Memotong Mata
Rantai Korupsi
di Birokrasi
dan Parpol
Agust Riewanto ; Doktor Ilmu Hukum dan
Pengelola Jurnal Hukum dan Pembangunan Ekonomi pada Program Doktor UNS
Surakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 06 Desember 2012
HINGGA hari ini rating korupsi di negeri ini tak cenderung menurun. Survei Transparency International (TI)
2005-2012 selalu mendudukkan Indonesia sebagai jawara korupsi. Padahal, telah
14 tahun gerakan reformasi antikorupsi ditabuh (1998-2012). Kekuasaan politik
pun telah berotasi lima kali melalui pemilu yang demokratis, tetapi korupsi
tetap saja bersemayam dalam perilaku semua institusi publik, bahkan mewabah
ke partai politik, parlemen, dan swasta.
Korupsi nyaris hanya dijadikan alat kampanye
politik setiap kekuasaan di negeri ini, bahkan telah menjadi ikon dan proyek
setiap rezim yang dibiayai APBN. Beberapa aspek yang turut memengaruhi
sulitnya pemberantasan korupsi sistemis di negeri ini ialah kuatnya cengkeraman
politik dalam mengendalikan lembaga dan sistem antikorupsi. Aneka lembaga dan
sistem antikorupsi yang dirancang sejauh ini lebih tunduk pada kemauan
politik, sedangkan kekuatan politik dikendalikan elite partai politik
(parpol) yang hidup dalam sistem kepartaian yang rapuh, konsumtif, dan tak
reformis. Akibatnya isu pemberantasan korupsi hanya menjadi komoditas populis
setiap rezim politik yang berkuasa.
Sejumlah fakta berikut ini akan memperlihatkan
pergulatan sistem birokrasi, sistem kepartaian, dan sistem hukum sebagai
sebuah rangkaian mutualisme-simbiosis yang sulit dipisahkan dari mata rantai
perilaku korupsi di negeri ini.
Rangkaian sistem itu merupakan aktor utama korupsi atau biangnya korupsi.
Birokrasi Tak Terkonsolidasi
Terbentuknya setiap pemerintahan baru di era
reformasi sejak 1998-2012 tak segera digunakan sebaik-baiknya untuk melakukan
konsolidasi kekuatan-kekuatan antikorupsi, dan melakukan reformasi birokrasi
yang akurat dan tepat untuk mengoreksi keburukan warisan rezim terdahulu. Tetapi
hanya untuk melindungi segelintir kelompok tertentu serta menumpuk
pundi-pundi uang dan kekuasaan. Itu nyaris mematisurikan gerakan antikorupsi
dan reformasi.
Kekuasaan politik berbasis parpol ternyata
hanya alat untuk memperkukuh kekuasaan dan berebut lahan-lahan proyek basah
di birokrasi dan kabinet. Akhirnya parpol kehilangan elan vital sebagai
instrumen gerakan reformasi dan antikorupsi. Akhirnya watak birokrasi di
negeri ini sejak terbentuk di awal kemerdekaan hingga berganti tujuh rezim
(1945-2012) kekuasaan politik tak pernah menjadi alat lokomotif reformasi
antikorupsi.
Belakangan ini birokrasi bahkan menjadi
biangnya korupsi. Tak berjalannya reformasi birokrasi telah menghambat
jalannya pemberantasan korupsi. Kalaupun ada, reformasi hanyalah setengah
hati dan belum dapat lepas dari jeratan pengaruh kekuasaan dan partai
politik. Karena itu, m menyaksikan birokrasi di neg geri ini serasa melihat
birokrasi di era kolonial yang penuh duri, berbelit, dan tak efektif sehingga
para birokrat menjadikan birokrasi sebagai alat korupsi yang efektif di atas
hukum administrasi yang lemah dan tak bergigi.
Padahal, mengadaptasi kata Weber (1958),
efisiensi birokrasi dan buruknya perilaku birokrasi hanya mungkin dapat
dihindari melalui reformasi struktur birokrasi yang pendek dan tidak gemuk
dengan sistem meritokrasi dan sanksi hukum administrasi serta pidana yang
tegas dan imparsial.
Dengan begitu, birokrasi dapat berjalan cepat,
akurat, sekaligus aparat birokrat dapat bekerja maksimal dan berorientasi
pada pelayanan publik (public service).
Karena itu, saatnya reformasi birokrasi dimulai dengan belajar dari beberapa
birokrasi daerah otonom yang mampu mengubah watak birokrasi dari kolonial ke
reformasi, dari dilayani menjadi melayani. Hal itu seperti di Kabupaten Sragen,
Jawa Tengah, yang mampu menerapkan e-government
dan pelayanan satu atap (one stop
service).
Begitu pula di Solok, Sumatra Barat, dan Jembrana, Bali. Cara
tersebut akan dapat memotong mata rantai korupsi dan mengubah wa jah serta
citra birokrasi menjadi efektif dan efisien.
Sistem Parpol Tak Antikorupsi
Desain institusi parpol dalam merekrut
kader-kader terbaik mandul sehingga parpol bertekuk lutut pada kemauan dan
tekanan pengurus parpol untuk berebut kue kekuasaan. Model itu telah
mematikan hubungan parpol dengan konstituen politik dan kian menumbuhkan
budaya paternalistis parpol. Mekanisme perekrutan kader, penentuan calon
kepalakepala daerah dalam pemilu kada langsung 2005-2012 ini, bukan
didasarkan visi dan platform parpol serta kader terbaik mereka, melainkan
sekadar pertimbangan kedekatan personal dan besarnya mahar yang digelontorkan
ke parpol.
Akibatnya tatkala anggota parpol, ketua parpol,
dan para kepala daerah terpilih terlibat korupsi, parpol tak mampu mem beri
sanksi memadai. Tak salah rasanya bila sejumlah kalangan menengarai bahwa
parpol ialah biangnya korupsi di negeri ini.
Ada dua soal utama mengapa
parpol menjadi biang korupsi di negeri ini: Pertama, parpol ditempatkan
sebagai agen penting bernegara dalam konstruksi UUD 1945 pascaamendemen.
Parpol sebagai agen utama demokrasi di Indonesia. Parpol memiliki peran yang
sangat besar dalam memengaruhi struktur kenegaraan, bahkan berperan dalam
proses pencalonan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Fungsi rekrutmen politik itu begitu penting
tidak saja dari segi legitimasi kewenangan, tapi juga untuk menjamin kualitas
kepemimpinan bangsa pada berbagi lembaga kenegaraan di pusat dan di daerah. Bahkan
melalui parpol yang memiliki kursi di DPR, mereka melakukan seleksi hampir
semua lembaga kenegaraan dan aneka komisi negara. Namun pada saat bersamaan,
itu tidak diiringi dengan model rekrutmen kader partai yang meritokratis
serta minus moralitas dan tanggung jawab publik. Banyak kader partai direkrut
secara karbitan tanpa seleksi pendidikan, rekam jejak, dan pengalaman
berorganisasi yang memadai. Jadilah parpol hanya mampu menggaet orang-orang
buangan atau kelas dua dalam stupa sosial di masyarakat.
Kedua, pembiayaan menjalankan roda organisasi
politik sangat mahal dan kebutuhan uang parpol tak terbatas. Padahal, sumber
dana mereka sangat terbatas. Apalagi ketika parpol diproyeksi harus meraih
kursi dalam pemilu kada bupati, wali kota, gubernur, bahkan presiden. Biaya
politik mahal itu berupa sewa kendaraan partai, biaya sosialisasi calon,
kampanye, bahkan aneka bantuan sosial.
Model pemilu langsung yang diperkenalkan sejak
2004 dan 2009 melalui pemilihan presiden secara langsung (pilpres) dan
berlanjut ke pemilihan kepala daerah secara langsung (pemilu kada) dari 2005
hingga 2012 ini telah memecah belah masyarakat dan mengurung masyarakat dalam
budaya demokrasi transaksional dan bersikap materialistis-politis. Tak ada
uang, tak akan memilih.
Desain Tidak Memadai
Reformasi sistem birokrasi dan sistem
kepartaian saja tidak cukup memadai dalam mengeliminasi korupsi. Masih
diperlukan desain hukum di negeri ini yang tidak mudah dibeli. Puncak dari
pemberantasan korupsi, selain perlu reformasi birokrasi sistem kepartaian dan
sistem pemilu, juga perlu pemberlakuan hukum secara tegas, imparsial, tanpa
kompromi, dan sanksi yang menjerakan.
Agar pemberantasan korupsi dapat berjalan
efektif dan produktif, diperlukan pemikiran dan proyeksi baru untuk
menyinergikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), institusi penegakan hukum
(peradilan, jaksa, polisi, dan advokat), serta perangkat sistem penegakan
hukum lain.
Di titik itu, diperlukan sinergi hukum
pemberantasan korupsi, yakni: (a) Perlunya mensterilkan institusi penegakan
hukum dari perilaku korup; (b) Perlunya mendesain sistem peradilan korupsi
yang efektif dengan menyatuatapkan peradilan korupsi karena selama ini
pengadilan korupsi di dua tempat pengadilan negeri dan pengadilan ad hoc korupsi tak cukup efektif, (c)
Membentuk KPK di daerah (kabupaten/ kota), itu perlu dilakukan agar sistem
hukum pemberantasan korupsi dapat menjangkau seluruh Nusantara; (d) Desain
sanksi korupsi yang dapat menjerakan perilaku korupsi, mulai pembuktian
terbalik, pemiskinan koruptor, hingga hukuman mati.
Bertepatan dengan Hari Antikorupsi
Internasional 9 Desember ini, saatnya menyerukan agar pemberantasan korupsi
dapat berjalan sistematis dan serius, bukan sekadar agenda rutin yang tak
berbekas pada setiap rezim. Maka, tiba saatnya diperlukan kemauan politik
untuk melakukan reformasi birokrasi, sistem kepartaian, dan sistem hukum
sebagai kesatuan sistem yang tak dapat dipisahkan dalam pemberantasan
korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar