyelamatan ekonomi negara dibandingkan mempertahankan ideologi partainya.

Kisah ini menunjukkan bahwa Mitterand bisa mendudukkan dirinya sebagai seorang negarawan yang berpikir visioner dan mementingkan masa depan bangsanya daripada mempertahankan egoisitas politiknya. Agar ke depan banyak lahir negarawan-negarawan yang bervisi masa depan yang tidak terjebak primordialisme politik, kita perlu memperbanyak basis-basis pengaderan kepemimpinan dan mengembalikan fungsi partai politik.

Partai politik hendaknya berbasis pada pengaderan yang berakar ke bawah dan tidak hanya mengandalkan kekuatan kapital yang sering menjadikan rusaknya sistem pengaderan partai dan keengganan orang untuk masuk di dalamnya. Kita perlu mentransfer ide tentang partai kader yang berbasis pada gagasan-gagasan cemerlang dan berakar pada pendidikan rakyat seperti yang pernah digagas oleh Sutan Syahrir dan Hatta. 

Pada saat yang bersamaan, partai politik juga harus mulai membuka diri terhadap figure-figur potensial dan dapat dipercaya, baik dari kalangan organisasi masyarakat, kampus, maupun dunia usaha. Dengan begitu, partai tidak hanya menjadi ajang jual beli dukungan menjelang pemilu atau pilkada, tapi juga peka dan tanggap terhadap suara dan aspirasi rakyat. 

Yang juga sangat penting dilakukan adalah segera merumuskan agenda politik untuk mendengar suara rakyat yang kemudian dilanjutkan menjadi agregasi dan perumusan agenda perubahan politik yang lebih baik. Dengan sinergi kekuatan dan agenda itu, kita berharap agar wajah perpolitikan kita tidak terus terjebak pada kegaduhan politik murahan, namun bisa segera beranjak untuk menghasilkan serta mengimplementasikan gagasan-gagasan bernas untuk kemajuan Indonesia. Wallahu a’lam bisshawab. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar