Selasa, 11 Desember 2012

Ketika Televisi Menggantikan Dongeng


Ketika Televisi Menggantikan Dongeng
Anto Prabowo ;  Wartawan Suara Merdeka,
Bergiat di Lembaga Studi Pers dan Informasi (LeSPI)
SUARA MERDEKA, 08 Desember 2012


"Lewat medium televisi, anak-anak belajar tentang kebohongan yang gamblang ditampilkan para tokoh publik"

AHLI psikologi sosial dari Amerika Serikat David McClelland pada 1971 melalui buku The Achievement Motive in Economic Growth mengemukakan konsep the need for Achievement (n-Ach) atau kebutuhan untuk berprestasi, yang kemudian menjadi sangat terkenal. Menurut dia, orang dengan n-Ach tinggi cenderung berusaha menyelesaikan pekerjaan dengan sempurna, bukan karena imbalan materi melainkan demi memenuhi tuntutan kepuasan batin dari dalam diri.

Mendasarkan konsep itu, bila dalam masyarakat terdapat banyak individu dengan n-Ach tinggi, diharapkan masyarakat tersebut akan mengalami pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan tinggi. Melalui riset, McClelland menyimpulkan bahwa n-Ach tinggi bisa ditumbuhkan melalui cerita anak-anak. Di semua negara, mayoritas orang tua mendongeng pada anak-anak menjelang tidur mereka, memanfaatkan cerita anak-anak, baik tertulis maupun cerita tutur turun-temurun.

Pemilihan cerita anak karena dinilai belum dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politik sehingga lebih murni. Selanjutnya, ia mengaitkan antara isi cerita anak-anak (ia meneliti 1.300 cerita) dan kemajuan ekonomi negara-negara asal cerita itu. Simpulannya, negara yang cerita anak-anaknya mengandung nilai n-Ach tinggi, yang ditandai antara lain ada optimisme tinggi, petualangan, keberanian untuk mengubah nasib, banyak akal, tidak cepat menyerah, memiliki tingkat ekonomi dan kesejahteraan masyarakat yang tinggi pula.

Inti dari konsep McClelland adalah narasi dalam kisah-kisah dongeng dan cerita anak, turut membangun karakter si penerima pada kemudian hari. Bagian dari  karakter itu antara lain dorongan untuk  terus berprestasi. Jika kisah-kisah itu punya nilai-nilai optimisme, ada dorongan mengubah nasib yang lebih baik, tidak cepat menyerah, berani, dan sebagainya maka n-Ach dari anak-anak akan tinggi dan terbawa ketika mereka dewasa.

Sebaliknya, bila pasrah, fatalis, hanya menurut, dan sejenisnya maka n-Ach si penerima dongeng akan rendah. McClelland juga mengemukakan, tempat paling baik untuk menyemai ”virus” n-Ach tinggi adalah institusi keluarga. Kondisi masyarakat saat ini telah berkembang makin kompleks. Medium untuk menyemai virus n-Ach tinggi tidak hanya aktivitas mendongeng orang tua kepada anak, atau guru kepada murid, tetapi dapat juga melalui film, radio, koran, ataupun siaran televisi.  

Makanan Jiwa

Mari kita tengok kondisi Indonesia saat ini. Televisi makin menggantikan peran orang tua untuk mendongeng dan bercerita kepada anak. Harga televisi makin murah, bisa dibeli oleh keluarga berpenghasilan rendah, makin banyak stasiun televisi, termasuk ragam siarannya. Berjam-jam tiap hari anak-anak berada di depan televisi, menonton aneka tayangan.

Melalui sinetron, penonton anak-anak disuguhi Bahasa Indonesia yang porak-poranda, misalnya, ”Ih, loe tuh kegatelan banget ya”, ”Kamu itu yang kegenitan”, ”Please deh, loe itu gak level ama gue”, dan semacamnya. Melalui sinetron, anak-anak juga diajari tingkah stereotipe bagaimana kalau orang marah: mata mendelik, mulut meneriakkan suara lantang dan kasar, lalu...plak!, tangan pun melayang ke muka si lawan main.

Lewat sinetron pula, hidup terasa mudah. Persoalan dan konflik cukup hanya diselesaikan melalui mantera-mantera waz-wiz-wuz, lalu persoalan selesai atau kemenangan dapat diraih. Bayangkan itu! Persoalan tidak diatasi melalui kerja keras, atau mencoba berbagai cara cerdik, dan sikap yang tak mudah menyerah tapi lewat jalan pintas.

Lewat medium televisi, anak-anak juga belajar tentang kebohongan-kebohongan yang gamblang ditampilkan para tokoh publik.  Mereka juga menonton orang-orang yang mudah marah lalu merusak, menyaksikan tawuran pelajar, atau menikmati urusan privat yang diumbar menjadi konsumsi publik.

Dengan konsumsi kisah-kisah seperti itu di benak mereka, apa yang terjadi pada anak-anak ketika kelak mereka remaja dan dewasa? Apakah mereka akan punya virus n-Ach tinggi? Ataukah virus amarah, virus bohong, virus ngegosip, virus adu kuat,  virus jalan pintas, dan sejenisnya?

Siaran televisi itu ”makanan jiwa”. Kalau makanan (fisik) yang kita konsumsi berpengaruh pada kesehatan dan kesakitan kita, demikian pula makanan jiwa. Jika kualitas isi tayangan televisi buruk, pengaruh pada pemirsa pun buruk. Dari seluruh pemirsa, anak-anaklah yang paling rentan terkena pengaruh.

Karena itu, marilah kita hilangkan anggapan bahwa televisi itu anugerah semata yang memberikan aneka hiburan dan pendidikan gratis pada masyarakat, karena banyak bahaya buruk yang mengintai ketika kita tak waspada dan tidak selektif dalam menyaksikan beragam tayangan. Mari terus kita kritik siaran-siaran televisi itu, untuk mendorong pengelola industri siaran menyuguhkan ”makanan jiwa” yang sehat bagi masyarakat, bagi kita semua. ●

1 komentar: