Sabtu, 15 Desember 2012

Membajak Nilai Sosial-Agama


Membajak Nilai Sosial-Agama
Ahmad Khoirul Umam ;  Kandidat Doktor Bidang Democratic Governance
and Anti-Corruption di The University of Queensland, Australia
REPUBLIKA, 14 Desember 2012


Survei terkini Indonesia Network Election Survey (INES) pada medio Oktober 2012 menemukan 50,3 persen responden memilih parpol karena faktor uang. Kekuatan uang dianggap paling signifikan dalam memengaruhi kecenderungan afiliasi publik terhadap partai politik ketimbang aspek visi, misi, program kerja, hingga gelontoran iklan di media sekalipun. Karena itu, money politics diperkirakan akan tetap mendominasi warna demokrasi pada Pemilu 2014.
Kuatnya daya tarik uang dalam memengaruhi perilaku politik publik bukanlah fakta baru. Secara teoretis, memang terdapat hubungan interkoneksitas yang kuat antara uang dan kekuasaan. Di satu sisi, uang menjadi sumber kekuatan untuk menghasilkan kekuasaan. Di sisi lain, kekuasaan juga dapat difungsikan untuk menghasilkan uang. 
Dalam sistem masyarakat kapital, uang amat menentukan strata politik seseorang. Sehingga, tidak heran jika terdapat partai politik yang berniat membekali kader-kadernya dalam perebutan kekuasaan pada 2014 dengan gelontoran uang hingga miliaran rupiah. 
Kendati demikian, uang tidak selamanya berkuasa. Sejarah politik dunia tidak pernah mencatat uang sebagai `satu-satunya penguasa' yang paling menentukan. Namun, dalam banyak masyarakat, tidak terkecuali masyarakat religius, uang tetap menjadi senjata ampuh untuk menaklukkan kekuasaan.
Karena, prinsipnya, uang adalah saudara kembar kekuasaan. 
Dalam penelitiannya, Rose Ackerman (1999) dan Bardhan (1997) pernah mempertanyakan tren yang acap bermunculan di sejumlah negara demokrasi baru di kawasan Asia. Mengapa banyak politikus dan partai politik yang jelas- jelas diketahui korup, tetapi masih juga mendapatkan tingkat keterpilihan dan dukungan publik yang tinggi di pemilu selanjutnya? Tidakkah ada sanksi politik publik melalui mekanisme demokrasi yang memfasilitasi rakyat untuk melakukan perubahan dan menyingkirkan para penguasa korup di kekuasaan? 
Jawaban pertanyaan itu ternyata menyasar aspek sosial budaya masyarakat Asia yang ternyata dinilai cenderung bisa menoleransi praktik korupsi yang terjadi di sekitarnya. Tindakan korupsi itu dianggap telah bercampur dan membaur dengan sistem budaya yang sarat dengan muatan nilai-nilai sosial agama masyarakatnya. 
Dengan legitimasi etik tersebut, menjadi lazim jika kemudian tidak muncul sentimen negatif dari publik terhadap figur atau lembaga-lembaga politik yang memproduksi tindakan korupsi di sekitarnya. Money politics yang diserahkan parpol dan politikus kepada para pemuka agama, tokoh adat, dan lembaga-lembaga sosial mau pun keagamaan sebagai agenda penjaringan vote getters, misalnya, dengan leluasa dilakukan atas nama hibah, hadiah, bisyaroh, syahriah, atau bahkan infak dan sedekah, ditujukan kepada kelompok- kelompok miskin dan marginal. 
Suap telah dikemas sedemikian rupa dengan sampul budaya dan nilai-nilai agama hingga mengaburkan substansi yang menjadi motivasi dasar tindakannya. Sedari awal, Heidenheimer (1970) pernah menegaskan bahwa telah terjadi pencampuradukan nilai-nilai koruptif dengan nuansa moral-etik dalam kehidupan masyarakat kontemporer. Karena semakin banyak pertukaran korupsi maka semakin mirip ia dengan pertukaran sosial pada umumnya. 
Seiring dengan itu, korupsi tidak lagi dilakukan dalam ruang tertutup dan sembunyi-sembunyi, tetapi dijalankan di ruang terbuka dengan perasaan bangga dan penuh sukacita. Praktik semacam itu akan terus direproduksi, dijalankan secara intensif, dengan prinsip `tahu sama tahu' dan disertai rasa saling percaya yang sejajar di antara politikus dan masyarakatnya. Interaksi timbal balik yang dijalankan itu menjadi sulit dipangkas karena hukum ketertarikan dan sifat saling menguntungkan menjadi ruh di dalamnya. 
Di sinilah korupsi menampakkan fungsinya sebagai media pertukaran yang `sah' secara budaya. Jadi, budaya suap dan korupsi yang terus bermunculan sejatinya bukan semata-mata akibat dari lemahnya supremasi hukum, melainkan akibat dari kesepakatan kolektif di masyarakat hingga tercipta subkultur yang menyimpang. 
`Korupsi berjamaah' merupakan terminologi menarik yang sering dipakai untuk menjelaskan fenomena tersebut. Akibatnya, upaya memberantas korupsi politik di akar rumput yang dalam wujud sederhananya dipraktikkan dalam bentuk politik uang, pembagian sembako, bantuan sosial, dan lain sebagainya itu menjadi sulit terlaksana. Realitas inilah yang melanggengkan praktik politik dagang sapi dan jual beli suara yang secara nyata mengkhianati prinsip dasar demokrasi. 
Di sinilah letak kesalahan fatal partai politik dan juga masih lemahnya peran civil society di negeri ini terhadap kurangnya pendidikan politik dan anti-korupsi kepada publik. Penggunaan money politics merupakan jalan pintas akibat macetnya program dan visi partai politik. 
Seluruh elemen civil society harus terus bergerak secara intensif untuk memberikan pencerahan kepada publik agar rakyat tidak terus teperdaya dan pesta demokrasi yang berjalan tidak hanya memfasilitasi para aktor lama yang terus berusaha mempertahankan jabatan dan kekuasaan yang dinikmatinya. Jika itu yang terjadi maka demokrasi hanya akan bermuara pada aspek partisipasi, tanpa mampu menyentuh prinsip akuntabilitas dan transparansi demi terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih di negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar