Muhammadiyah,
Seabad Perubahan
Martin van Bruinessen ; Profesor
Emeritus Universitas Utrecht (Belanda),
Peneliti Senior Asia
Research
|
KOMPAS,
07 Desember 2012
Buku klasik Mitsuo Nakamura, The Crescent Arises over the Banyan Tree,
merupakan kajian antropologi penting dan rujukan wajib bagi setiap peneliti
yang ingin memahami fenomena Muhammadiyah.
Tahun ini, Profesor
Nakamura meluncurkan edisi perbaikan buku lama yang dilengkapi dengan
pengamatan dan analisisnya tentang perkembangan Muhammadiyah di Kota Gede
selama empat dasawarsa pasca-penelitian aslinya. Tambahan tersebut sebetulnya
setebal buku awal dan layak dianggap sebagai The Crescent jilid kedua, apalagi isinya juga tak kalah menarik.
Sebagai pengamat setia
Muhammadiyah paling senior—bekerja sama dengan para cendekiawan muda
Muhammadiyah—Prof Nakamura juga memelopori konferensi ilmiah tentang ormas
yang telah berumur satu abad di Malang akhir pekan ini. Tulisan sederhana ini
adalah tanggapan terhadap tulisan Prof Nakamura di Kompas (23/11).
Pengamatan Nakamura bahwa
Muhammadiyah telah memudar dan kurang dinamis dibanding dulu agaknya tak
terlepas dari perubahan mendasar dalam komposisi keanggotaannya. Sampai
setengah abad lalu, orang Muhammadiyah pada umumnya dikenal sebagai
wiraswasta dan pekerja keras. Para pengusaha batik Yogyakarta dan Pekajangan
(Pekalongan), juga para perajin dan saudagar Kota Gede adalah ikon
Muhammadiyah. Ungkapan Jawa ”sepi ing
pamrih rame ing gawe” sangat tepat untuk menggambarkan etos kerja kaum
Muhammadiyah ketika itu.
Berbagai pengamat asing
menyebutkan, sikap dan perilaku kaum Muslim modernis itu mirip kaum Kalvinis
yang menurut Weber cocok dengan perkembangan ekonomi kapitalisme. Dari semua
golongan pribumi, kaum santri modern berpotensi menggerakkan pertumbuhan
ekonomi dan demokrasi politik.
Mulai tahun 1970-an kita
bisa melihat keanggotaan Muhammadiyah yang semakin diwarnai oleh pegawai
negeri dan birokrat daripada kaum wiraswasta. Hal itu tak berarti bahwa
Muhammadiyah mulai menggarap golongan lain, tetapi lebih mencerminkan
perubahan internal Muhammadiyah.
Selama Indonesia masih
dijajahi Belanda, orang Islam kebanyakan enggan bekerja
untuk pemerintah yang
kafir dan menilai pekerjaan sebagai wiraswasta lebih mulia.
Pasca-kemerdekaan, sikap terhadap negara dan pemerintah berubah. Pertumbuhan
ekonomi dan perkembangan pendidikan massal pada Orde Baru juga membuat
lapangan kerja di jajaran birokrasi dan dunia pendidikan sangat meluas.
Anak-anak dari para
pengusaha yang telah membesarkan Muhammadiyah rata-rata meninggalkan usaha
orangtua mereka dan memilih karier di birokrasi atau lembaga pendidikan. Maka,
ikon Muhammadiyah lama, yakni para pengusaha batik dan perak di Yogyakarta,
Pekajangan, dan Kota Gede, tinggal nama.
Generasi muda keluarga
perajin dan saudagar itu sebagian besar beralih profesi menjadi pegawai
negeri, guru/dosen, dokter, pengacara, dan sebagainya. Muhammadiyah telah
menjadi organisasi kelas menengah birokrat terbesar di Indonesia. Maka
pandangan kemasyarakatan Muhammadiyah mencerminkan sikap dan pandangan
golongan yang dominan di dalamnya.
Pasca-Reformasi, ada
persepsi bahwa Muhammadiyah terancam infiltrasi gerakan Islam radikal
bersifat transnasional, seperti Tarbiyah/PKS dan Salafi. Mungkin lebih baik
kita melihat fenomena itu sebagai pergumulan atau pergeseran antargenerasi,
tak jauh berbeda dengan pergeseran dari wiraswasta ke pegawai negeri.
Pengetahuan saya memang terbatas dan parsial, tetapi aktivis Tarbiyah atau
Salafi dalam Muhammadiyah yang saya kenal—langsung atau tidak langsung—tidak
berasal dari luar Muhammadiyah, tetapi lahir dan dibesarkan di dalamnya.
Mereka merupakan bagian
dari proses regenerasi dan reformasi (pembaruan, pemurnian) internal yang tak
pernah berhenti. Selain mereka, tentu saja ada kelompok-kelompok lain yang
juga mencari cara untuk mengaktualisasi (tajdid) dan menerapkan nilai-nilai Islam.
Di mata banyak anak muda,
organisasi Muhammadiyah sudah terlalu mapan. Kegiatan sosial dilakukan rutin
tanpa semangat menciptakan dunia yang lebih adil. Wacana keagamaannya pun tak
lagi sanggup memenuhi kebutuhan generasi muda akan spiritualitas dan relevansi
sosial. Tak sulit dimengerti kalau sebagian mereka tertarik pada paham dan
aksi Ikhwan, Hizbut Tahrir atau Salafi, dan sebagian lain tertarik pada
intelektualisme Islam yang (oleh penentangnya) dicap ”liberal”.
Walaupun mereka diilhami
gerakan dan pemikir di luar Muhammadiyah (dan di luar Indonesia), tidak
tepatlah kalau kita melihat pergumulan pemikiran itu sebagai ancaman dari
luar. Dalam proses globalisasi, masyarakat seperti Indonesia dan organisasi
seperti Muhammadiyah bukan obyek yang pasif menerima pengaruh dari luar,
melainkan orang Indonesia dan anggota Muhammadiyah juga memainkan peran aktif
dalam proses itu: merekalah yang memilih yang dianggap cocok dan perlu.
Penyusupan paham dan gaya
aksi gerakan Islam transnasional ke dalam Muhammadiyah merupakan bagian dari
perkembangan yang lebih umum, yaitu memudarnya batas negara-bangsa. Sebagai
akibat kebijakan ekonomi neoliberal dan perkembangan teknologi komunikasi
(internet dan telepon seluler), peranan negara bangsa memudar dan berbagai
aktor nonpemerintah, sebagiannya transnasional, yang mengambil peranan.
Manusia, barang, uang,
pemikiran dan unsur budaya lainnya lebih mudah melintasi batas antarnegara.
Di Indonesia, proses globalisasi makin cepat pada era reformasi. Banyak orang
Indonesia hidup bertahun-tahun di luar negeri untuk studi atau kerja; lebih
banyak lagi yang telah berkunjung ke negara lain dalam rangka ibadah atau
wisata (atau, kalau anggota DPR, studi perbandingan). Wawasan orang Indonesia
tidak lagi terbatas pada daerah dan negara bangsa, tetapi mencakup bagian
dunia lainnya.
Muhammadiyah selama ini
merupakan ormas Islam kebangsaan dengan anggota dan cabang di seluruh
Indonesia. Walaupun ada beberapa cabang luar negeri, anggotanya orang
Indonesia juga; tak ada orang Muhammadiyah yang bukan warga negara Indonesia.
Muhammadiyah, seperti halnya Nahdlatul Ulama (NU), memainkan peran penting
dalam proses nation-building (pembentukan bangsa) Indonesia.
Muhammadiyah lahir di
Yogyakarta dan lama diwarnai nilai- nilai budaya Jawa. Namun, sebagai ormas,
Muhammadiyah mencakup seluruh Indonesia dengan struktur organisasi identik
dengan struktur pemerintahan negara.
Akan tetapi, wawasan dan
ambisi sebagian generasi muda sudah melintas batas negara bangsa. Cita-cita,
nalar, dan perjuangan mereka diilhami oleh ide-ide, tokoh-tokoh, atau
gerakan-gerakan di bagian dunia lainnya. Dari paham Salafi sampai
hermeneutika, dari gerakan antiglobalisasi sampai perennialisme, dari
perekonomian Islam sampai teologi pembebasan. Tantangan rumit bagi Muhammadiyah
adalah bagaimana tetap menjadi rumah bagi mereka, tempat di mana mereka bisa
tukar-menukar pemikiran dan berdebat bebas tentang implikasi pemikiran untuk
aksi, serta wadah untuk aktivitas sosial dan keagamaan tanpa mengorbankan
identitas Muhammadiyah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar