Kemenangan
Palestina dan Reformasi PBB
Musa Maliki ; Dosen FISIP UPN
Veteran Jakarta,
Universitas
Paramadina, dan Al Azhar Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 06 Desember 2012
FAKTA telah terjadi, Palestina telah berdaulat
secara de facto. Palestina sudah
menjadi negara pengamat nonanggota di PBB. Israel kalah dalam diplomasi di
PBB dengan hanya meraih 9 negara pendukung, sedangkan 41 negara abstain dan
138 negara mendukung Palestina berdaulat. Bagi masyarakat internasional, PBB
telah melakukan perubahan yang sangat berarti. Pengakuan tersebut memberi
citra PBB telah melakukan reformasi.
Perkembangan terakhir krisis Gaza justru
mendulang dukungan masyarakat internasional ke Palestina. Serangan Israel
yang ditampilkan di media-media justru menjadi bagian penguat bagi pengakuan
kedaulatan Palestina oleh masyarakat internasional di PBB. Mungkin masyarakat
internasional memang sudah muak dengan perilaku Israel yang tidak manusiawi
dan terlihat membabi buta terhadap Palestina. Apa faktor utama yang sekiranya
memengaruhi reformasi PBB dalam konteks kasus pengakuan Palestina sebagai
negara berdaulat?
Sistem internasional yang anarkistis merupakan
faktor yang sangat penting bagi reformasi PBB. Sistem anarki internasional
ialah ketiadaan pemerintahan dunia dalam sistem politik dunia. Sistem itu
memberi ‘perintah’ (dorongan) secara sistemis agar setiap negara menolong
diri sendiri (self-help) atau
mengekor kepada negara yang terkuat dari hasil dorongan sistem anarki
internasional.
Sistem balance
of power ialah sistem internasional yang terbentuk dari sistem yang
anarkistis dalam rangka menjaga keamanan internasional (perdamaian). Struktur
yang berlaku ialah hierarki kekuatan/kekuasaan (power), bukan hierarki
otoritas. Kesimpulannya, siapa yang kuat, dia yang menentukan politik dunia.
Sistem balance of power internasional itu
mengandaikan adanya struktur internasional yang terdiri dari negara yang
terkuat sampai dengan yang terlemah. Sistem tersebut ada tiga tipe, unipolar,
bipolar, dan multipolar. Sistem bipolar ialah sistem masa Perang Dingin yang
struktur internasionalnya diperankan Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet. Sistem
unipolar ialah struktur masa George Bush Junior ketika melakukan kebijakan
unilateral.
Lalu sistem multipolar ialah masa kini yang
tampaknya, masyarakat internasional mengurangi dosis dukungan terhadap AS dan
sekutu mereka sehingga konteks konflik Palestina-Israel menguntungkan
Palestina dan merugikan Israel di PBB. Jadi sistem multipolar tersebut
memberi peluang transformasi peta politik dunia.
Dunia Meragukan
Rekonfigurasi sistem anarki internasional dari
unipolar ke multipolar. Pertama, kemunculan figur Osama bin Laden tidak hanya
dipahami sebagai sosok yang ditakuti AS. Ia juga simbol lemahnya daya lindung
(keamanan) AS terhadap diri mereka.
Masyarakat internasional akan berpikir
bahwa AS sendiri saja tidak dapat melindungi diri dari serangan musuh-musuh
mereka, lalu bagaimana negara tersebut melindungi negara-negara lain yang
membutuhkan?
Selain itu, proses penyebaran nilai-nilai
demokrasi liberal AS ke seluruh dunia pun kurang berhasil (Shakman Hurd,
2008). Hambatan-hambatan penyebaran demokrasi liberal dapat terlihat dari
beberapa sistem politik negara-negara di dunia yang belum sepenuhnya
berdemokrasi liberal ala AS, khususnya terlihat pada kegagalan demokrasi
liberal AS di kasus Irak, Afghanistan, dan beberapa negara Timur Tengah. Kini
hasil demokrasi dari gejolak Arab Spring (2011) sebagai dorongan revolusi
Timur Tengah yang masih bergelimang darah korban revolusi dan perang sipil
bahkan belum terlihat.
Lemahnya sistem keamanan AS dan pamor
nilai-nilai demokrasi liberal mengakibatkan citra AS sebagai `polisi dunia'
dan negara pelindung bagi si lemah (benevolence
state) menjadi menurun. Di mata masyarakat internasional, AS bukanlah
negara yang kuat lagi. Hal itu sudah jauh hari diprediksi pakar politik
ekonomi internasional Harvard Robert Gilpin (1987) bahwa hegemoni AS bakal
menurun.
Kedua, perubahan sistem ekonomi global. Krisis
ekonomi AS yang berimbas secara global dan menghantam Uni Eropa mengakibatkan
kekuatan mereka sebagai pihak negara pemenang Perang Dunia II dan Perang
Dingin serta peraih hadiah Nobel menjadi menurun. Di mata masyarakat
internasional, negara-negara tersebut sudah mulai ditinggalkan para pengekor
mereka.
Ketiga, sementara AS dan Uni Eropa sedang
tertatihtatih bangkit dari krisis, negara-negara Asia seperti China, India,
dan ASEAN mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup signifi kan. Arah mata
angin sedang berubah. Transformasi sistem anarki internasional dari unipolar
ke multipolar. Jadi AS yang dulu dapat melakukan tindakan unilateral sudah
hampir mustahil dapat melakukannya lagi.
Sikap China terhadap Laut China Selatan
membuat AS mengubah peta militer mereka dari Timur Tengah ke Asia. Selain
menguntungkan Palestina dan merugikan Israel, AS juga terlihat berubah
orientasi dan fokus dari Timur Tengah ke Asia.
Awal Reformasi
Dari ketiga faktor yang signifikan tadi, peta
politik dunia sudah tidak lagi berpihak pada sistem unipolar AS dan sekutu
mereka. Masyarakat internasional sudah berani mengambil langkah yang lebih
demokratis dengan mendukung kedaulatan Palestina melalui PBB. Tampaknya,
politik dunia sudah mulai bergerak ke arah demokrasi kosmopolitan (David Held, 1998).
Walaupun beberapa ilmuwan politik melihat
demokrasi kosmopolitan sebagai topeng internasionalisasi demokrasi liberal,
dengan adanya diplomasi antarnegara dan diikuti dengan gerakan masyarakat
sipil, itu memungkinkan untuk reformasi PBB lebih radikal. Reformasi PBB
tanpa mengikuti arah angin sistem demokrasi liberal AS. Hal itulah yang
diharapkan kita semua bahwa pemangku veto di PBB harus segera dihapus. Sudah
saatnya politik dunia berubah ke arah yang lebih adil dan demokratis (Habermas, 2001). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar