Selasa, 18 Desember 2012

Nafsu Korupsi Krisiskan Yunani


Nafsu Korupsi Krisiskan Yunani
Rakhmat Hidayat ;  Dosen sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ); Kini sedang studi untuk meraih PhD di Université Lumière, Lyon 2, Prancis
JAWA POS, 17 Desember 2012


JARANG ada yang menyebut bahwa akar krisis berat di Yunani, yang menggeret negara Eropa lain, bermula juga karena korupsi. Kini kondisi krisis ekonomi di Yunani semakin buruk. Pengaruhnya tidak hanya terkait bidang ekonomi dan keuangan, tetapi juga berpengaruh secara sosial politik terhadap konteks regional Eropa. Kondisi pengangguran meningkat di beberapa negara Eropa. Di Prancis, misalnya, saya menyaksikan sering terjadi aksi demonstrasi penolakan PHK yang dilakukan berbagai serikat pekerja. 

Secara khusus, kondisi likuiditas Yunani semakin terancam tak mampu membiayai penyelenggaraan negara. Beberapa media internasional melaporkan kas negara kosong dan hanya mampu bertahan hingga November lalu. Krisis itu mengarah ke multidimensi yang menimbulkan kerawanan nasional. Natal di Yunani tahun ini tetap akan dilalui dengan kemuraman dan prihatin. 

Krisis itu berakar pada masalah yang melanda negara tersebut, yaitu korupsi. Korupsi menjadi penyakit berat yang menggerogoti kehidupan rakyat di negara kawasan Balkan itu. Korupsi seolah sudah menjadi kebiasaan dan gaya hidup masyarakat di sana. Tentu saja kondisi dan konteks Yunani dan Indonesia sangat berbeda. Meski demikian, korupsi yang kita alami jelas menjadi ancaman serius bagi masa depan Indonesia. 

Kita perlu belajar kepada Yunani, negara dengan sejarah dan peradaban adiluhung yang panjang sejak sebelum Masehi. Indonesia dan Yunani memiliki kesamaan sebagai negara yang kuat dibangun dimensi sejarah dan peradaban tinggi. Sejarah Indonesia dan Yunani sejatinya menjadi elan vital (ini istilah filsof Henri Bergson) atau daya hidup sosial politik seluruh rakyatnya. Sayangnya, sejarah dan peradaban tinggi Yunani itu tergerus oleh perilaku koruptif kaum elite yang membuat tak berdaya warganya. 

''Fakelaki'' dan ''Misa'' 

Seperti ditulis di berbagai situs internet, pada Oktober 2009 PM Yunani George Papandreou secara mengejutkan mengumumkan bahwa Yunani adalah negara paling korup di Benua Eropa. Corruption Perception Index 2009 menempatkan Yunani pada peringkat ke-71 dengan skor 3,8 (Indonesia 2,8). Peringkat negara terkorup bila dibandingkan dengan 16 negara Eropa lainnya yang masuk zona Euro. Corruption Perception Index 2011 juga menempatkan Yunani pada peringkat paling rendah, yaitu ranking ke-80 dengan skor merosot 3,4 (Indonesia 3). 

Korupsi memang sudah menjadi tradisi buruk keseharian di negeri Socrates itu. Dalam berbagai situs di dunia maya, sangat terkenal istilah ''fakelaki'' yang berarti amplop kecil menjadi budaya warga Yunani sebagai pelicin mempemudah urusan dengan birokrasi atau pihak lain. Sedangkan, ''misa'' adalah penyuapan dengan nilai yang lebih besar lagi, biasanya ditujukan untuk memenangi proyek besar dan tender. Bahkan, yang memilukan, pasien-pasien operasi di rumah sakit Yunani juga masuk jebakan perilaku koruptif tersebut. Pasien-pasien itu baru dapat tenang masuk ke ruangan operasi jika telah memberikan amplop kepada dokter. 

Tradisi pemerintah harus disogok untuk bekerja itu merajalela. Masyarakat Yunani sering tak dapat memperoleh surat izin, sekalipun lulus ujian, jika tidak memberikan amplop berisi uang beberapa ratus euro (jutaan rupian). Memberikan amplop berisi uang kepada para pejabat pemerintah di Yunani akan menjamin proses otorisasi, sertifikasi, atau izin mendirikan bangunan, yang jumlah uang amplopnya dapat mencapai puluhan ribu euro (ratusan juta rupiah). Tak heran, sebagai negara yang memiliki peradaban luhur di dunia, Yunani terancam bangkrut. 

Pengalaman Yunani menjadi penting bagi masa depan Indonesia. Sejarah dan peradaban merupakan kapital sosial yang signifikan dalam meneruskan perjalanan republik ini. Masih ada waktu untuk berubah bagi Indonesia membangun masa depannya tanpa korupsi jika tidak ingin menyusul jejak tragis Yunani yang menjadi beban Eropa.

Pemberantasan korupsi di Indonesia belum menunjukkan gebrakan berarti. Rilis teranyar Transparency International (TI) tentang indeks persepsi korupsi (IPK) menyebutkan bahwa di antara 183 negara yang disurvei, Indonesia mendapat skor 3,0 di posisi ke-100. Nilai itu meningkat tipis jika dibandingkan dengan tahun lalu yang mencapai skor 2,8 di peringkat ke-100. Indonesia menempati posisi tersebut bersama Argentina, Benin, Burkina Faso, Madagaskar, Djibouti, Malawi, Meksiko, Sao Tome and Principe, Suriname, dan Tanzania. Rentang skornya antara 0 (terkorup) dan 10 (tebersih). 

Pelajaran untuk Indonesia 

Yunani bukanlah negara besar seperti Jerman atau Prancis. Yunani menjadi negara besar karena memiliki peradaban yang tinggi sebagai negara yang menghasilkan filsof dan ilmuwan klasik berpengaruh di dunia seperti Socrates, Plato, Aristoteles, Archimides, dan Pythagoras. Menjadi ironis dan tragis, keluhuran tata peradaban Yunani justru tergerus oleh perilaku koruptif pejabat yang meluas ke rakyatnya. Peradaban yang dibangun panjang dan terjal para pendiri Yunani justru tercabik-cabik oleh perilaku buruk anak bangsanya. 

Perilaku sosial yang dilakukan secara masif dan sudah terlembagakan. Korupsi dilakukan secara lumrah, spontan, dan menjadi jalan keluar instan dari seluruh masalah sosial ekonomi. Rakyat Yunani mengalami kebuntuan jalan berpikir dalam menghadapi kehidupan sosialnya. Peradaban legendaris yang sudah dibangun dinegasikan dengan ''peradaban'' baru Yunani, yaitu korupsi. 

Fenomena yang sangat menyedihkan bagi konstelasi peradaban dunia. Seolah-olah peradaban (civilization) Yunani yang sangat luhur tersebut runtuh dengan ''peradaban'' baru tersebut. Itulah yang disebut peradaban baru Yunani sebagai akumulasi dari pelembagaan perilaku rakyatnya. Peradaban baru justru mencerminkan apa yang disebut uncivilized. Korupsi yang menggerogoti Yunani berperan penting mengakibatkan terjadinya kebangkrutan Yunani. 

Itu menjadi penting bagi Indonesia untuk mengambil learning point dari kasus Yunani tersebut. Sebagai negara yang memiliki sejarah panjang melalui pergulatan para bapak dan ibu pendiri republik, kita perlu terus merawat energi untuk melawan korupsi demi masa kini dan masa depan Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar