Selasa, 18 Desember 2012

Membangun Khitah NU yang Produktif


Membangun Khitah NU yang Produktif
Akh Muzakki ;  Dosen Pascasarjana IAIN Sunan Ampel dan Alumnus Program Doktoral (PhD) di The University of Queensland, Australia
JAWA POS, 17 Desember 2012


PILGUB Jatim yang segera digelar 2013 memicu pertanyaan penting soal konsep khitah NU. Pertanyaan itu berpusat pada isu apakah NU secara kelembagaan dianggap patut ataukah tidak untuk terlibat dalam gegap politik kontestasi pilgub. 

Sebagian pihak mendorong agar NU bersih dari aksi politik di balik kontestasi pilgub. Alasannya, khitah mempersyaratkan komitmen yang teguh dari NU pada domain keumatan, bukan politik kekuasaan. Sebagian lainnya memaknai khitah sebagai medan luas yang harus dibca secara kritis dan kontekstual. Sudut pandang ini memberikan kemungkinan kepada NU untuk menunjukkan signifikansi politiknya sebagai ormas. 

Pandangan-pandangan di atas lahir dari fakta sosiologis besarnya tingkat kepengikutan NU di wilayah Jatim. Faktor NU tak bisa diabaikan dalam konstestasi politik. 

Kini NU sedang diperebutkan dalam kontestasi politik kekuasaan, sebagaimana masa-masa sebelumnya. Ibaratnya, NU saat ini seperti sebuah hidangan dengan beragam menu di atas meja. Semua tamu yang hadir selalu melirik setiap masakan yang tersaji di atas meja. Mereka berebut untuk mendapatkan hidangan yang diinginkan. 

Dalam kaitan ini, konsep dan argumen "khitah NU yang produktif" menemukan ladang penyemaian. Yakni, memberikan ruang gerak bagi NU untuk memainkan modal sosial dan kultural yang dimiliki bagi kepentingan seluas-luasnya kaum nahdliyin khususnya dan masyarakat pada umumnya. Level eksekusinya di dalam ranah politik diserahkan kepada yang berkompeten, yakni partai politik yang berbasis masyarakat nahdliyin dan atau santri. 

Mengapa harus khitah NU yang produktif? Pertama, argumen yang berkaitan dengan tanggung jawab kelembagaan dalam mengembangkan NU sebagai institusi dan asosiasi. NU memiliki sejarah dan konteks sosiologis kekinian yang khas. 

Kedua, argumen yang terkait dengan tanggung jawab sosial dalam mengembangkan dan sekaligus menjaga kohesi masyarakat pengikut. NU perlu meniru argumen yang dikembangkan Gubernur Jatim Soekarwo saat mengembangkan kebijakan pemberian bantuan operasional pendidikan madrasah diniyah (madin) pada masa pemerintahannya yang sedang berjalan. 

Di awal implementasi kebijakan itu, Soekarwo dikritik sejumlah pihak dengan beberapa poin berikut, ngapain Pemprov Jatim harus terlibat dengan urusan madin? Madin kan urusan pendidikan agama dan itu menjadi tanggung jawab pemerintah pusat yang secara sektoral ditangani oleh Kementerian Agama. Jangan buang duit untuk urusan yang bukan leading sector pemprov?                                            Mendingan, uang itu digunakan untuk membangun lembaga pendidikan formal yang bernama "sekolah". 

Soekarwo merespons kritik di atas dengan argumen yang menarik. Dalam perspektif dia, Pemprov Jatim sangat memahami regulasi bahwa yang namanya madrasah, apa pun jenis dan wilayah kerjanya, berada di bawah kewenangan pemerintah pusat melalui Kementerian Agama. Akan tetapi, kata Soekarwo, kurang lebih: "Bagaimanapun, mereka adalah rakyat saya. Kalau ada apa-apa dengan kehidupan mereka, lalu mereka protes ke saya sebagai kepala pemerintahan daerah mereka, saya juga yang salah." 

Jadi, argumen yang dikembangkan Soekarwo bukan argumen kewenangan sektoral, tapi tanggung jawab pengembangan masyarakat. Dengan argumen itu, Pemprov Jatim berperan besar dalam mengembangkan kebijakan bantuan operasional pendidikan madin di atas. 

Meminjam cara berpikir dan argumen Soekarwo di atas, membangun khitah NU yang produktif tidak dalam kerangka untuk menarik NU masuk ke dunia politik praktis yang sudah diurus partai politik. Namun, mempersiapkan kader terbaik dan disepakati bersama untuk terlibat dalam kontestasi politik kekuasaan bukan sebuah pilihan yang salah. Konsep khitah NU yang produktif harus dimaknai dalam konteks tanggung jawab sosial NU. 

Kepentingannya, minimal, ada dua. Pertama, dengan jumlah pengikut yang besar, perkembangan sosial untuk babak lima tahun ke depan harus dipersiapkan dan diantisipasi secara aktif. Kedua, keikutsertaan NU untuk mempersiapkan kader terbaik dan disepakati bersama dalam pilgub penting untuk menjaga kohesi dan sinergi internal yang kuat. 

Kuatnya signifikansi politik NU mengundang masuknya kekuatan politik dari beragam latar belakang untuk "mengobok-obok" atau minimal "bermain api" dengan kekuatan sosial NU. Jika tidak diantisipasi dan dipersiapkan dengan baik serta aktif, NU hanya akan menjadi "tukang dorong mobil" pada satu situasi dan "pemadam kebakaran" pada situasi lain. 

Khitah yang produktif berkehendak untuk mengantarkan NU sebagai kekuatan ormas yang produktif bagi kepentingan bersama dan aktif mengemban fungsinya bagi pengembangan masyarakat. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar