Jumat, 07 Desember 2012

Kemenangan Palestina dan Reformasi PBB


Kemenangan Palestina dan Reformasi PBB
Musa Maliki ;   Dosen FISIP UPN Veteran Jakarta,
Universitas Paramadina, dan Al Azhar Jakarta
MEDIA INDONESIA, 06 Desember 2012


FAKTA telah terjadi, Palestina telah berdaulat secara de facto. Palestina sudah menjadi negara pengamat nonanggota di PBB. Israel kalah dalam diplomasi di PBB dengan hanya meraih 9 negara pendukung, sedangkan 41 negara abstain dan 138 negara mendukung Palestina berdaulat. Bagi masyarakat internasional, PBB telah melakukan perubahan yang sangat berarti. Pengakuan tersebut memberi citra PBB telah melakukan reformasi.

Perkembangan terakhir krisis Gaza justru mendulang dukungan masyarakat internasional ke Palestina. Serangan Israel yang ditampilkan di media-media justru menjadi bagian penguat bagi pengakuan kedaulatan Palestina oleh masyarakat internasional di PBB. Mungkin masyarakat internasional memang sudah muak dengan perilaku Israel yang tidak manusiawi dan terlihat membabi buta terhadap Palestina. Apa faktor utama yang sekiranya memengaruhi reformasi PBB dalam konteks kasus pengakuan Palestina sebagai negara berdaulat?

Sistem internasional yang anarkistis merupakan faktor yang sangat penting bagi reformasi PBB. Sistem anarki internasional ialah ketiadaan pemerintahan dunia dalam sistem politik dunia. Sistem itu memberi ‘perintah’ (dorongan) secara sistemis agar setiap negara menolong diri sendiri (self-help) atau mengekor kepada negara yang terkuat dari hasil dorongan sistem anarki internasional.

Sistem balance of power ialah sistem internasional yang terbentuk dari sistem yang anarkistis dalam rangka menjaga keamanan internasional (perdamaian). Struktur yang berlaku ialah hierarki kekuatan/kekuasaan (power), bukan hierarki otoritas. Kesimpulannya, siapa yang kuat, dia yang menentukan politik dunia.

Sistem balance of power internasional itu mengandaikan adanya struktur internasional yang terdiri dari negara yang terkuat sampai dengan yang terlemah. Sistem tersebut ada tiga tipe, unipolar, bipolar, dan multipolar. Sistem bipolar ialah sistem masa Perang Dingin yang struktur internasionalnya diperankan Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet. Sistem unipolar ialah struktur masa George Bush Junior ketika melakukan kebijakan unilateral.

Lalu sistem multipolar ialah masa kini yang tampaknya, masyarakat internasional mengurangi dosis dukungan terhadap AS dan sekutu mereka sehingga konteks konflik Palestina-Israel menguntungkan Palestina dan merugikan Israel di PBB. Jadi sistem multipolar tersebut memberi peluang transformasi peta politik dunia.

Dunia Meragukan

Rekonfigurasi sistem anarki internasional dari unipolar ke multipolar. Pertama, kemunculan figur Osama bin Laden tidak hanya dipahami sebagai sosok yang ditakuti AS. Ia juga simbol lemahnya daya lindung (keamanan) AS terhadap diri mereka. 

Masyarakat internasional akan berpikir bahwa AS sendiri saja tidak dapat melindungi diri dari serangan musuh-musuh mereka, lalu bagaimana negara tersebut melindungi negara-negara lain yang membutuhkan?

Selain itu, proses penyebaran nilai-nilai demokrasi liberal AS ke seluruh dunia pun kurang berhasil (Shakman Hurd, 2008). Hambatan-hambatan penyebaran demokrasi liberal dapat terlihat dari beberapa sistem politik negara-negara di dunia yang belum sepenuhnya berdemokrasi liberal ala AS, khususnya terlihat pada kegagalan demokrasi liberal AS di kasus Irak, Afghanistan, dan beberapa negara Timur Tengah. Kini hasil demokrasi dari gejolak Arab Spring (2011) sebagai dorongan revolusi Timur Tengah yang masih bergelimang darah korban revolusi dan perang sipil bahkan belum terlihat.

Lemahnya sistem keamanan AS dan pamor nilai-nilai demokrasi liberal mengakibatkan citra AS sebagai `polisi dunia' dan negara pelindung bagi si lemah (benevolence state) menjadi menurun. Di mata masyarakat internasional, AS bukanlah negara yang kuat lagi. Hal itu sudah jauh hari diprediksi pakar politik ekonomi internasional Harvard Robert Gilpin (1987) bahwa hegemoni AS bakal menurun.

Kedua, perubahan sistem ekonomi global. Krisis ekonomi AS yang berimbas secara global dan menghantam Uni Eropa mengakibatkan kekuatan mereka sebagai pihak negara pemenang Perang Dunia II dan Perang Dingin serta peraih hadiah Nobel menjadi menurun. Di mata masyarakat internasional, negara-negara tersebut sudah mulai ditinggalkan para pengekor mereka.

Ketiga, sementara AS dan Uni Eropa sedang tertatihtatih bangkit dari krisis, negara-negara Asia seperti China, India, dan ASEAN mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup signifi kan. Arah mata angin sedang berubah. Transformasi sistem anarki internasional dari unipolar ke multipolar. Jadi AS yang dulu dapat melakukan tindakan unilateral sudah hampir mustahil dapat melakukannya lagi.

Sikap China terhadap Laut China Selatan membuat AS mengubah peta militer mereka dari Timur Tengah ke Asia. Selain menguntungkan Palestina dan merugikan Israel, AS juga terlihat berubah orientasi dan fokus dari Timur Tengah ke Asia.

Awal Reformasi

Dari ketiga faktor yang signifikan tadi, peta politik dunia sudah tidak lagi berpihak pada sistem unipolar AS dan sekutu mereka. Masyarakat internasional sudah berani mengambil langkah yang lebih demokratis dengan mendukung kedaulatan Palestina melalui PBB. Tampaknya, politik dunia sudah mulai bergerak ke arah demokrasi kosmopolitan (David Held, 1998).

Walaupun beberapa ilmuwan politik melihat demokrasi kosmopolitan sebagai topeng internasionalisasi demokrasi liberal, dengan adanya diplomasi antarnegara dan diikuti dengan gerakan masyarakat sipil, itu memungkinkan untuk reformasi PBB lebih radikal. Reformasi PBB tanpa mengikuti arah angin sistem demokrasi liberal AS. Hal itulah yang diharapkan kita semua bahwa pemangku veto di PBB harus segera dihapus. Sudah saatnya politik dunia berubah ke arah yang lebih adil dan demokratis (Habermas, 2001). ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar