Sabtu, 15 Desember 2012

Memanglimakan Hukum


Memanglimakan Hukum
Moh Mahfud MD ;  Guru Besar Hukum Konstitusi
SINDO, 15 Desember 2012



Pada pekan terakhir bulan lalu, tepatnya 25 November 2012, saya diundang untuk menyampaikan keynote speech dalam sebuah konferensi mengenai “Pluralism and Tolerance” yang diselenggarakan di Australian National University (ANU) di Canberra.

Dari tema konferensi itu sudah jelas apa yang diinginkan oleh penyelenggara yakni bagaimana Indonesia mengelola perbenturan yang sering terjadi antara pluralisme dan toleransi. Sebagai negara kebangsaan yang bersendikan demokrasi, sudah pasti Indonesia menganut pluralisme alias penerimaan atas perbedaan (unity in diversity, kebinekaan) dalam berbagai ikatan primordial sehingga harus juga hidup toleran atas perbedaan- perbedaan itu.

Tetapi, belakangan ini banyak terjadi tindakan-tindakan intoleransi antarkelompok masyarakat sehingga timbul pertanyaan, bagaimana sebenarnya Indonesia menerima dan mengelola pluralisme dan toleransi itu? Sejalan dengan apa yang tertulis di dalam kerangka gagasan atau proposal para peserta konferensi banyak juga yang saat bertanya mengaitkan soal itu dengan letupanletupan konflik yang kerap terjadi di Indonesia. 

Mereka menyebut-nyebut kasus penyerangan dan pengucilan terhadap penganut Ahmadiyah di Parung dan NTB, kasus pengusiran terhadap penganut Syi’ah di Sampang, kasus Gereja Yasmin di Bogor, bahkan sampai pada soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara judicial review atas UU No 1/PNPS/1965 terkait penodaan terhadap agama. Gejala intoleransi tersebut sebenarnya muncul juga secara agak kencang dari dalam negeri sendiri. 

Pada Kamis (13/12), dua hari yang lalu, Direktur Eksekutif The Wahid Institute Yenny Wahid bertandang ke Kantor MK menunjukkan data perkembangan tindak kekerasan dan intoleransi, terutama dalam kehidupan beragama yang dari tahun ke tahun bukan semakin membaik, melainkan semakin bertambah dan penyelesaiannya tidak tuntas-tuntas. 

Penyelesaiannya lebih banyak berjalan dari rapat ke rapat atau dari diskusi ke diskusi yang diselingi dengan pernyataan-pernyataan pejabat yang hanya normatif dan tidak solutif. Keluhan yang sama saya dengar pula secara gencar ketika pada Senin (10/12) lalu saya hadir dalam satu dialog persaudaraan antarumat beragama di Universitas de La Salle Manado yang dimotori anggota DPD Ferry Tinggogoy. 

Baik penanya yang hadir di forum itu maupun pendengar yang bertanya melalui telepon siaran langsung RRI menanyakan komitmen Indonesia tentang toleransi dalam perbedaan, terutama toleransi beragama yang berkeadaban, sebagaimana telah dipatok oleh para pendiri negara saat menyongsong kemerdekaan. Pertanyaan dari berbagai penjuru itu, apakah Indonesia memang benar-benar berkomitmenuntukmembangunperadabannya sebagai bangsa yang plural, multikultural, dan toleran? 

Jawaban atas persoalan mendasar itu sebenarnya bisa dibedakan atas dua level yaitu level konseptual-paradigmatik dan level implementatif. Pada level konseptual-paradigmatik sebenarnya masalah penerimaan atas pluralisme dan keharusan hidup toleran itu sudah final dan jelas. Ya, ideologi dan konstitusi negara menjadikan kebinekaan (pluralisme) dan toleransi itu sebagai bagian dari dasar sekaligus pilar dalam hidup berbangsa dan bernegara.

Keduanya menjadi kandungan utama dari dasar negara Pancasila untuk kemudian dielaborasi di dalam UUD 1945 dan berbagai UU. Penerimaan bangsa Indonesia atas hal tersebut sudah diuji melalui berbagai cara, baik legal maupun ilegal, yang hasilnya kita tetap menjadikan Pancasila sebagai dasar kehidupan kita berbangsa dan bernegara. Ujian legal dilakukan melalui perdebatan di berbagai forum resmi (seperti BPUPK, Konstituante, dan MPR) serta pemilu untuk menguji apakah Pancasila cocok untuk dijadikan dasar negara ataukah tidak. 

Hasilnya, secara sangat kuat kita selalu menegaskan Pancasila sebagai dasar negara kita. Secara ilegal Pancasila telah diuji kesaktiannya melalui berbagai pemberontakan bersenjata seperti DI/TII, Permesta, RMS, dan gerakan separatis lainnya yang pada akhirnya selalu membuktikan bahwa Pancasila itu tak tergantikan sebagai fitrah bagi bangsa Indonesia. 

Jadi secara konseptualparadigmatik, pluralisme dan toleransi sudah sangat kuat di dalam dasar negara, undang-undang dasar negara,maupun dalam berbagai undang-undang negara. Persoalannya sebenarnya terletak pada level implementasi yang menunjukkan kegamangan kita untuk menegakkan prinsip-prinsip itu sesuai hukum yang berlaku. 

Apa yang dicontohkan sebagai letupan antitoleransi dan pluralisme sebenarnya hanya terjadi pada level implementasi dengan skala yang kecil dan tidak mengganggu mozaik keindonesiaan kita secara keseluruhan. Bayangkan, kita mempunyai warga bangsa yang jumlahnya tidak kurang dari 240 juta jiwa dengan hidup rukun dan toleran, jauh menutupi kaum anarkistis dan radikal yang jumlahnya mungkin tidak sampai setengah juta orang. 

Kasus-kasus seperti tindakananarkistis, serangan oleh dan terhadap kelompok tertentu adalah kasus-kasus berskala kecil yang mutlak memerlukan penegakan hokum secara tegas, tentu juga dengan cara-cara persuasif lainnya, dalam pengelolaan pemerintahan seharihari. Tindak kekerasan seperti sweeping oleh kelompok swasta dan anarki itu muncul karena kita tidak mampu menegakkan hukum dengan tegas. 

Maka itu, paling utama yang harus kita kerjakan saat ini adalah penegakan hukum tanpa pandang bulu dalam menjadikan hukum sebagai panglima sebab konsep-konsep dan retorika sudah kita miliki semua. Problem-problem sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya akan terselesaikan kalau hukum bisa ditegakkan tanpa pandang bulu. “Memanglimakan hukum” itulah kewajiban kita sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar