Membangun
Khitah NU yang Produktif
Akh Muzakki ; Dosen Pascasarjana IAIN Sunan Ampel dan Alumnus Program Doktoral (PhD)
di The University of Queensland, Australia
|
JAWA
POS, 17 Desember 2012
PILGUB
Jatim yang segera digelar 2013 memicu pertanyaan penting soal konsep khitah
NU. Pertanyaan itu berpusat pada isu apakah NU secara kelembagaan dianggap
patut ataukah tidak untuk terlibat dalam gegap politik kontestasi pilgub.
Sebagian
pihak mendorong agar NU bersih dari aksi politik di balik kontestasi pilgub.
Alasannya, khitah mempersyaratkan komitmen yang teguh dari NU pada domain
keumatan, bukan politik kekuasaan. Sebagian lainnya memaknai khitah sebagai
medan luas yang harus dibca secara kritis dan kontekstual. Sudut pandang ini
memberikan kemungkinan kepada NU untuk menunjukkan signifikansi politiknya
sebagai ormas.
Pandangan-pandangan di atas lahir dari fakta sosiologis besarnya
tingkat kepengikutan NU di wilayah Jatim. Faktor NU tak bisa diabaikan dalam
konstestasi politik.
Kini NU sedang diperebutkan dalam kontestasi politik kekuasaan,
sebagaimana masa-masa sebelumnya. Ibaratnya, NU saat ini seperti sebuah
hidangan dengan beragam menu di atas meja. Semua tamu yang hadir selalu
melirik setiap masakan yang tersaji di atas meja. Mereka berebut untuk
mendapatkan hidangan yang diinginkan.
Dalam kaitan ini, konsep dan argumen "khitah NU yang
produktif" menemukan ladang penyemaian. Yakni, memberikan ruang gerak
bagi NU untuk memainkan modal sosial dan kultural yang dimiliki bagi
kepentingan seluas-luasnya kaum nahdliyin khususnya dan masyarakat pada
umumnya. Level eksekusinya di dalam ranah politik diserahkan kepada yang
berkompeten, yakni partai politik yang berbasis masyarakat nahdliyin dan atau santri.
Mengapa harus khitah NU yang produktif? Pertama, argumen yang berkaitan dengan
tanggung jawab kelembagaan dalam mengembangkan NU sebagai institusi dan
asosiasi. NU memiliki sejarah dan konteks sosiologis kekinian yang khas.
Kedua, argumen yang
terkait dengan tanggung jawab sosial dalam mengembangkan dan sekaligus
menjaga kohesi masyarakat pengikut. NU perlu meniru argumen yang dikembangkan
Gubernur Jatim Soekarwo saat mengembangkan kebijakan pemberian bantuan
operasional pendidikan madrasah diniyah (madin) pada masa pemerintahannya
yang sedang berjalan.
Di awal implementasi kebijakan itu, Soekarwo dikritik sejumlah pihak
dengan beberapa poin berikut, ngapain Pemprov Jatim harus terlibat
dengan urusan madin? Madin kan urusan pendidikan agama dan itu
menjadi tanggung jawab pemerintah pusat yang secara sektoral ditangani oleh
Kementerian Agama. Jangan buang duit untuk urusan yang bukan leading sector pemprov? Mendingan, uang itu digunakan untuk
membangun lembaga pendidikan formal yang bernama "sekolah".
Soekarwo merespons kritik di atas dengan argumen yang menarik. Dalam
perspektif dia, Pemprov Jatim sangat memahami regulasi bahwa yang namanya
madrasah, apa pun jenis dan wilayah kerjanya, berada di bawah kewenangan
pemerintah pusat melalui Kementerian Agama. Akan tetapi, kata Soekarwo,
kurang lebih: "Bagaimanapun, mereka adalah rakyat saya. Kalau ada
apa-apa dengan kehidupan mereka, lalu mereka protes ke saya sebagai kepala
pemerintahan daerah mereka, saya juga yang salah."
Jadi, argumen yang dikembangkan Soekarwo bukan argumen kewenangan
sektoral, tapi tanggung jawab pengembangan masyarakat. Dengan argumen itu,
Pemprov Jatim berperan besar dalam mengembangkan kebijakan bantuan
operasional pendidikan madin di atas.
Meminjam cara berpikir dan argumen Soekarwo di atas, membangun khitah
NU yang produktif tidak dalam kerangka untuk menarik NU masuk ke dunia
politik praktis yang sudah diurus partai politik. Namun, mempersiapkan kader
terbaik dan disepakati bersama untuk terlibat dalam kontestasi politik
kekuasaan bukan sebuah pilihan yang salah. Konsep khitah NU yang produktif
harus dimaknai dalam konteks tanggung jawab sosial NU.
Kepentingannya, minimal, ada dua. Pertama, dengan jumlah pengikut yang besar,
perkembangan sosial untuk babak lima tahun ke depan harus dipersiapkan dan
diantisipasi secara aktif. Kedua, keikutsertaan NU untuk mempersiapkan
kader terbaik dan disepakati bersama dalam pilgub penting untuk menjaga
kohesi dan sinergi internal yang kuat.
Kuatnya signifikansi politik NU mengundang masuknya kekuatan politik
dari beragam latar belakang untuk "mengobok-obok" atau minimal
"bermain api" dengan kekuatan sosial NU. Jika tidak diantisipasi
dan dipersiapkan dengan baik serta aktif, NU hanya akan menjadi "tukang
dorong mobil" pada satu situasi dan "pemadam kebakaran" pada
situasi lain.
Khitah yang produktif berkehendak untuk mengantarkan NU sebagai
kekuatan ormas yang produktif bagi kepentingan bersama dan aktif mengemban
fungsinya bagi pengembangan masyarakat. Semoga.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar