Sabtu, 29 Desember 2012

Dari Natal ‘Money-teis’ ke Natal ‘Mono-teis’


Dari Natal ‘Money-teis’ ke Natal ‘Mono-teis’
Tom Saptaatmaja ;  Teolog, Alumnus STFT Widya Sasana Malang
dan Seminari St Vincent de Paul  
SINDO, 25 Desember 2012



Beberapa tahun terakhir ini, Natalan di mal menjadi pemandangan umum di banyak kota besar seperti Jakarta atau Surabaya. Kalau dicermati dari tahun ke tahun, kemeriahan Natal di mal bahkan kian meningkat.Kemasannya juga kian memikat. 

Boleh jadi kemeriahan Natal di mal salah satu bentuk sukses dari kapitalisasi Natal yang sudah berlangsung dalam beberapa dekade terakhir. Natal seolah menjadi ajang penghamburan uang.Maklumtanpauang, Natal di mal mustahil bisa berjalan. Konyolnya,dengan mengikuti lomba menghias pohon Natal atau menyanyi lagu-lagu Natal di mal, orang merasa seolah sudah merayakan Natal. 

‘Money-teis’ 

Daniel G Groody, dalam jurnal Theological Studies,mengingatkan, masyarakat konsumeris global sedang menjalankan gagasan antropologinya sendiri. Benak orang banyak hendak diyakinkan tentang apa yang baik dan indah. Segalanya diukur dari pasar (mal). Pasar adalah otoritas yang menentukan apa artinya menjadi orang di zaman ini. “Aku bisa berbelanja, maka aku ada” menjadi adagium orang zaman ini. 

Bukan “Cogito, ergo sum” (Aku berpikir, maka aku ada),sebagaimana diserukan filosof Descartes. Uang menjadi nomor satu. Begitu dominannya uang, sampai kekayaan pun kerap diidentikkan dengan uang. Padahal kekayaan tidak selalu terkait dengan uang. Orang pun terdorong ingin jadi kaya lewat korupsi kejahatan. Beragam cara lain juga dihalalkan guna mendapatkan dan menimbun uang. 

Mungkin inilah penjelasan yang logis untuk menjawab pertanyaan, mengapa negeri yang mayoritas umatnya beragama ini begitu sulit keluar dari permasalahan korupsi. Semua berawal dari pendewaan, bahkan penuhanan akan uang. Konyolnya, Natal pun hendak dikooptasi demi keuntungankaum“ money-teis” (bertuhan uang). Jika Natal hanya dimaknai dari perspektif uang saja, jelas Natal sudah terdegradasi menjadi perayaan profan.

Tak ada nilai sakralnya sama sekali. Sebenarnya silakan saja mau merayakan Natal di mal, tapi jangan pernah lupakan makna sejati Natal yakni Natal “monoteis” sebagai momentum solidaritas Tuhan terhadap manusia, khususnya yang lemah.Tuhan mau menjadi sama, menyatu dengan manusia dan berkarya di tengah manusia. Seluruh Injil memberi kesaksian di sepanjang hidupnya, Yesus selalu solider dengan yang lemah. Yesus bahkan suka menyamakan diri dengan orang-orang yang paling menderita dan dihinakan. 

Tak heran, dalam Natal pertama, yang menonjol justru nuansa kesederhanaan, ketika seorang bayi lahir di kandang hewan. Bukan suasana hura-hura atau pesta fora penuh kemabukan. Kian terpesonanya publik pada Natal di mal mungkin bukan hanya kesalahan para pemilik modal (kapital). Namun, bisa jadi umat Kristiani khususnya memang agak sulit memahami makna Natal, khususnya terkait misteri inkarnasi mengapa Sang Pencipta mau menjelma menjadi manusia dan terlahir di kandang hina. 

Jack McArdle, dalam tulisannya Our Lord Jesus Christ (2005), mencoba memberi jawaban atas pertanyaan di atas lewat kisahnya tentang suamiistri yang sedang merayakan Natal. Ketika tengah makan malam usai kebaktian Natal, mereka dipenuhi pertanyaan mengapa Allah harus berinkarnasi dalam rupa bayi di kandang Betlehem. Tiba-tiba perhatian mereka diganggu oleh suara gaduh lima angsa hijau yang menggelepar di atas salju di kebun di luar rumah mereka. 

Angsa-angsa liar itu terpaksa berhenti dari perjalanan panjang karena salju. Lalu dengan maksud ingin membantu para angsa itu mau masuk ruang garasi rumah mereka untuk sekadar berteduh, si suami keluar dan coba menggiring angsa-angsa itu. Pintu garasi sudah dibuka, tapi angsa-angsa itu justru makin ribut, bertambah takut, dan tak mau segera masuk ke garasi.

Dalam rasa frustrasi, pria itu lalu membayangkan “Seandainya aku menjadi angsa, tentu aku akan lebih bisa memberitahukan maksudku untuk membantu angsa-angsa yang perlu bantuan itu”. Pada saat pria itu memikirkan hal itu, tiba-tiba pikirannya tercerahkan sehingga dia terbantu untuk memahami misteri inkarnasi, yang merupakan intisari perayaan Natal. 

Meski demikian, jawaban yang diberikan Jack McArdle itu tidak pernah lengkap tanpa komitmen solidaritas pada kaum lemah seperti dilaporkan Injil. Tidak heran, dalam konteks teologi pembebasan sebagaimana diutarakan Jon Sobrino SJ, ‘Christo-doxi’ (pemahaman akan Yesus seperti digambarkan ajaran Gereja dan Injil) tidak akan pernah lengkap tanpa memahami ‘Christo-praxis’ yang jelas-jelas berpihak kepada kaum lemah. 

Pesan Natal PGI-KWI 

Iman pada Tuhan yang tidak kelihatan baru akan lengkap jika tercermin dalam tindakan kasih atau cinta kita pada sesama yang kelihatan, terlebih orang-orang yang berada di dekat kita. Yesus sepanjang hidupNya menampakkan kasih Allah dan para pengikut-Nya juga diminta menampakkan hal yang sama. Cinta juga bukan berhenti di dalam hati sendiri, melainkan juga sungguh bisa dirasakan khususnya oleh kaum lemah, termasuk yang disingkirkan dalam pergaulan sosial. 

Jangan lupa, di sekitar kita,ada cukup banyak kaum lemah disingkirkan oleh kekuatan pasar.Maklum pasar hanya menghargai yang kuat dan punya uang. Pasar tidak mengenal cinta. Kalau toh ada cinta di pasar, itu adalah cinta yang sudah dikomersialisasikan. Kebetulan tema Natal bersama PGI-KWI 2012 adalah “Allah Mencintai Kita”. 

Cinta memang tengah terdegradasi di mana-mana sehingga yang mendominasi dunia ini adalah kekerasan, kebencian, konflik, perang, atau segala sesuatu yang bertentangan dengan semangat cinta. Tidak ada cinta sejati. Kalau toh ada, hanya cinta pada uang, keuntungan bagi diri sendiri atau kepada kelompok. Dalam ajaran Kristen, Allah mengasihi manusia itu nyata dalam diri Yesus Kristus. Dialah ungkapan cinta Allah sendiri kepada kita. 

Setiap pengikut Yesus wajib berpartisipasi dalam penyebaran cinta Allah agar kondisi ”lack of love” atau kekurangan cinta yang menyebabkan berbagai krisis kemanusiaan seperti konflik horizontal antarwarga, tawuran pelajar, kekerasan, serta pelanggaran HAM yang dilakukan aparat kepada rakyat bisa diatasi. Jika ini sungguh kita lakukan, kita sudah menghayati Natal “mono-teis” yang sejati. 

Dalam Natal yang sejati ini, Tuhan Yang Maha Esa sungguh rindu menyatukan seluruh umat manusia dalam satu keluarga Allah yang sungguh diresapi dengan cinta sejati, di mana yang kuat senantiasa solider dengan yang lemah. Mari hanya Allah Yang Esa yang menjadi orientasi hidup kita, bukan lagi uang. 

Uang memang perlu untuk hidup kita, tapi jangan sampai uang menyisihkan Tuhan sehingga sila pertama Pancasila pun jadi Keuangan Yang Maha Kuasa. Uang harus kita manfaatkan untuk membawa orang terentas dari kemiskinan dan kebodohan, bukan semakin menambah kerakusan dan ketamakan kita. Uang harus dimaknai dalam cinta kepada sesama sebab Allah sudah mencintai kita. Selamat Natal 2012. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar