Jumat, 07 Desember 2012

Memotong Mata Rantai Korupsi di Birokrasi dan Parpol


Memotong Mata Rantai Korupsi
di Birokrasi dan Parpol
Agust Riewanto ;   Doktor Ilmu Hukum dan Pengelola Jurnal Hukum dan Pembangunan Ekonomi pada Program Doktor UNS Surakarta
MEDIA INDONESIA, 06 Desember 2012


HINGGA hari ini rating korupsi di negeri ini tak cenderung menurun. Survei Transparency International (TI) 2005-2012 selalu mendudukkan Indonesia sebagai jawara korupsi. Padahal, telah 14 tahun gerakan reformasi antikorupsi ditabuh (1998-2012). Kekuasaan politik pun telah berotasi lima kali melalui pemilu yang demokratis, tetapi korupsi tetap saja bersemayam dalam perilaku semua institusi publik, bahkan mewabah ke partai politik, parlemen, dan swasta.

Korupsi nyaris hanya dijadikan alat kampanye politik setiap kekuasaan di negeri ini, bahkan telah menjadi ikon dan proyek setiap rezim yang dibiayai APBN. Beberapa aspek yang turut memengaruhi sulitnya pemberantasan korupsi sistemis di negeri ini ialah kuatnya cengkeraman politik dalam mengendalikan lembaga dan sistem antikorupsi. Aneka lembaga dan sistem antikorupsi yang dirancang sejauh ini lebih tunduk pada kemauan politik, sedangkan kekuatan politik dikendalikan elite partai politik (parpol) yang hidup dalam sistem kepartaian yang rapuh, konsumtif, dan tak reformis. Akibatnya isu pemberantasan korupsi hanya menjadi komoditas populis setiap rezim politik yang berkuasa.

Sejumlah fakta berikut ini akan memperlihatkan pergulatan sistem birokrasi, sistem kepartaian, dan sistem hukum sebagai sebuah rangkaian mutualisme-simbiosis yang sulit dipisahkan dari mata rantai perilaku korupsi di negeri ini.
Rangkaian sistem itu merupakan aktor utama korupsi atau biangnya korupsi.

Birokrasi Tak Terkonsolidasi

Terbentuknya setiap pemerintahan baru di era reformasi sejak 1998-2012 tak segera digunakan sebaik-baiknya untuk melakukan konsolidasi kekuatan-kekuatan antikorupsi, dan melakukan reformasi birokrasi yang akurat dan tepat untuk mengoreksi keburukan warisan rezim terdahulu. Tetapi hanya untuk melindungi segelintir kelompok tertentu serta menumpuk pundi-pundi uang dan kekuasaan. Itu nyaris mematisurikan gerakan antikorupsi dan reformasi.

Kekuasaan politik berbasis parpol ternyata hanya alat untuk memperkukuh kekuasaan dan berebut lahan-lahan proyek basah di birokrasi dan kabinet. Akhirnya parpol kehilangan elan vital sebagai instrumen gerakan reformasi dan antikorupsi. Akhirnya watak birokrasi di negeri ini sejak terbentuk di awal kemerdekaan hingga berganti tujuh rezim (1945-2012) kekuasaan politik tak pernah menjadi alat lokomotif reformasi antikorupsi.

Belakangan ini birokrasi bahkan menjadi biangnya korupsi. Tak berjalannya reformasi birokrasi telah menghambat jalannya pemberantasan korupsi. Kalaupun ada, reformasi hanyalah setengah hati dan belum dapat lepas dari jeratan pengaruh kekuasaan dan partai politik. Karena itu, m menyaksikan birokrasi di neg geri ini serasa melihat birokrasi di era kolonial yang penuh duri, berbelit, dan tak efektif sehingga para birokrat menjadikan birokrasi sebagai alat korupsi yang efektif di atas hukum administrasi yang lemah dan tak bergigi.

Padahal, mengadaptasi kata Weber (1958), efisiensi birokrasi dan buruknya perilaku birokrasi hanya mungkin dapat dihindari melalui reformasi struktur birokrasi yang pendek dan tidak gemuk dengan sistem meritokrasi dan sanksi hukum administrasi serta pidana yang tegas dan imparsial.

Dengan begitu, birokrasi dapat berjalan cepat, akurat, sekaligus aparat birokrat dapat bekerja maksimal dan berorientasi pada pelayanan publik (public service). Karena itu, saatnya reformasi birokrasi dimulai dengan belajar dari beberapa birokrasi daerah otonom yang mampu mengubah watak birokrasi dari kolonial ke reformasi, dari dilayani menjadi melayani. Hal itu seperti di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, yang mampu menerapkan e-government dan pelayanan satu atap (one stop service). 
Begitu pula di Solok, Sumatra Barat, dan Jembrana, Bali. Cara tersebut akan dapat memotong mata rantai korupsi dan mengubah wa jah serta citra birokrasi menjadi efektif dan efisien.

Sistem Parpol Tak Antikorupsi

Desain institusi parpol dalam merekrut kader-kader terbaik mandul sehingga parpol bertekuk lutut pada kemauan dan tekanan pengurus parpol untuk berebut kue kekuasaan. Model itu telah mematikan hubungan parpol dengan konstituen politik dan kian menumbuhkan budaya paternalistis parpol. Mekanisme perekrutan kader, penentuan calon kepalakepala daerah dalam pemilu kada langsung 2005-2012 ini, bukan didasarkan visi dan platform parpol serta kader terbaik mereka, melainkan sekadar pertimbangan kedekatan personal dan besarnya mahar yang digelontorkan ke parpol.

Akibatnya tatkala anggota parpol, ketua parpol, dan para kepala daerah terpilih terlibat korupsi, parpol tak mampu mem beri sanksi memadai. Tak salah rasanya bila sejumlah kalangan menengarai bahwa parpol ialah biangnya korupsi di negeri ini. 

Ada dua soal utama mengapa parpol menjadi biang korupsi di negeri ini: Pertama, parpol ditempatkan sebagai agen penting bernegara dalam konstruksi UUD 1945 pascaamendemen. Parpol sebagai agen utama demokrasi di Indonesia. Parpol memiliki peran yang sangat besar dalam memengaruhi struktur kenegaraan, bahkan berperan dalam proses pencalonan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Fungsi rekrutmen politik itu begitu penting tidak saja dari segi legitimasi kewenangan, tapi juga untuk menjamin kualitas kepemimpinan bangsa pada berbagi lembaga kenegaraan di pusat dan di daerah. Bahkan melalui parpol yang memiliki kursi di DPR, mereka melakukan seleksi hampir semua lembaga kenegaraan dan aneka komisi negara. Namun pada saat bersamaan, itu tidak diiringi dengan model rekrutmen kader partai yang meritokratis serta minus moralitas dan tanggung jawab publik. Banyak kader partai direkrut secara karbitan tanpa seleksi pendidikan, rekam jejak, dan pengalaman berorganisasi yang memadai. Jadilah parpol hanya mampu menggaet orang-orang buangan atau kelas dua dalam stupa sosial di masyarakat.

Kedua, pembiayaan menjalankan roda organisasi politik sangat mahal dan kebutuhan uang parpol tak terbatas. Padahal, sumber dana mereka sangat terbatas. Apalagi ketika parpol diproyeksi harus meraih kursi dalam pemilu kada bupati, wali kota, gubernur, bahkan presiden. Biaya politik mahal itu berupa sewa kendaraan partai, biaya sosialisasi calon, kampanye, bahkan aneka bantuan sosial.

Model pemilu langsung yang diperkenalkan sejak 2004 dan 2009 melalui pemilihan presiden secara langsung (pilpres) dan berlanjut ke pemilihan kepala daerah secara langsung (pemilu kada) dari 2005 hingga 2012 ini telah memecah belah masyarakat dan mengurung masyarakat dalam budaya demokrasi transaksional dan bersikap materialistis-politis. Tak ada uang, tak akan memilih.

Desain Tidak Memadai

Reformasi sistem birokrasi dan sistem kepartaian saja tidak cukup memadai dalam mengeliminasi korupsi. Masih diperlukan desain hukum di negeri ini yang tidak mudah dibeli. Puncak dari pemberantasan korupsi, selain perlu reformasi birokrasi sistem kepartaian dan sistem pemilu, juga perlu pemberlakuan hukum secara tegas, imparsial, tanpa kompromi, dan sanksi yang menjerakan.

Agar pemberantasan korupsi dapat berjalan efektif dan produktif, diperlukan pemikiran dan proyeksi baru untuk menyinergikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), institusi penegakan hukum (peradilan, jaksa, polisi, dan advokat), serta perangkat sistem penegakan hukum lain.

Di titik itu, diperlukan sinergi hukum pemberantasan korupsi, yakni: (a) Perlunya mensterilkan institusi penegakan hukum dari perilaku korup; (b) Perlunya mendesain sistem peradilan korupsi yang efektif dengan menyatuatapkan peradilan korupsi karena selama ini pengadilan korupsi di dua tempat pengadilan negeri dan pengadilan ad hoc korupsi tak cukup efektif, (c) Membentuk KPK di daerah (kabupaten/ kota), itu perlu dilakukan agar sistem hukum pemberantasan korupsi dapat menjangkau seluruh Nusantara; (d) Desain sanksi korupsi yang dapat menjerakan perilaku korupsi, mulai pembuktian terbalik, pemiskinan koruptor, hingga hukuman mati.

Bertepatan dengan Hari Antikorupsi Internasional 9 Desember ini, saatnya menyerukan agar pemberantasan korupsi dapat berjalan sistematis dan serius, bukan sekadar agenda rutin yang tak berbekas pada setiap rezim. Maka, tiba saatnya diperlukan kemauan politik untuk melakukan reformasi birokrasi, sistem kepartaian, dan sistem hukum sebagai kesatuan sistem yang tak dapat dipisahkan dalam pemberantasan korupsi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar