Membajak Nilai
Sosial-Agama
Ahmad Khoirul Umam ; Kandidat Doktor Bidang Democratic Governance
and Anti-Corruption di The University of
Queensland, Australia
|
REPUBLIKA,
14 Desember 2012
Survei terkini
Indonesia Network Election Survey (INES) pada medio Oktober 2012 menemukan
50,3 persen responden memilih parpol karena faktor uang. Kekuatan uang
dianggap paling signifikan dalam memengaruhi kecenderungan afiliasi publik
terhadap partai politik ketimbang aspek visi, misi, program kerja, hingga
gelontoran iklan di media sekalipun. Karena itu, money politics diperkirakan akan tetap mendominasi warna
demokrasi pada Pemilu 2014.
Kuatnya daya
tarik uang dalam memengaruhi perilaku politik publik bukanlah fakta baru.
Secara teoretis, memang terdapat hubungan interkoneksitas yang kuat antara
uang dan kekuasaan. Di satu sisi, uang menjadi sumber kekuatan untuk
menghasilkan kekuasaan. Di sisi lain, kekuasaan juga dapat difungsikan untuk
menghasilkan uang.
Dalam sistem
masyarakat kapital, uang amat menentukan strata politik seseorang. Sehingga,
tidak heran jika terdapat partai politik yang berniat membekali
kader-kadernya dalam perebutan kekuasaan pada 2014 dengan gelontoran uang
hingga miliaran rupiah.
Kendati
demikian, uang tidak selamanya berkuasa. Sejarah politik dunia tidak pernah
mencatat uang sebagai `satu-satunya penguasa' yang paling menentukan. Namun,
dalam banyak masyarakat, tidak terkecuali masyarakat religius, uang tetap
menjadi senjata ampuh untuk menaklukkan kekuasaan.
Karena, prinsipnya, uang adalah saudara kembar kekuasaan.
Dalam
penelitiannya, Rose Ackerman (1999) dan Bardhan (1997) pernah mempertanyakan
tren yang acap bermunculan di sejumlah negara demokrasi baru di kawasan Asia.
Mengapa banyak politikus dan partai politik yang jelas- jelas diketahui
korup, tetapi masih juga mendapatkan tingkat keterpilihan dan dukungan publik
yang tinggi di pemilu selanjutnya? Tidakkah ada sanksi politik publik melalui
mekanisme demokrasi yang memfasilitasi rakyat untuk melakukan perubahan dan
menyingkirkan para penguasa korup di kekuasaan?
Jawaban
pertanyaan itu ternyata menyasar aspek sosial budaya masyarakat Asia yang
ternyata dinilai cenderung bisa menoleransi praktik korupsi yang terjadi di
sekitarnya. Tindakan korupsi itu dianggap telah bercampur dan membaur dengan
sistem budaya yang sarat dengan muatan nilai-nilai sosial agama
masyarakatnya.
Dengan
legitimasi etik tersebut, menjadi lazim jika kemudian tidak muncul sentimen
negatif dari publik terhadap figur atau lembaga-lembaga politik yang
memproduksi tindakan korupsi di sekitarnya. Money politics yang diserahkan parpol dan politikus kepada para
pemuka agama, tokoh adat, dan lembaga-lembaga sosial mau pun keagamaan
sebagai agenda penjaringan vote getters,
misalnya, dengan leluasa dilakukan atas nama hibah, hadiah, bisyaroh,
syahriah, atau bahkan infak dan sedekah, ditujukan kepada kelompok- kelompok
miskin dan marginal.
Suap telah
dikemas sedemikian rupa dengan sampul budaya dan nilai-nilai agama hingga
mengaburkan substansi yang menjadi motivasi dasar tindakannya. Sedari awal,
Heidenheimer (1970) pernah menegaskan bahwa telah terjadi pencampuradukan
nilai-nilai koruptif dengan nuansa moral-etik dalam kehidupan masyarakat
kontemporer. Karena semakin banyak pertukaran korupsi maka semakin mirip
ia dengan pertukaran sosial pada umumnya.
Seiring dengan itu, korupsi tidak lagi dilakukan dalam ruang tertutup dan
sembunyi-sembunyi, tetapi dijalankan di ruang terbuka dengan perasaan bangga
dan penuh sukacita. Praktik semacam itu akan terus direproduksi, dijalankan
secara intensif, dengan prinsip `tahu sama tahu' dan disertai rasa saling percaya
yang sejajar di antara politikus dan masyarakatnya. Interaksi timbal balik
yang dijalankan itu menjadi sulit dipangkas karena hukum ketertarikan dan
sifat saling menguntungkan menjadi ruh di dalamnya.
Di sinilah
korupsi menampakkan fungsinya sebagai media pertukaran yang `sah' secara
budaya. Jadi, budaya suap dan korupsi yang terus bermunculan sejatinya bukan
semata-mata akibat dari lemahnya supremasi hukum, melainkan akibat dari
kesepakatan kolektif di masyarakat hingga tercipta subkultur yang menyimpang.
`Korupsi
berjamaah' merupakan terminologi menarik yang sering dipakai untuk
menjelaskan fenomena tersebut. Akibatnya, upaya memberantas korupsi
politik di akar rumput yang dalam wujud sederhananya dipraktikkan dalam
bentuk politik uang, pembagian sembako, bantuan sosial, dan lain sebagainya
itu menjadi sulit terlaksana. Realitas inilah yang melanggengkan praktik
politik dagang sapi dan jual beli suara yang secara nyata mengkhianati
prinsip dasar demokrasi.
Di sinilah
letak kesalahan fatal partai politik dan juga masih lemahnya peran civil society di negeri ini terhadap
kurangnya pendidikan politik dan anti-korupsi kepada publik. Penggunaan money politics merupakan jalan pintas
akibat macetnya program dan visi partai politik.
Seluruh elemen
civil society harus terus bergerak
secara intensif untuk memberikan pencerahan kepada publik agar rakyat tidak
terus teperdaya dan pesta demokrasi yang berjalan tidak hanya memfasilitasi
para aktor lama yang terus berusaha mempertahankan jabatan dan kekuasaan yang
dinikmatinya. Jika itu yang terjadi maka demokrasi hanya akan bermuara pada
aspek partisipasi, tanpa mampu menyentuh prinsip akuntabilitas dan transparansi
demi terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih di negeri ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar