Membela
Pahlawan Devisa
Nur Khasanah ; Mantan TKW di
Abu Dhabi,
Kini guru TK
ABA Sodong Kecamatan Wonotunggal Batang
|
SUARA
MERDEKA, 08 Desember 2012
DRAMA pembebasan Satinah, TKW asal
RT 2 RW 3 Dusun Mruten Wetan Desa Kalisidi Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten
Semarang dari hukuman mati mendekati babak penting. Kita berharap pada hasil
positif perundingan antara Maftuh Basyuni, mantan ketua Satgas TKI dan
keluarga ahli waris korban.
Perundingan itu terkait besaran
diyat yang diminta, yaitu 7 juta riyal Arab Saudi atau sekitar Rp 21 miliar.
Pemerintah kita sudah menawar 2 juta riyal seperti pernah dilakukan terhadap
Darsem, TKI asal Jabar. Hukuman pancung segera dilakukan bila sampai batas
akhir, 14 Desember 2012, diyat (uang darah) untuk keluarga korban tidak
dibayarkan.
Semua telah menjadi fakta di
hadapan Satinah atas konsekuensi membunuh perempuan majikannya, Nura Al
Gharib di wilayah Gaseem pada awal Juni 2009. Dia juga menghadapi tuduhan
pencurian uang 37.970 riyal milik majikan, sebelum TKW itu meminta
perlindungan ke kantor KBRI.
Perlakuan buruk majikan di
negara petrodolar, dan juga negara penerima lain, terhadap pembantu rumah
tangga kita sebenarnya tidak hanya dialami Satinah, namun tidak banyak yang
berakhir dengan pembunuhan. Kebanyakan TKI berpikir seribu kali sebelum
berbuat nekat. Tentu kita harus mencari tahu penyebab mereka sampai berbuat
nekat, demi keberimbangan penyimpulan peristiwa itu.
Kita juga melihat kasus Satinah
mengalami pembiakan, dari tindak kriminal bergeser ke ranah pemerasan. Hal
ini dapat dicermati dari kronologi seputar penentuan besaran denda, yang
semula disepakati 500.000 riyal atau Rp 1,25 miliar sebagai pengganti hukuman
qisas, berubah menjadi 10 juta riyal atau Rp 25 miliar, sebelum akhirnya
turun menjadi Rp 21 miliar.
Keluarga korban memanfaatkan
keterpojokan posisi Satinah dan pemerintah kita, dengan menuntut denda
setinggi-tingginya, yakni 7 juta riyal, jauh melebihi angka yang difatwakan
pemerintah Arab Saudi sebesar 500 riyal.
Apakah pemerintah benar-benar
akan membayar dana puluhan miliar rupiah untuk menebus pembebasan
Satinah? Harga nyawa memang tidak bisa disetarakan dengan uang, berapa pun
besarnya. Dari sisi kemanusiaan, usaha membebaskan TKI itu adalah sah-sah
saja. Persoalannya ada pada tuntutan tebusan yang terlalu besar. Membunuh
merupakan perbuatan zalim, sama tidak adilnya dengan tuntutan pembayaran
diyat yang terlalu tinggi.
Mencermati perkembangan,
tampaknya pemerintah akan membayar tebusan, sebagaimana dilakukan untuk
membebaskan Darsem beberapa tahun lalu. Langkah serupa mungkin saja berlanjut
mengingat masih ada 5 TKI di Arab Saudi yang divonis mati dan harus membayar
diyat demi memperoleh pemaafan dari keluarga korban.
Menurut Kepala Badan Nasional
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Moh Jumhur Hidayat, saat
ini pemerintah masih memproses penyediaan uang diyat hingga batas akhir yang
ditetapkan pengadilan. Pembayaran diyat
oleh pemerintah kita kepada otoritas pengadilan setempat guna diteruskan ke
ahli waris korban, terkait penyelesaian damai atau tanazul. (SM, 01/12/12).
Keberimbangan Fakta
Sudah seharusnya pemerintah
Indonesia membantu, antara lain dengan mengulurkan dana untuk membebaskan TKI
yang terancam hukuman mati, mengingat buruh migran tersebut menyumbang devisa
kepada negara dengan nilai fantastis. Untuk tahun 2012 sampai Mei lalu,
BNP2TKI mencatat perolehan devisa TKI mencapai Rp 40 triliun.
Perolehan devisa itu, dari TKI
yang bekerja di negara di Amerika, Timur Tengah, Afrika, Eropa, dan Australia
sebesar 2,8 miliar dolar AS (Rp 28 triliun, asumsi kurs 1 dolar setara Rp10
ribu), ditambah devisa TKI yang bekerja di negara-negara Asia sebesar 1,2
miliar dolar AS atau Rp 12 triliun (www.bnp2tki.go.id). Mencermati angka
triliunan rupiah itu, angka Rp 21 miliar ”tidak ada apa-apanya”.
Secara ekonomis, pemerintah
kita tidak rugi tapi secara psikologis dan budaya, Indonesia sangat terpukul
karena mendapat citra buruk sebagai negara pengirim TKI dengan beberapa
menjadi pembunuh. Pembunuhan yang dilakukan oleh beberapa TKI di luar negeri
nyata-nyata merepotkan banyak pihak. Membela harga diri tidak harus dengan
cara membunuh, tapi sekali lagi, kita perlu mengetahui sejelas-jelasnya
mengapa mereka sampai berbuat nekat.
Masyarakat bisa memetik
pelajaran penting dari kasus itu. Semua tentu berharap, kasus TKI membunuh
majikan cukup sampai di sini. Terlalu besar konsekuensi yang harus diterima
oleh buruh migran yang terlibat kasus itu. Bukan hanya diri dan keluarga yang
menerima getah melainkan juga bangsa dan negara.
Tapi pada sisi lain, seberapa
besar perhatian dan perlindungan pemerintah kita terhadap TKI yang bekerja di
luar negeri. Cukupkah dengan menyematkan predikat pahlawan devisa? Cukupkah
Kemenakertrans hanya mengganti sebutan pembantu rumah tangga (PRT) dengan
penata laksana rumah tangga (PLRT), untuk pekerjaan yang sama. Sudahkan PJTKI
memartabatkan calon TKI, saudara sebangsa dan setanah air, yang akan mereka
kirim, dari tempat penampungan hingga pertanggungjawaban seandainya tenaga
keja itu menemui masalah di negara tujuan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar