Minggu, 16 Desember 2012

Redenominasi


Redenominasi
Sarlito Wirawan Sarwono ;  Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia 
SINDO, 16 Desember 2012


Waktu saya masih di sekolah dasar (dulu: sekolah rakyat) pada tahun 1955-an, mata uang Indonesia sudah bernama rupiah. 
Waktu itu, di bawah rupiah ada sen, yang nilainya seperseratus rupiah, dalam bentuk uang logam kecil.Dua setengah sen, disebut satu gobang, yang lebih besar dari sen dan berlubang di tengahnya, dan yang di zaman saya sekolah itu sudah jarang didapat. Lima sen disebut kelip, sepuluh sen dinamakan ketip, 25 sen tali,dan 50 sen suku. Semuanya berupa uang logam. Uang kertas yang terkecil nilainya waktu itu satu rupiah.

Sesudah itu ada uang kertas bernilai dua setengah rupiah yang disebut ringgit dan seterusnya ada uang kertas bernilai 5 dan 10 rupiah dan mungkin ada di atas itu lagi, saya kurang ingat lagi. Nilai yang tertera di masingmasing uang disebut nilai nominal yang tetap melekat pada uang itu untuk selama-lamanya. 

Tetapi selain nilai nominal ada nilai riil dari uang itu,yaitu seberapa banyak hal yang dapat dibeli atau diperoleh dengan uang tersebut.Pada masa itu, misalnya, sekali seminggu saya dengan adik saya berenang ke kolam renang (yang masih disebut dalam bahasa Belanda: zwembad), naik becak yang ongkosnya sesuku (50 sen) sekali jalan (kurang lebih 15 menit), dan biasanya kami diberi uang jajan masingmasing setali (25 sen) untuk membeli yong—tahu kesukaan kami. 

Daya beli uang itulah yang disebut nilai riil, yang selalu berubah-ubah dari waktu ke waktu, tergantung dari situasi dan kondisi. Uang kertas satu rupiah dan seringgit sekarang sudah lama tidak ada lagi, apalagi uang-uang logam di bawah satu rupiah, karena uang senilai nominal itu sudah tidak ada nilai riilnya lagi. Beberapa tahun lalu rasanya saya masih melihat uang logam Rp25 dan Rp50, tetapi sekarang itu pun sudah tidak beredar lagi.Uang logam yang terkecil sekarang adalah Rp100 dan yang terbesar Rp1.000. 

Nilai nominal Rp1.000 ada yang berbentuk uang kertas. Uang kertas berikutnya Rp2.000 sampai Rp100.000. Di zaman anakanak saya masih sekolah uang jajan Rp1.000 masih bisa untuk beli bakso dan minuman di kantin sekolah.Sekarang,di zaman cucu saya sekolah, uang Rp5.000 boleh pilih: bakso saja tapi tidak minum, atau minum doang tapi enggak makan bakso. 

Kalau uang (money, fulus) mempunyai nilai nominal, dalam tingkatan mata uang (currency) nilai itu dinamakan denominal, karena banyak mata uang terdiri atas beberapa ”submata uang” (ini istilah awam saya sendiri). Rupiah, misalnya, terdiri atas sen, gobang, kelip dan seterusnya sampai rupiah itu sendiri. Mata uang Inggris yang disebut poundsterling (£) atau quid, sebelum 1971 terdiri dari shilling (20 shillings dalam £ 1) dan penny (12 pennies dalam satu shilling, atau 240 pennies dalam £ 1). 

Waktu saya kuliah di Inggris pada 1972-1973, orang Inggris sedang kebingungan, karena mata uang mereka diubah dari sistem lusinan ke sistem desimal: 1s (shilling) sama dengan 5p (penny) dan £1 sama dengan 20s atau 100p. Mrs Kinnel, induk semang saya (ibu kos) di Edinburgh (kota tempat saya kuliah), misalnya, selalu mengomel setiap dia pulang belanja dari supermarket kecil (sejenis Alfamart) pas di lantai satu di bawah apartemen kami (di lantai 2-4). Dia bingung mengapa jadi 1s sekarang cuma bernilai 5p, padahal sejak zaman Ratu Victoria, 1s selalu sama dengan 12p. 

Kebingungan Mrs Kinnel sebenarnya disebabkan karena kebiasaan berpikir yang sudah mengakar dalam kepalanya. Sebaliknya kalau saya harus berhitung dengan sistem lusinan seperti itu, kepala saya jadi mumet, karena tidak terbiasa. Tetapi buat Mr Bean yang orang Inggris generasi sekarang, berpikir desimal tidak masalah.Apalagi Mr Bean biasanya tidak pernah berpikir. Walaupun begitu,tetap ada kecenderungan yang sama dalam cara orang berpikir (bahasa psikologinya: proses kognisi), yaitu orang akan mencari cara yang lebih mudah untuk berpikir. 

Itulah sebabnya ketika orang mau beli HP, misalnya, bertanya, “Berapa harganya, Mbak?,” dan si Mbak menjawab “Lima ratus,” dan maksud si Mbak itu pastinya Rp500.000, bukan Rp500. Sama halnya kalau kita mau membeli properti (rumah),maka kita bertanya,“Abang buka harga berapa?,” maka si calo menjawab,“ Enggak mahal, Bos.Satu setengah saja. Itu juga masih nego. ”Maksudnya tentu bukan Rp1,5 juta, tetapi Rp1,5 miliar. 

Membayangkan uang miliaran dengan sembilan angka nol, tentu jauh lebih sulit daripada menghitung dengan satu atau dua digit saja. Selebihnya TST (tahu sama tahu).Apalagi kalau jumlahnya sudah triliunan seperti yang dikelola oleh pemerintah, maka satu triliun cukup disebut “satu T”. Karena itu, pemerintah yang juga manusia,yang malas berpikir susah-susah,merencanakan untuk memberlakukan redenominasi. Artinya, nilai denominal mata uang diubah. Setiap ribuan rupiah, cukup ditulis atau disebut satuannya saja. Persis seperti tukang jual HP yang cukup menyebut “lima ratus”, bukan “lima ratus ribu”. 

Maka jangan kaget kalau pada 2013 nanti gaji anggota DPR jadi Rp50.000 (dari Rp50.000.000) dan gaji PNS balik lagi ke Rp3.000, (dari Rp3.000.000), seperti gaji saya berapa puluh tahun yang lalu ketika baru jadi PNS. Redenominasi memang banyak keuntungannya. Pertama, memang manusia awam tidak dibekali dengan otak yang berkapasitas hitung sampai 12 digit atau lebih. Kalau dia mau pakai kalkulator, kalkulatornya pun mentok pada 9 atau 12 digit saja.

Kedua,untuk transaksi perbankan,atau jual beli valuta asing, satu mata uang asing ($,£,V)) yang hanya satu atau dua digit, nilai tukarnya dalam rupiah bisa sampai 3-4 digit. Sangat buruk untuk pencitraan rupiah, karena makin banyak digit dari suatu mata uang,makin rendah denominasi mata uang tersebut. Di sisi lain,persepsi tentang nilai mata uang bukan hanya logika (proses berpikir), melainkan juga mengandung emosi atau perasaan. 

Ketika harga BBM bersubsidi hendak dinaikkan oleh pemerintah dari Rp4.500 menjadi Rp6.000, mahasiswa demo besar-besaran, karena selisih Rp1.500 dirasakan besar oleh rakyat. Tetapi jika perubahan itu hanya Rp1,5, yaitu dari Rp4,5 ke Rp6, rasanya jadi tidak seberapa besar. Maka tahu-tahu nilai riil rupiah sudah merosot ke setengahnya atau lebih. Itulah yang dialami adik saya dan suaminya yang bermukim di Belanda. Sejak abad XVII mata uang Belanda adalah gulden (“g” dibaca “kh” seperti dalam “khusus”, jadi “gulden” dibaca “khulden”). 

Pada tahun 2002,seluruh mata uang negara-negara Uni Eropa (termasuk gulden) diganti dengan mata uang Eropa yang disebut euro ( ). Awalnya 1 senilai 2f (gulden). Jadi dengan uang 1 kita bisa membeli 4 karton susu, yang sebelumnya berharga 2f. Tetapi tidak lama kemudian, harga 2 karton susu menjadi 1.Tanpa sadar,untuk cari gampangnya, manusia menyamakan saja dengan f, supaya tidak repot hitung-hitungan lagi.

Tetapi sesudah itu harga pun inflasi,walaupun tidak sehebat Indonesia pada masa itu (inflasi Indonesia waktu itu dua digit). Tidak mengherankan kalau adik saya dan suaminya mengomel pada Pemerintah Belanda. Tetapi bukan hanya Belanda yang pernah mengalami redenominasi. Dalam sejarah tercatat Brasil, Argentina, Taiwan, Yugoslavia, Zimbabwe, dan bekas negara-negara Uni Soviet juga pernah melakukannya.Indonesia sendiri pernah melakukannya. Pada 1965, di tengah hiperinflasi (kalau tidak salah 600% setahun) Rp1.000 dijadikan Rp1. Nyatanya, hari ini Rp1 versi 1965 sudah tidak ada lagi. 

Rp2.000 pun sudah tidak cukup lagi untuk bayar parkir di jalanan, dan uang sen hanya ada di bank statement (laporan rekening bank) kita. Jadi sebenarnya redenominasi ada sisi pro dan kontranya. Tetapi kalau kita tidak ingin anak-cucu kita harus menghitung rupiah sampai 24 digit, mau tidak mau kita harus melakukan redenominasi sekarang. Asalkan didukung oleh perkembangan ekonomi nasional yang sehat,redenominasi pasti akan banyak manfaatnya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar