Damai Natal,
Damai Indonesia
Denny Indrayana ; Wakil Menteri Hukum dan HAM,
Guru
Besar Hukum Tata Negara UGM
|
SINDO,
25 Desember 2012
Saudara-saudaraku Nasrani di
seluruh Tanah Air, Selamat Hari Natal. Semoga damai Natal membawa damai bagi
Indonesia kita. Indonesia tempat kita bersama menjadi insan bernurani.
Indonesia tempat kita mengabdi. Indonesia tempat kita mencinta, mencipta, dan menancapkan cita-cita bangsa yang makin sejahtera, makin adil, dan pastinya makin antikorupsi. Saya sering ditanya,berasal dari mana. Saya lahir di Kotabaru, Pulau Laut, Kalimantan Selatan (Kalsel).Tumbuh, besar, lulus SD,SMP, dan SMA di Banjarbaru, Kalsel. Sempat tinggal sebentar pada kelas I dan kelas III SD di Manokwari, Papua Barat. Namun, di darah saya mengalir berbagai macam suku dan etnis. Ibu saya lahir di Pulau Laut, Kalsel.Ayah saya lahir dari Ciwidey, Jawa Barat. Nenek saya, ibu dari ayah, adalah orang Tionghoa. Istri saya lahir di Pekalongan. Anak-anak kami lahir di Yogyakarta. Maka saya, kami sekeluarga, pastinya adalah Indonesia. Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Yang mencintai keberagaman, termasuk dalam beragama. Toleransi dalam beragama adalah salah satu darah yang membangun Indonesia kita. Maka ketika akhir-akhir ini muncul beberapa persoalan misalnya terkait GKI Yasmin di Bogor, Ahmadiyah, Syiah, dan sejenisnya, tentu kita harus melihatnya dengan sangat bijak. Pasti ada unsur perbedaan agama yang mewarnai permasalahan- permasalahan tersebut.Namun, pendekatan agama saja sering kali keliru menyimpulkan akar persoalan demikian. Tidak jarang ada persoalan penegakan hukum, bahkan dimensi sosial politik yang juga harus dimasukkan dalam ramuan solusi persoalan tersebut. Misalnya terkait kejadian teror di Poso akhir-akhir ini, saya sependapat dengan pandangan bahwa yang sebenarnya terjadi adalah gangguan keamanan. Maka pendekatan keamanan dan penegakan hukum yang tegas adalah jawabannya, tentu dengan tetap menjamin penghormatan terhadap hak asasi manusia. Pada kesempatan lain, terutama menjelang pilkada, politik yang sektarian sering kali muncul. Sebagai strategi politik, hal demikian mungkin dianggap wajar, tetapi sebenarnya tidak mencerdaskan, apalagi mendewasakan demokrasi kita. Di Jakarta, pada pilkada yang baru lalu, politik sektarian demikian sempat muncul, tetapi terbukti tidak terlalu efektif. Saya meyakini, pada level masyarakat yang tingkat pendidikan dan kesejahteraannya lebih baik, politik sektarian mungkin berpengaruh, tetapi tidak signifikan. Saya bukan ahli politik, tetapi berpandangan makin tinggi tingkat pendidikan politik, makin tinggi kematangan demokrasi kita, maka politik yang makin mengemuka bukanlah politik sektarian, melainkan politik capaian. Di mana calon pemimpin tidak semata dilihat dari asal-muasal suku ataupun agamanya, tetapi lebih pada rekam jejak dan prestasi kerjanya. Maka ketika catatan akhir tahun beberapa lembaga HAM mengkritisi persoalan toleransi beragama kita,saya melihatnya bukan hanya sebagai persoalan, melainkan juga capaian dan tantangan. Bahwasanya ada persoalan agama yang hadir di beberapa wilayah, pasti tidak dapat dinafikan. Namun, persoalan itu semakin mengemuka salah satunya karena kita makin membuka ruang bagi perbedaan pandangan,karena kita makin demokratis. Kehidupan yang makin demokratis tidak hanya membawa akses kebebasan berpendapat, tetapi juga membuka ruang bagi kelompok-kelompok yang berpandangan ekstrem untuk hadir di tengah masyarakat. Bagaimana cara dan mekanisme kita mengelola kelompok ekstrem itulah yang akan menentukan tingkat kematangan demokrasi kita. Di masa otoritarian, cara dan mekanisme berhadapan dengan kelompok ekstrem adalah dengan pendekatan keamanan. Pendekatan hukum yang berkeadilan tidak dikedepankan. Kebebasan orang berpendapat dan aktivitas dibatasi. Perbedaan langsung dijerat dengan norma hukum yang fleksibel, pasal hukum yang karet.Maka kondisi stabil yang adil, sebenarnya adalah hasil dari ketakutan berpendapat, ketakutan dalam berbeda. Jadi, tantangannya adalah bagaimana mengelola perbedaan di kehidupan bernegara yang lebih dinamis, lebih demokratis. Di masa yang demokratis, cara dan mekanisme perbedaan tentu tidak boleh dilakukan dengan pendekatan keamanan semata.Karena demokrasi bukan saja menjamin perbedaan, demokrasi hidup dari perbedaan. Tanpa jaminan perbedaan, demokrasi akan mati. Persoalannya adalah, bagaimana demokrasi mengelola perbedaan itu sebagai aset, sebagai modal untuk mendinamiskan kehidupan bernegara. Namun, bukan berarti demokrasi menghamba pada perbedaan. Bukan berarti demokrasi menoleransi seluruh level ketidaksamaan. Tetap saja ada level perbedaan yang dilarang dalam berdemokrasi. Itulah perbedaan tentang benar dan salah, tentang kejahatan dan kebaikan. Demokrasi yang berdasarkan etika, berdasarkan regulasi. Demokrasi tetap punya aturan boleh dan tidak (the do and the don’t), yang dimasukkan dalam aturan main bersama, ke dalam regulasi yang tepat. Demokrasi minus regulasi akan menjadi anarki, sebagaimana demokrasi surplus regulasi akan menjadi tirani. Demokrasi seharusnya bukan dibedakan dengan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Karena jika itulah yang menjadi dasar pembedaan maka yang terjadi adalah diskriminasi. Namun, demokrasi harus dibedakan dengan nilai-nilai moral seperti antikorupsi, antipelanggaran HAM, antiperusakan lingkungan,dan sejenisnya. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sangat banyak berbicara tentang mengharamkan diskriminasi negatif,sekaligus menghalalkan diskriminasi positif. Diskriminasi negatif adalah perbedaan perlakuan SARA, sesuatu yang sudah seharusnya tidak terjadi. Sedangkan diskriminasi positif, adalah perbedaan perlakuan yang dimungkinkan, bahkan justru wajib dilakukan. Diskriminasi positif sering juga disebut affirmative action, justru dilakukan sebagai bentuk keberpihakan, untuk menjamin hadirnya keadilan. Itulah sebabnya, kami berpandangan, memperketat syarat pemberian remisi bagi terpidana korupsi, bukanlah pelanggaran HAM. Syarat pemberian remisi bagi kejahatan ringan justru harus berbeda dengan kejahatan korupsi. Justru tidak adil jika syarat pengurangan hukuman bagi pencari sandal, sama saja dengan syarat pengurangan hukuman bagi koruptor. Dalam kondisi demikian, agar adil, hukum justru harus tidak sama. Untuk adil, hukum justru harus diskriminatif. Sebagaimana aturan kepemiluan mensyaratkan keterwakilan perempuan 30% di parlemen. Itu adalah aturan yang diskriminatif bagi laki-laki, tapi justru untuk keadilan harus diatur di dalam hukum keterwakilan parlemen kita. Itulah sebabnya, MK selalu memutuskan ambang batas kepemiluan sebagai bentuk perbedaan yang tidak melanggar konstitusi. Setiap undangundang yang mengatur ambang batas pemilu (electoral threshold), ambang batas kursi di parlemen (parliamentary threshold),ambang batas calon presiden (presidential threshold), ambang batas kepala daerah selalu saja diuji konstitusionalitasnya ke hadapan meja merah MK. Namun dalam setiap keputusannya pula,MK menegaskan bahwa ambang batas demikian bukanlah bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan UUD 1945. Kembali kepada Indonesia yang menghormati perbedaan, yang menghargai keberagaman, termasuk dalam beragama, maka dalam kesempatan perayaan Natal ini, mari kita tegaskan lagi bahwa demokrasi kita berdasarkan politik capaian, bukan politik sektarian. Karena politik sektarian berdasarkan pertimbangan SARA, yang pasti diskriminatif. Politik capaian antikorupsi akan lebih membawa manfaat bagi Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Demokrasi Indonesia ke depan pasti akan terus diwarnai perbedaan. Karena perbedaan itulah, modal kita untuk menjadi negara besar yang bersatu. Kebhinnekaan itulah yang menyebabkan kita menjadi Indonesia besar yang tunggal. Perbedaan yang harus kita kelola menjadi modal bersama untuk melawan sektarianisme, untuk melawan ketidakadilan, untuk melawan korupsi. Selamat Hari Natal, damailah Indonesiaku yang tunggal dalam kebhinnekaan. Keep on fighting for theb etter Indonesia! ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar