Selasa, 11 Desember 2012

Membela Pahlawan Devisa


Membela Pahlawan Devisa
Nur Khasanah ;   Mantan TKW di Abu Dhabi,
Kini guru TK ABA Sodong Kecamatan Wonotunggal Batang
SUARA MERDEKA, 08 Desember 2012


DRAMA pembebasan Satinah, TKW asal RT 2 RW 3 Dusun Mruten Wetan Desa Kalisidi Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang dari hukuman mati mendekati babak penting. Kita berharap pada hasil positif perundingan antara Maftuh Basyuni, mantan ketua Satgas TKI dan keluarga ahli waris korban.

Perundingan itu terkait besaran diyat yang diminta, yaitu 7 juta riyal Arab Saudi atau sekitar Rp 21 miliar. Pemerintah kita sudah menawar 2 juta riyal seperti pernah dilakukan terhadap Darsem, TKI asal Jabar. Hukuman pancung segera dilakukan bila sampai batas akhir, 14 Desember 2012, diyat (uang darah) untuk keluarga korban tidak dibayarkan.

Semua telah menjadi fakta di hadapan Satinah atas konsekuensi membunuh perempuan majikannya, Nura Al Gharib di wilayah Gaseem pada awal Juni 2009. Dia juga menghadapi tuduhan pencurian uang 37.970 riyal milik majikan, sebelum TKW itu meminta perlindungan ke kantor KBRI.

Perlakuan buruk majikan di negara petrodolar, dan juga negara penerima lain, terhadap pembantu rumah tangga kita sebenarnya tidak hanya dialami Satinah, namun tidak banyak yang berakhir dengan pembunuhan. Kebanyakan TKI berpikir seribu kali sebelum berbuat nekat. Tentu kita harus mencari tahu penyebab mereka sampai berbuat nekat, demi keberimbangan penyimpulan peristiwa itu.

Kita juga melihat kasus Satinah mengalami pembiakan, dari tindak kriminal bergeser ke ranah pemerasan. Hal ini dapat dicermati dari kronologi seputar penentuan besaran denda, yang semula disepakati 500.000 riyal atau Rp 1,25 miliar sebagai pengganti hukuman qisas, berubah menjadi 10 juta riyal atau Rp 25 miliar, sebelum akhirnya turun menjadi Rp 21 miliar.

Keluarga korban memanfaatkan keterpojokan posisi Satinah dan pemerintah kita, dengan menuntut denda setinggi-tingginya, yakni 7 juta riyal, jauh melebihi angka yang difatwakan pemerintah Arab Saudi sebesar 500 riyal.

Apakah pemerintah benar-benar akan membayar  dana puluhan miliar rupiah untuk menebus pembebasan Satinah? Harga nyawa memang tidak bisa disetarakan dengan uang, berapa pun besarnya. Dari sisi kemanusiaan, usaha membebaskan TKI itu adalah sah-sah saja. Persoalannya ada pada tuntutan tebusan yang terlalu besar. Membunuh merupakan perbuatan zalim, sama tidak adilnya dengan tuntutan pembayaran diyat yang terlalu tinggi.

Mencermati perkembangan, tampaknya pemerintah akan membayar tebusan, sebagaimana dilakukan untuk membebaskan Darsem beberapa tahun lalu. Langkah serupa mungkin saja berlanjut mengingat masih ada 5 TKI di Arab Saudi yang divonis mati dan harus membayar diyat demi memperoleh pemaafan dari keluarga korban.

Menurut Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Moh Jumhur Hidayat, saat ini pemerintah masih memproses penyediaan uang diyat hingga batas akhir yang ditetapkan pengadilan. Pembayaran diyat oleh pemerintah kita kepada otoritas pengadilan setempat guna diteruskan ke ahli waris korban, terkait penyelesaian damai atau tanazul. (SM, 01/12/12).

Keberimbangan Fakta

Sudah seharusnya pemerintah Indonesia membantu, antara lain dengan mengulurkan dana untuk membebaskan TKI yang terancam hukuman mati, mengingat buruh migran tersebut menyumbang devisa kepada negara dengan nilai fantastis. Untuk tahun 2012 sampai Mei lalu, BNP2TKI mencatat perolehan devisa TKI mencapai Rp 40 triliun.   

Perolehan devisa itu, dari TKI yang bekerja di negara di Amerika, Timur Tengah, Afrika, Eropa, dan Australia sebesar 2,8 miliar dolar AS (Rp 28 triliun, asumsi kurs 1 dolar setara Rp10 ribu), ditambah devisa TKI yang bekerja di negara-negara Asia sebesar 1,2 miliar dolar AS atau Rp 12 triliun (www.bnp2tki.go.id). Mencermati angka triliunan rupiah itu, angka Rp 21 miliar ”tidak ada apa-apanya”.

Secara ekonomis, pemerintah kita tidak rugi tapi secara psikologis dan budaya, Indonesia sangat terpukul karena mendapat citra buruk sebagai negara pengirim TKI dengan beberapa menjadi pembunuh. Pembunuhan yang dilakukan oleh beberapa TKI di luar negeri nyata-nyata merepotkan banyak pihak. Membela harga diri tidak harus dengan cara membunuh, tapi sekali lagi, kita perlu mengetahui sejelas-jelasnya mengapa mereka sampai berbuat nekat.

Masyarakat bisa memetik pelajaran penting dari kasus itu. Semua tentu berharap, kasus TKI membunuh majikan cukup sampai di sini. Terlalu besar konsekuensi yang harus diterima oleh buruh migran yang terlibat kasus itu. Bukan hanya diri dan keluarga yang menerima getah melainkan juga bangsa dan negara.

Tapi pada sisi lain, seberapa besar perhatian dan perlindungan pemerintah kita terhadap TKI yang bekerja di luar negeri. Cukupkah dengan menyematkan predikat pahlawan devisa? Cukupkah Kemenakertrans hanya mengganti sebutan pembantu rumah tangga (PRT) dengan penata laksana rumah tangga (PLRT), untuk pekerjaan yang sama. Sudahkan PJTKI memartabatkan calon TKI, saudara sebangsa dan setanah air, yang akan mereka kirim, dari tempat penampungan hingga pertanggungjawaban seandainya tenaga keja itu menemui masalah di negara tujuan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar