Minggu, 09 Desember 2012

Drama Andi Mallarangeng Menjelang Hari Antikorupsi Internasional


Drama Andi Mallarangeng
Menjelang Hari Antikorupsi Internasional
Airlangga Pribadi Kusman ;   Pengajar Departemen Politik FISIP
Universitas Airlangga, Kandidat PhD Asia Research Center Murdoch University
JAWA POS, 08 Desember 2012


KEMARIN, Jumat 7 Desember 2012, kita disuguhi tiga fenomena politik yang saling bertautan, dramatis, dan mengharukan. Kisah pertama, selama sembilan tahun berdirinya KPK, untuk kali pertama dalam sebuah investigasi yang rumit dan melelahkan komisi itu menetapkan menteri aktif, Menpora Andi Alfian Mallarangeng, sebagai tersangka dalam kasus proyek pembangunan kompleks olahraga terpadu Hambalang di Bogor, Jawa Barat. Kebetulan pula, drama tersebut terjadi menjelang Hari Antikorupsi Internasional 9 Desember besok.

Kisah kedua masih berhubungan dengan yang pertama. Tokoh yang ditetapkan sebagai tersangka, yaitu Andi Mallarangeng, dalam sejarah publiknya adalah tokoh yang sejak masa awal reformasi memulai kiprahnya dalam dunia publik sebagai aktivis antikorupsi. Yakni, menjadi chair of policy committee pada Partnership for Governance Reform. Tidak ada yang menyangka, setelah bertahun kemudian, dia terjerat kasus korupsi, perjuangan yang sudah lama menjadi komitmen yang melekat pada dirinya.

Ketiga, Andi Mallarangeng memberikan standar baru dalam etika pemerintahan, yakni mundur ketika menjadi tersangka kasus berat seperti kasus korupsi. Dia juga mundur dari sekretaris Dewan Pembina Partai Demokrat. Kelak, kalau ada menteri atau pejabat tinggi yang menjadi tersangka dan ngeyel tetap menjabat, orang akan bisa mengkritik dengan membandingkannya dengan sikap ''kesatria'' Andi.

Ibarat sebuah revolusi yang memakan anak kandung sendiri (seperti kata Bung Karno), demikianlah nasib Andi. Perjuangannya semasa awal reformasi untuk masuk dalam pusaran papan atas intelektual bergengsi di Indonesia diawali dari perjuangannya meletakkan tiang pancang good governance dalam pelembagaan politik Indonesia untuk membersihkan praktik-praktik korupsi dalam institusi demokratis. Demikian pula, tergelincirnya Andi sebagai tersangka kali ini dalam kasus Hambalang merupakan hasil investigasi tajam lembaga antikorupsi KPK, lembaga buah perjuangan membangun good governance. Namun, demikianlah, sebuah penegakan hukum harus memiliki hukum besinya. Siapa pun tanpa privilege harus siap menanggung kerasnya supremasi hukum untuk menegakkan kebaikan bersama. 

Bagaimanapun, kerja KPK yang didukung pula oleh audit BPK untuk mengungkap siapa saja yang terlibat dalam kasus Hambalang patut diapresiasi. Sembilan tahun bekerja, pelan tapi pasti, di tengah benturan dan hantaman politik dari kekuatan-kekuatan yang resah terhadap sepak terjangnya, ketajaman serta keberanian untuk mengungkap elite kelas atas di republik kita adalah sebuah kerja prestisius. 

Membangun Blok Antikorupsi 

Perjalanan memberantas korupsi masih jauh. Masih ada beberapa persoalan penting yang berdimensi struktural ekonomi-politik yang dihadapi setiap aktor strategis antikorupsi di Indonesia.

Pertama, kasus korupsi di Indonesia yang mewabah pada era pasca otoritarianisme ini bukanlah semata-mata persoalan yang terjadi karena tidak berjalannya reformasi kelembagaan untuk menghadapinya. Problem korupsi tidak begitu saja selesai dengan peningkatan kapasitas dari segenap aparatur birokratis maupun aktor-aktor antikorupsi untuk memberantasnya. Singkatnya, peningkatan capacity building dan rekrutmen aparat yang bersih bukan solusi problem endemis korupsi di Indonesia. 

Secara struktural, problem korupsi hadir sebagai masalah terkait dengan kemampuan adaptasi jejaring elite oligarkis yang berporos di kekuatan bisnis elite partai politik dan birokrasi untuk beradaptasi dengan kelembagaan politik demokrasi. Mereka bangkit melalui pelembagaan politik demokrasi dan menjadi kekuatan dominan di dalam sirkulasi elite politik di Indonesia. Akibatnya, perjuangan melawan korupsi di Indonesia kerap masih terbentur kepentingan-kepentingan elite politik dalam relasi kapital serta politik yang masih menjadi misteri dan sukar diungkap sampai saat ini. Permainan kekuasaan dan jejaring oligarkis yang terlibat dalam kasus skandal besar Bank Century merupakan salah satu contoh problem struktural relasi elite predatoris dalam persoalan korupsi di Indonesia.

Kedua, persoalan korupsi di Indonesia masih menjadi problem struktural mulai tingkat pusat sampai tingkat lokal. Pada awalnya, program-program good governance, yang salah satunya dirintis Andi, berniat membangun agenda tata kelola pemerintahan reformis yang berkarakter manajerial teknis namun nonpolitis. Namun, dari wawancara yang saya lakukan dengan aktivis akar rumput di tingkat lokal, program-program tersebut yang mewujud dalam alokasi anggaran-anggaran di daerah kerap mengalami proses repolitisasi. Politisasi tersebut berlangsung ketika aliansi elite-elite politik bisnis yang berkuasa menggunakan program itu, antara lain, untuk kepentingan pemilu dengan merawat relasi patronase politik mereka.

Ketiga, problem perlawanan agenda antikorupsi di Indonesia masih menjadi sebuah agenda publik yang bersifat moralistis yang dalam beberapa hal masih berkisar pada respons gosip terhadap berita-berita di media. Dalam perjuangan perlawanan antikorupsi di Indonesia, kesadaran bahwa korupsi adalah musuh bangsa belum terartikulasi sebagai arus utama dalam perjuangan gerakan sosial demokratis di segala lini untuk menghadapi aliansi elite oligarki koruptor yang sedemikian kuat dan solid. 

Keadaan itu dalam konteks perjuangan strategis cukup mengkhawatirkan. Ketika wacana antikorupsi masih berpijak pada kesadaran moralistis, tanpa bertransformasi menjadi sebuah barisan kesadaran politik dalam gerakan sosial, kita sebagai warga kerap hanya bisa menjadi penonton ketika agensi dan instrumen politik antikorupsi, yaitu KPK, mengalami serangan dan pembonsaian oleh kekuatan-kekuatan politik. Fenomena tersebut, antara lain, tampak ketika polisi menarik para penyidiknya atau saat para elite politik berusaha membonsai wewenang dan tugas KPK dalam DPR. 

Penguatan langkah politik dari gerakan sosial untuk memberantas korupsi bisa dilakukan dalam pembangunan blok sejarah demokratis dengan menjadikan antikorupsi sebagai agenda utama gerakan. Langkah lain adalah ketika aktor-aktor strategis antikorupsi mencoba bertarung dalam arena politik elektoral melawan kekuatan-kekuatan predatoris yang saat ini menjadi kelas politik dominan. 

Saatnya bagi kita untuk mendeteksi persoalan struktural korupsi di Indonesia. Dengan demikian, peristiwa Hambalang dan penetapan Andi Mallarangeng (dan adiknya, Andi Zulkarnain atau Choel Mallarangeng) sebagai tersangka tidak berakhir menjadi sebuah tragika politik ''Sang Reformis'' semata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar